Menguak Makna dibalik Syair Hamba Tuhan yang Keempat
I. Pendahuluan
Dalam kitab Deutro Yesaya ditemukan empat syair hamba
Tuhan, yang
pertama dalam Yesaya 42:1-5; kedua Yesaya 49:1-6 ; ketiga Yesaya 50:4-11 dan yang keempat Yesaya
52:13-53:12. Agaknya keempat syair hamba
Tuhan ini cukup dikenal di kalangan gereja perdana, hal ini dapat terlihat
bahwa dalam beberapa kesempatan beberapa
penulis perjanjian baru mengutip isi syair hamba Tuhan ini, ada yang mengutip
langsung[1],
namun ada juga yang mengutip sebagian atau senantiasa membandingkannya dengan
isi syair hamba Tuhan ini[2]. Masih
banyak bagian yang lain dalam perjanjian baru, yang ekspresinya memperbandingkan Yesus
dengan hamba Tuhan dalam syair ini, namun bukan itu yang menjadi fokus pembahasan dalam
tulisan ini.
Dilihat dari isi ayat, bagian Yesaya 52:13-53:12 adalah bagian yang paling panjang. Selain itu, bagian ini juga paling populer dikalangan
Kristen dibandingkan ketiga bagian yang lain, bagaimana tidak, seperti yang
sudah saya sebutkan di awal, para penulis perjanjian baru ketika menuliskan
kesaksian mereka tentang Yesus, mereka
senantiasa memperbandingkan Yesus dengan syair hamba Tuhan yang keempat ini,
maka wajar saja jika umat kristen membaca
bagian
ini, senantiasa merujuk hamba yang dimaksud dengan pribadi Yesus. Ini juga bisa bermakna
bahwa gereja perdana memahami syair hamba Tuhan yang keempat ini telah digenapi
oleh Yesus. Hamba Tuhan yang menderita bahkan mati yang disebut dalam teks ini dipahami persis dengan
kematian Yesus di kayu salib. Tidak mengherankan jika bagian ini sering dipakai
sebagai tema paskah di gereja-gereja masa kini. Namun sekali lagi, penulis
hanya akan menfokuskan penafsiran dalam konteks perikop sebagi bagian dari Deutro
Yesaya dan sebagai bagian dari keseluruhan kitab Yesaya. Dalam tulisan ini,
penulis tidak akan mencoba melihat perikop ini dengan kacamata Perjanjian Baru.
Tanpa menolak pemahaman gereja perdana yang mengimani
Yesus sebagai hamba Tuhan yang dimaksud dalam syair hamba Tuhan yang keempat,
tentu sangat jelas bahwa, dari konteks jamannya, perikop ini bukan berbicara
tentang Yesus. Maka
menjadi menarik, untuk diteliti lebih lanjut, siapa sebenarnya hamba yang
dimaksud dalam perikop ini? Makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis
Deutro Yesaya dalam bagian ini sesuai dengan konteks jaman itu? Hal ini bisa diusahakan dengan
metode kritik historis dengan didukung beberapa buku tafsir. Dalam mendukung tulisan
ini, penulis membaca tafsiran Barth, Childs, North, Westermann, Whybray dan beberapa
tulisan Singgih.
Sebagaimana metode kritik historis adalah metode yang mencoba menempatkan teks
dalam situasi sejarah, budaya atau masyarakat tertentu pada jamannya sehingga menemukan makna dan maksud penulis
dalam jaman tersebut dan makna itu dicoba dibawa ke masa kini, apakah masih
relevan dengan konteks masa kini?[3]
Sistemasisasi dalam tulisan ini akan mulai dengan meneliti teks-teks yang
problematis, termasuk
perbedaan terjemahan, kemudian meneliti konteks Yesaya 52:13-53:12 sebagai
bagian dari Deutro Yesaya, penafsiran
menurut pandangan beberapa penafsir, setelah itu maka menjadi
penting juga menemukan evaluasi teologis apa yang bisa disumbangkan makna teks
tersebut dalam kehidupan iman di masa kini.
II. Permasalahan
Teks dan Terjemahan[4]
Yesaya 52: 13`dao)m. Hb;Þg"w>
aF'²nIw> ~Wrôy" yDI_b.[; lyKiÞf.y: hNEïhi ayat ini paralel dengan syair
hamba di 42: 1 dimana hamba diperkenalkan untuk membawa keadilan atau mispath (jP'Þv.mi) kepada bangsa-bangsa lain. Frase “akan berhasil” atau
yaskil (lyKiÞf.y:) arti yang paling sering dari kata kerja ini adalah
mengerti,[5]
bijaksana atau hati-hati, tetapi juga dapat memiliki nuansa
arti "berhasil" dimana keberhasilan diyakini hasil karena memiliki kebijaksanaan dan ketekunan dan kehati-hatian,
jadi bukanlah semacam keberhasilan yang luar biasa. Bisa dikatakan bahwa dua makna terkombinasi disini, hamba berhasil karena
dia memiliki kebijaksanaan sehingga ia akan ditinggikan.
Kebijaksanaanlah yang membawa hamba tersebut berhasil, jadi lebih berfokus pada
“kebijaksanaannya”, bukan “berhasilnya”. Dalam Apparatus
Criticus, kata (~Wrôy") “yarum” dalam
bahasa Inggris “to be raise” atau “be exalted” agaknya adalah tambahan karena
kata tersebut tidak ditemukan dalam versi bahasa Yunani[6].
Dalam terjemahan bahasa Indonesia sendiri, terasa berlebihan memang, ketiga kata
ini muncul dalam TB LAI : “ditinggikan,
disanjung, dimuliakan”. Ketiga kata tersebut adalah efek bagi si hamba
ketika hamba tersebut dikatakan “berhasil”.
Bukankah ketiga kata tersebut memiliki makna yang sama saja? sinonim yang
diulang-ulang, apalagi jika dihubungkan dengan makna berhasil yang sebenarnya
bisa dikatakan bukanlah keberhasilan yang sangat luar biasa, maka sepertinya
pemakaian kata yang berlebihan seperti itu, tidak perlu sebenarnya. Terjemahan
TB BIS [7]sepertinya
lebih masuk akal, hanya memakai dua kata saja. Luther sendiri menerjemahkan
ayat ini dengan diawali “will do
prudently, will act wisely”, jelas bahwa Luther lebih setuju dengan dengan Septuaginta[8]
(LXX) dan Vulgata yang lebih bernuansa “tidak berlebihan”, jadi apa yang
dilakukan hamba tersebut adalah kebijaksanaan. Penulis sendiri, lebih setuju
dengan terjemahan Luther yang mengikuti Septugianta.
Ayat 14 `~d"(a' ynEïB.m Arßa]tow> Whae_r>m; vyaiÞme tx;îv.mi-!Ke
~yBiêr: ‘^yl,’[' WmÜm.v' rv,’a]K;I Jika ayat 14a digabung dengan
ayat 15, maka akan ada nuansa munculnya sosok hamba secara tiba-tiba yang
sangat mencengangkan, sedangkan ayat 14 b, nuansanya justru berbeda, kemungkinan
terjadi kesalahan tempat, jika 14b dipindahkan, mungkin malah lebih baik[9] dari
pada tetap dalam satu ayat tetapi “gak
nyambung”. Ada beberapa bagian dalam ayat ini yang perlu diperiksa
berdasarkan Apparatus Criticus,
yang pertama : kata aleka (‘^yl,’[) yang berarti “at
you” dalam Targum[10] dan Mss[11] ada
perubahan, tertulis (wyl,’[) yang artinya “at him” . Baik TB LAI maupun
TB BIS mengikuti perubahan dalam Targum dalam ayat 14a berbunyi :”…orang
terkejut melihat dia”. Tetapi ada pendapat yang mengatakan, jangan-jangan BHS
yang benar, bukan Targum, karena perubahan yang tiba-tiba, atau kemunculan yang
tiba-tiba, jarang ditemukan dalam syair atau puisi Ibrani.[12] Jika demikian, maka jika yang dipakai adalah (‘^yl,’[)
“at
you” malah lebih masuk akal, jadi dalam bahasa Indonesia ayat 14a
berbunyi :”…orang terkejut melihat engkau”, penulis lebih setuju BHS
dalam terjemahan ini. Dalam ayat 14a, Barth[13]
mengatakan terdapat perbedaan terjemahan yang tertulis dalam LAI, 52:
14a “Seperti banyak orang akan
tertegun melihat dia[14]”.
Dalam naskah Ibraninya bentuk kata kerja atau tensesnya seharusnya “sudah”
jadi terjemahan
yang lebih tepat seharusnya
52: 14a “Seperti banyak orang sudah/telah
tertegun melihat dia..” Kata kedua adalah”ken mishat” (tx;îv.mi-!Ke)
dalam ayat 14b, penggunaan kata “ken”
sangat tidak biasa walaupun tetap dimungkinkan. Makna dari “mishat” dalam bahasa Inggris “marred”
atau “dirusak” dengan adanya kata “ken” yang artinya “so” atau “sangat”berubah
menjadi bernuansa kata benda “kerusakan”
jadi terjemahan “buruk rupa” lebih
tepat jika diterjemahkan “wajahnya sangat
mengalami kerusakan” . Jika ayat 14 b dianggap salah tempat, maka usulan[15]
yang paling masuk akal adalah sebaiknya ayat 14b ini, ditempatkan tepat setelah
Yesaya 53:2-3 atau diantara ayat 2 dan 3. Beberapa penafsir[16] setuju dengan usulan menempatkannya antara ayat 2
dan 3 jadi, ayat
14a (banyak orang ... dia) yang dirasa terlalu
pendek, langsung digabung dengan ayat 15. Penulis sangat setuju dengan usulan
ini, karena justru dengan pemindahan ini, makna dari ayat-ayat tersebut terasa
lebih lebih koheren.
Dalam Ayat 15 al{åw> Alà ra;toï-al{ hY"ëci #r<a,äme
‘vr<Vo’k;w> wyn"©p'l. qnE÷AYK; l[;Y:“w:
`WhdE(m.x.n<w> ha,Þr>m;-al{)w>
Whaeîr>nIw> rd"+h'
ada
masalah teks : “demikianlah
ia akan membuat tercengang banyak
bangsa....”
Dalam bahasa Ibraninya kata “tercengang”
berasal dari kata yazzeh (hZ<y:) dimana akar kata ini
secara primer bermakna “memercikkan”
namun para penafsir kebanyakan lebih menyukai nuansa sekunder dari kata ini. Alasannya,
pertama : dalam bahasa Yunani, LXX memakai kata “qauma,sontai”
artinya memang “terkejut” dalam
bahasa Inggris “be astonished”. Alasan kedua karena bentuk kata kerja “yazzeh” (hZ<y:) adalah hiphil atau reflektif yang bermakna “to cause to spurt atau “menyebabkan
memercikkan (seseorang)”. Dalam tradisi kultis, “memercikkan” selalu berhubungan dengan darah yang dipercikkan
dalam ritual, namun dalam ayat ini justru bukan darah tetapi seseorang atau
orang. Tentu ada perbedaan antara memercikkan darah/cairan dengan memercikkan
seseorang. Jika memakai makna dari terjemahan “memercikkan orang”, maka makna menjadi rancu. Alasan ketiga, mungkin terjadi kesalahan penafsiran
eksegetis dalam ayat ini, dalam rangka menonjolkan tradisi kultis yang tidak
pernah terwujud, jika terjemahannya dipertahankan, maka tradisi kultis semacam
“memercikkan orang” sepertinya memang
tidak akan pernah terjadi. Dengan ketiga alasan diatas, maka sangat masuk akal,
jika para penafsir langsung mengikuti LXX dengan terjemahkannya “many nations shall be astonished at him”.
Jadi terjemahannya : “Banyak bangsa akan
terkejut, Raja-raja akan mengatupkan
mulutnya” kalimat “Raja mengatupkan
mulut “ juga termasuk tanda rasa hormat[17]. Jika
ayat 14a diasumsikan bergabung dengan ayat 15, maka subjeknya “banyak” yaitu banyak orang dan banyak
bangsa yang jika dihubungkan langsung dengan pasal 53 ayat 1. Melihat hubungan antara bagian ini dengan ayat-ayat terlihat jelas dimana metafora “melihat” (52:15b ) diikuti “mendengar” (15b) dan dilanjutan atau tetap terlihat dalam 53:1.
Ayat 1 ini mirip dengan Mazmur[18]
34, di mana seseorang menyatakan terima kasih atas pembebasan dirinya dari penderitaan,
juga mirip dengan Mazmur 107. Walaupun bukan Tuhan yang berbicara langsung dalam ayat
ini, karena baik Tuhan dan hamba disebut dalam bentuk orang ketiga namun
merupakan satu cerita dimana Tuhan dalam pengetahuanNya pada akhirnya membentuk kesimpulan
yang bahagia dimana si hamba beruntung atau berhasil. Jika ayat 14b,
dihubungkan dengan ayat 15 dan pasal 53 ayat 1 maka akan membentuk ayat-ayat
yang cukup koheren dan penulis sangat setuju dengan usulan penyatuan ini.
Dalam Yesaya 53 ayat 2 al{åw> Alà ra;toï-al{ hY"ëci #r<a,äme ‘vr<Vo’k;w>
wyn"©p'l. qnE÷AYK; l[;Y:“w:
`WhdE(m.x.n<w> ha,Þr>m;-al{)w>
Whaeîr>nIw> rd"+h'
kata
“carang” yang merupakan tumbuhan muda
dan “akar dari tanah kering” adalah
merupakan simbol yang biasa dipakai didaerah Timur kuno termasuk Israel, dimana
orang yang memiliki berkat Illahi diumpamakan seperti tumbuhan. Kata “ia tumbuh” bukanlah berbicara tentang
awal kehidupan hamba atau tentang kehidupan hamba seelumnya tetapi hanya sebuah
metafora yang diambil dari tumbuhan. Kata “lepanaw”(wyn"©p'l.) “For he grow up before
him” menunjuk kepada kehadiran Yahweh tetapi ada usulan dari para
penafsir dengan menggunakan kata “lepanenu[19]”dalam
ayat 2 ini “For he grow up before us dimana “kita” menunjuk
kepada subjek sebelumnya (di ayat 1 subjeknya kami, kita) tetapi jika
dihubungkan dengan ayat 1, maka jika dihubungkan dengan kekuasaan Tuhan,
perubahan ini tidak terlalu mengubah arti. Dalam TB LAI dan BIS, memakai
terjemahan “before him” . Penekanan
adalah ada pada ayat 2b, pada suramnya keadaan si hamba atau kemalangan si
hamba. Cerita tentang hamba memang baru dimulai di ayat 2 ini, dimana si hamba
itu selalu disebut dengan sebutan “dia”,
anonim dan tidak diketahui dari mana asalnya, tidak tahu dari mana muncul garis
keturunannya. Dia tidak memiliki sesuatu yang menonjol sehingga orang lain
memperhatikan dia. Gambaran
tentang penolakan si hamba terlihat jelas di ayat 3, frase "ditinggalkan oleh manusia" “vahadal issim” ( ~yviêyai ld:äx]w:) dimana beberapa komentator
berpendapat terjemahannya lebih baik "pengucilan dari kumpulan manusia”. Ayat 3b bahkan berbicara bahwa si hamba tertimpa penyakit. Walupun demikian, hampir seluruh nuansa hamba ini mengacu
kepada cerita nonbiografi[20],
tetapi lebih fokus pada respon orang lain kepadanya. Ia dihina dan
dijauhi oleh semua orang, saking jijiknya, orang menutupi wajah mereka untuk mencegah melihatnya. Ia dicemooh dan
dihina oleh semua orang. Dilihat dari kritik
bentuk,
pengakuan "kami"
dan “kita” muncul mulai dari ayat 3 ini, di Perjanjian Lama, kata ini selalu menunjuk pada bangsa Israel dan bukan bangsa-bangsa lain
(Hosea 6:1 Jer 3:21 Dan 9:4 dll). Pada ayat 4, kata “Sesungguhnya” “aken”
(!kEÜa') jika dilihat mulai
dari ayat 3,
ada semacam pengakuan dari yang berbicara bahwa penderitaan hamba penyebabnya
adalah mereka. Di ayat 7 “Dia tertindas/didesakkan": kata ini menunjukkan fisik yang brutal. Namun,
tidak ada bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa hamba itu dihukum mati.
Mungkin pengulangan pemakaian kata hanya untuk mendramatisir saja atau terjadi
kesalahan penyalinan.
Teks yang problematis muncul lagi dalam 53:8
#r<a,äme ‘rz:g>nI yKiÛ x:xe_Afy> ymiä
ArßAD-ta,w> xQ'êlu ‘jP'v.MimiW rc,[oÜme
`Aml'( [g:n<ï yMiÞ[; [v;P,îmi ~yYIëx;
“Ia terambil
dan tentang nasibnya siapakah
yang memikirkannya?”(LAI)
Dalam naskah Ibrani kata “tentang
nasibnya “ini tidak
jelas artinya, dan
terambil berasal dari kata laqakh (xQ'êl) yang sering dipakai untuk
memperhalus kata “mati” sehingga Barth dengan
mengutip terjemahan Naipossos, lebih setuju
menerjemahkannya dengan menambahkan
kata
mati sehingga terjemahannnya menjadi 53:8a “Ia
terambil mati dan tentang
nasibnya siapakah
yang memikirkannya?” Tetapi pendapat Barth
berbeda dengan Whybray dan Singgih yang mengatakan bahwa laqakh (xQ'êl) tidak selalu bermakna kematian tetapi bisa
juga bermakna menderita luar biasa karena perlakuan musuh, seperti berada dalam
kematian saja suasanya, jadi tidak harus ditafsir mati. Jadi pun kalimat dalam ayat 8b “Sungguh ia terputus dari negeri orang-orang hidup” tidak harus
ditafsir mati. Dalam ayat 8c “dan karena
pemberontakan umat-Ku ia kena tulah” akhiran “Ku” (yMiÞ[;) menunjukkan bahwa subjek yang berbicara berganti
menjadi Tuhan. Dalam naskah Qumran justru bermakna “umatnya”, jadi ada
perbedaan subjek yang berbicara tetapi mungkin saja ada kesalahan penulisan.
Selanjutnya dalam ayat 9b, munculnya
kata “diantara penjahat-penjahat” muncul
karena dugaan paralel dengan kata “orang-orang
fasik” di ayat 9a, karena Klinkert menerjemahkannya berbeda “diantara orang-orang kaya” dengan
mengacu kepada seorang kaya, Yusuf dari Arimatia yang membeli mayat Yesus untuk
dikubur, tetapi tentu saja terjemahan Klinkert ini bisa diperdebatkan jika
melihat konteks Deutro Yesaya sendiri. Masuk ke ayat 10, ada nuansa korban
disana “Tetapi TUHAN berkehendak
meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban
penebus salah” Korban penebus salah atau asyam (~v'a')dalam ayat ini bermakna sebagi ganti rugi. Dalam
ayat 11, “Sesudah kesusahan jiwanya ia
akan melihat terang” yang diterjemahkan LAI, mengikuti LXX dan Teks
Qumran. Dalam bahasa Ibrani yang biasa justru terjemahannya “melihatnya”
dengan pengertian apa yang
dilihat itu tidak jelas objeknya, namun LAI menerjemahkan bahwa yang dilihat
adalah “terang” karena LXX dan
Qumran sudah menulis seperti itu.
Terjemahan
Mandiri[21]
52: 13. Sesungguhnya, hambaKu
akan melakukan kebijaksanaan dan berhasil, ia akan disanjung dan ditinggikan.
14. Dahulu banyak orang telah terkejut melihat engkau –
15. Tetapi sekarang, ia akan membuat terkejut banyak bangsa,
raja-raja akan mengatupkan mulutnya karena
melihat dia. Mereka akan melihat dan mengerti apa yang sebelumnya mereka tidak lihat
dan sebelumnya mereka tidak
ketahui.
53:1. Bangsa itu menjawab : “Siapakah yang percaya
kepada apa yang telah kami dengar, dan
lengan Tuhan, kepada siapakah kuasaNya dinyatakan?
2. Sebagai carang ia tumbuh di hadapanNya dan sebagai akar dari
tanah kering(gersang). Tiada yang indah
padanya untuk dipandang, tidak ada yang
menarik untuk kita inginkan.
rupanya (wajahnya) sangat sudah dirusak, sehingga bukan seperti manusia
lagi.[22]
3. Kita menghina dan menjauhi dia, orang yang penuh kesedihan/sengsara dan kenyang menanggung
kesakitan;Tak seorangpun mau memandang dia, dan kita pun
tidak memandang/mengindahkan dia.
4. Padahal sesungguhnya, kesakitan kitalah yang dia tanggung,
dan kesedihan/sengasara kitalah yang dia
derita/pikul, sementara kita mengira penderitaaannya itu hukuman Allah baginya.
5. Dia dilukai/ditikam karena dosa-dosa kita, dia diremukkan/didera
karena kejahatan/kesalahan kita; Ia dihukum
supaya kita selamata, dan karena bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
6. Kita semua sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil
jalannya sendiri-sendiri, tetapi Tuhan
telah menimpakan kepadanya
kesalahan kita semua.
7. Dia diperlakukan dengan kejam, tetapi dia menanggungnya
dengan sabar. Ia tidak membuka mulutnya
seperti anak domba yang dibawa ke
pembantaian dan seperti induk domba yang dicukur
bulunya.
8. Ia
ditahan dan diadili, lalu digiring dan dihukum mati, dan tentang nasibnya
siapakah yang perduli?Ia mati
karena dosa bangsa kita.
9. Ia di kuburkan bersama orang jahat, diantara para pembuat
jahat sekalipun ia tidak berbuat
ia tidak pernah menipu.
10. Tuhan berkenan kepada dia yangmenderita, dia yang menyerahkan dirinya sebagai kurban penghapus dosa. Maka ia akan panjang
umur dan melihat keturunannya; melalui dia kehendak Tuhan akan terlaksana.
11. Karena itu Tuhan berkata “ Selepas dari kesusahan/penderitaan
jiwanya ia akan bahagia dan puas. Hambak-Ku
yang menyenangkan hati-Ku itutelah memanggung hukuman banyak orang, sebab kesalahan merekalah yang dia pikul, demi dia Aku akan mengampuni
mereka.
12. Dengan rela ia menyerahkan hidupnya dan masuk bilangan orang
jahat. Ia memikul dosa banyak orang dan berdoa supaya orang-oarang itu diampuni.
Maka Aku member orang banyak sebagai hadiah
dan ia mendapat bagian bersama orang-orang benar.
III. Konteks Historis
Yesaya 40-55 yang populer disebut Deutro
Yesaya, ditulis dalam konteks masa pembuangan ke Babel antara tahun 598 dan 582
SM. Bagian pertama kitab Yesaya pasal 1-39 (Proto Yesaya) konteksnya adalah pra
pembuangan dan kitab Yesaya bagian yang ketiga pasal 56-66 (Trito Yesaya)
konteksnya pasca pembuangan. Tentu kesepakatan ini muncul dari
penafsir-penafsir dengan meneliti konteks historis yang memang berbeda dari
ketiga jaman dalam kitab Yesaya ini. Proto Yesaya banyak bercerita tentang
keadaan sebelum Israel dibuang, Trito bercerita keadaan setelah pasca
pembuangan yang menceritakan keadaan Israel akan dipulihkan. Sedangkan Deutro
Yesaya bercerita tentang pembuangan ke Babel dan munculnya Koresh sebagai pembebas
dari Babel, pada saat seperti itulah
Deutro Yesaya membawa friman Allah kepada orang-orang yang dibuang, sekitar
tahun 546[23]
dan 538 sM, saat itu orang Yahudi sudah menderita selama 40 tahun lamanya
dibawah kuasa Babel. Dengan pembuangan ini, wajar saja jika umat Allah merasa
bahwa mereka ditinggalkan oleh Allah yang pernah berjanji kepada nenek moyang,
bahwa berkatNya akan turun temurun. Jadi kehadiran Deutro Yesaya adalah
membangkitkan kembali kepercayaan umat kepada Allah dengan mengingatkan mereka
akan kuasaNya sebagai pencipta, kemurahanNya sebagai Allah yang memilih Abraham
dan kerturunannya, kasihNya dalam pembebasan dari Mesir dan sekarang pun Tuhan
akan melakukan penyelamatan lagi terhadap umat yang ada di pembuangan, sebantar
lagi mereka akan bebas dari Babel. Deutro Yesaya berusaha membangkitkan lagi
iman[24]
umat kepada Allah, bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka dan Allah
perduli dengan keluhan-keluhan umatNya. Ditengah keadaan Israel yang merasa
ditinggalkan oleh Yahweh, mereka ternyata ditolong oleh Tuhan melalui
kemenangan Koresh sekitar tahun 546. Dengan kisah munculnya Koresh sebagai
juruselamat, Deutro Yesaya ingin menyampaikan kepada seluruh umat Israel bahwa
Yahweh senantiasa memperhatikan hidup mereka, Yahweh tidak meninggalkan mereka
sama sekali dan Koresh adalah utusan Yahweh untuk membebaskan Isarel. Bahkan
Koresh disebut sebagai hamba Yahweh.
Dalam isi Deutro Yesaya, terdapat 4
syair hamba Tuhan dimana dua syair pertama melukiskan panggilan Tuhan yang
dipercayakan kepada hambaNya dan dua syair yang terakhir menggambarkan akibat
pelayanan dari hamba tersebut, melalui penghinaan bahkan kematian, hamba
tersebut membawa keselamatan bagi banyak orang dan oleh karena kerelaannya
menderita itulah, si hamba dinyatakn benar dan ditinggikan oleh Allah. Memang
akan muncul pertanyaan, siapakah hamba yang dimaksud dalam tiap syair hamba
Tuhan tersebut? Deutro Yesaya sendiri kadang-kadang menunjuk pada hamba yang
bersifat pribadi tetapi di sisi lain hamba yang dimaksud juga menunjuk kepada
Israel sebagai umat atau secara komunal. Para penafsir sepakat bahwa, memang
Deutro Yesaya sering mengidentikkan hamba tersebut dengan Israel namun jika
hamba yang dimaksud bersifat pribadi, mungkin itu mengacu kepada Deutro Yesaya
sendiri sebagai penulis kitab ini.
Syair hamba Tuhan yang keempat dalam TB LAI,
perikopnya diberi
judul “Hamba Tuhan yang menderita”
dan menjadi satu kesatuan yang utuh dimulai dari pasal 52 ayat 13 sampai pasal
53 ayat 12. Barth[25]
mengatakan bahwa perikop ini memang utuh, pendapat Barth senada dengan
pendapat empat penafsir[26]
lain yang menjadi referensi dalam tulisan ini juga senada dengan Singgih,
memang sebaiknya keutuhan perikop ini jangan diabaikan. Jika hamba bisa
bermakna pribadi ataupun Israel secara kolektif, maka setuju dengan, para
penafsir termasuk Singgih[27] penulis
melihat makna hamba dalam perikop ini adalah mengacu pada pemahaman kolektif
yaitu Israel sebagai umat yang dibuang ke Babel, bukan pribadi. Untuk lebih
memudahkan analisa dan penafsiran dalam perikop ini, penulis mencoba membagi
perikop ini dalam 3 bagian besar[28] :
a. Yesaya
52:13-15 (Pengumuman Tuhan tentang Keberhasilan hambaNya)
Awal bagian ini yaitu
ayat 13, semua penafsir setuju bahwa perikop ini dimulai dengan peninggian
kepada hamba di ayat ini. Childs dan Whybray mengatakan bahwa ayat ini paralel
dengan syair hamba di 42: 1. Jika hamba tersebut adalah menunjuk kepada Israel
secara komunal sebagai umat Allah, maka dalam bagian ini dapat dipahami bahwa Israel
diumumkan berhasil dan ditinggikan oleh Allah. Walaupun Israel memang sekarang
di buang ke Babel namun, Tuhan akan menolong dan membebaskan mereka dan tidak
lama lagi Israel akan berhasil kembali
ke Yerusalem. Keadaaan di pembuangan adalah keadaan yang sangat menderita yang
dipandang sebagai hukuman Tuhan atas dosa masa lalau Israel sebelum masa
pembuangan, tetapi jika Israel tekun dan bijaksana dalam menjalani penderitaan
dalam pembuangan itu, maka hasil akhirnya Tuhan akan menyanjungnya. Dalam
ketiga ayat ini, Tuhan sendirilah yang mengatakan itu atau Tuhan sendiri yang
berbicara demikian.
Jika tadinya orang
lain atau bangsa lain “ngeri” melihat
betapa menderitanya Israel, maka sekarang bangsa-bangsa lain akan
tercengang-cengang melihat bahwa Allah Israel sanggup membuat umatNya berhasil.
Kata “ngeri” menjadi ekspresi luar
biasa, karena di pembuangan Israel menanggung
malu, aib, tekanan luar biasa bagaimana tidak, Allah yang menjadi andalan
mereka selama ini seakan tidur atau bahkan mati, tidak sanggup menolong lagi,
bangsa-bangsa lain pasti mencemooh Allah mereka. Mungkin mereka kehilangan
hak-haknya sebagi manusia, dan orang lain memandang mereka sangat rendah dalam
penderitaan di pembuangan. Namun akhirnya bangsa-bangsa bahkan raja-raja di
dunia mendadak akan kaget setengah mati melihat perubahan status Israel dari bangsa yang dibuang menjadi bangsa yang
membuat dunia tercengang. Israel akan dipulihakan dan situasi ini sangat tidak
terduga.
b. Yesaya
53:1-10 (Kesaksian mengenai Hamba Tuhan)
Jika dalam tiga ayat
sebelumnya jelas-jelas Tuhan yang berbicara maka dalam pasal 53:1-10, yang
berbicara bukan Tuhan lagi tetapi bangsa-bangsa dan raja-raja ini menurut
Whybray yang disetujui oleh Singgih. Janji pemulihan dari pembuangan, Israel ibarat tumbuhan muda yang keluar dari tanah kering, proses
pemulihan dari situasi yang mencekam. Hamba yang buruk rupa, menjijikkan dan orang lain
tidak ingin melihatnya, adalah keadaan Israel di pembuangan. Namun perlu
dipahami bahwa penderitaan Israel bukan semata-mata karena dosanya namun juga
karena merasa ikut menanggung penderitaan bangsa-bangsa lain. Penafsiran ini
muncul dari ayat 3 “Ia dihina dan dihindari
orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia
sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.” Dari pergeseran kata “dia” atau hamba atau Israel menjadi “kita”. Untuk ayat-ayat
berikutnya kata “kita” sering muncul
sebagai ekspresi bangsa-bangsa lain yang mengakui bahwa penderitaan Israel
terjadi karena solider dengan bangsa-bangsa lain itu. dilihat mulai dari ayat 3, ada semacam
pengakuan dari yang berbicara bahwa penderitaan hamba penyebabnya adalah
mereka, masyarakat seluruh pembuangan. Singgih[29]
mengatakan bahwa penderitaan Israel bukanlah dalam rangka menggantikan
bangsa-bangsa tetapi dalam rangka ikut merasakan penderitaan bangsa-bangsa
tersebut. Penyakit yang disebutkan dalam bagian ini ditafsir sebagian orang
semacam penyakit lepra yang bisa menyebabkan wajah seseorang berubah menjadi
sangat buruk atau rusak, tetapi bisa juga ditafsir sebagai penyakit karean
siksaan dan penderitaan yang dialami.
Tetapi apapun penafsirannya sah-sah saja, apalagi jika ini adalah sebuah
metafora atau penggambaran terhadap keadaan Isarel. Frase “ ditindas/dipukul oleh Allah” mungkin
berarti "sangat tertindas/terpukul” dimana hamba itu telah
membawa hukuman Ilahi pada
dirinya
sendiri.
Pada ayat 5, frase “Oleh karena
pemberontakan kita, oleh karena kejahatan kita" diinterpretasikan sebagai perwakilan penderitaan yang seolah-olah dialami sendiri. Orang-orang yang berdosa, tetapi hamba itu yang
dihukum. Sepertinya penulis berniat untuk menyatakan perasaan bersalah. Fakta bahwa Deutro Yesaya memilih partikel "min" menunjukkan bahwa ia menganggap perlakuan buruk hamba adalah akibat dari
dosa rakyat, tetapi bukan sebagai pengganti untuk hukuman yang layak. Jika tidak ada
dosa maka tidak ada pengasingan dan pembuangan. Hamba menderita bersama dengan rekan-rekannya
sesama orang buangan,
yang merupakan dampak dari dosa Israel. Bisa dibandingkan dengan pengalaman Jeremia dan Yehezkiel yang juga menderita dari
penyebab yang sama. Ungkapan “Oleh bilur-bilurnya kita menjadi
sembuh” merupakan satu makna
tentang seorang yang terluka tetapi sekaligus menyembuhkan yang lain. Bahkan
karena keterlukaan dan penderitannya itulah, yang menyebabkan yang lain menjadi
sembuh. Maka dapat dimaknai sebagai luka dan derita yang dialami Israel, adalah
untuk menyembuhkan bangsa-bangsa lain. Dan luka Israel sendiri akan sembuh
dengan jalan menyembuhkan yang lain dari derita dan luka mereka.[30] Ayat 6 "Kita sekalian sesat sebagai domba" penggunaan kata "sekalian/semua" menunjukkan bahwa pembicara mengidentifikasi diri mereka secara
komunal sebagai seluruh
masyarakat. Di ayat 7 “Dia tertindas/didesakkan": kata ini menunjukkan fisik yang brutal. Dalam
ayat ini juga terlihat bahwa si korban
hening walaupun tidak ada bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa hamba itu dihukum mati.
Namun, hal ini bermakna bahwa di
pembuangan bangsa-bangsa telah menjahati
dan menindas Israel walaupun sebenarnya bangsa-bangsa lain tersebutlah
yang akan dihukum nantinya karena kejahatannya. Keduanya akhirnya menjadi terhukum
baik Israel maupun bangsa-bangsa lain, namun Israel tentu ,menderita demi
bangsa-bangsa tersebut, tidak hanya karena kejahatannya sendiri.
Di ayat 8 “Ia terambil dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya?”(LAI)
Dalam naskah Ibrani kata “tentang
nasibnya “ini tidak
jelas artinya, dan
terambil berasal dari kata laqakh yang sering dipakai untuk memperhalus kata
“mati” Tetapi pendapat Barth berbeda dengan Whybray dan Singgih yang mengatakan
bahwa laqakh tidak selalu bermakna kematian tetapi bisa
juga bermakna menderita luar biasa karena perlakuan musuh, seperti berada dalam
kematian saja suasanya, jadi tidak harus ditafsir mati. Jadi
pun kalimat dalam ayat 8b “Sungguh ia terputus dari negeri orang-orang
hidup” tidak harus ditafsir mati. Dalam ayat 8c “dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah” akhiran “Ku”
menunjukkan bahwa subjek yang berbicara berganti menjadi Tuhan. Dalam naskah
Qumran justru bermakna “umatnya”, jadi ada perbedaan subjek yang berbicara
tetapi mungkin saja ada kesalahan penulisan. Dalam pengertian laqakh di ayat 8 ini pun harus dipahami
sebagai konteks pembuangan. Suasana pembuangan sangat tidak mengenakkan jadi
wajar saja jika dikatakan seperti berada dalam dunia orang mati. Ini juga
terlihat dalam pasal-pasal sebelumnya dimana Israel mengeluh akan nasib mereka
di pembuangan, seakan-akan mereka tidak punya Allah. Keadaan di pembuangan
mirip dengan keadaan “sheol” atau
suasana “kaos” yang sangat kacau
balau.
Selanjutnya
dalam ayat 9-10 ada nuansa korban disana “Tetapi
TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan
dirinya sebagai korban penebus salah” Korban penebus salah atau asyam dalam ayat ini bermakna sebagai ganti rugi. Tekanan
pada ketidakbersalahan hamba Tuhan, tetapi dia harus melalui penderitaan itu
justru sebagai korban penebus salah. Jika kondisi pembuangan dilihat sebagai
hal yang sangat menyakitkan, maka “asyam”
mengacu kepada Israel yang melaksanakan korban penebus salah (penderitaan itu)
demi keperluan bangsa-bangsa. Atau Israel dianggap sebagai korban penerima
ganti rugi, apalagi jika dihubungkan dengan ayat 12, Israel nantinya akan
menerima rampaasan sebagi ganjaran, maka ada konsep teologi korban dalam
perikop ini.
c. Yesaya
53:11-12 (Penghargaan bagi hamba Tuhan)
Dalam
ayat-ayat ini, kembali Tuhan yang berbicara, Tuhan menyatakan Israel benar
dalam penderitaannya dan dianugrahi tempat yang tinggi dari Allah. Ketika
Israel menderita karena ikut menanggung penderitaan bangsa-bangsa lain dan
akhirnya bangsa-bangsa lain memperoleh keselamatan, maka dalam hal itu Israel
dibenarkan oleh Allah. Karena Israel dibenarkan Allah, maka bangsa-bangsa lain
juga akhirnya dibenarkan oleh Allah. Israel yang tidak bersalah tetapi telah
memikul penderitaan karena kejahatan bangsa lain sebagai hukuman yang
seharusnya ditimpakan kepada bangsa lain tersebut, adalah sebuah pemaknaan akan
“yang terluka yang menyembuhkan”[31]. Dalam
2 ayat terakhir dalam perikop ini jelas, bahwa Tuhan yang berbicara dengan
mengatakan bahwa si hamba itu benar adanya dan Tuhan memproklamasikan
penghargaan yang luar biasa terhadap apa yang sudah dialami oleh hamba
tersebut. Israel memandang hukuman di pembuangan sebagai penderitaan yang
datangnya dari Tuhan sebagai suatu keadilan. Israel juga terhitung sebagai
pemberontak dan menderita bersama mereka, namun jika semuanya dijalani dengan
tekun, akan berakhir pada penghargaan yang sepadan dari Tuhan kepada Israel,
yaitu pembebasan dan jaminan hidup dalam kasih Tuhan, tidak hanya untuk masa
kini tetapi untuk seterusnya.
IV. Evaluasi
Teologis
Menarik bahwa tafsiran Singgih
tentang hamba secara komunal dalam konteks Indonesia adalah hamba yang terluka
dan menyembuhkan. Sekalipun Singgih mengangkat tema kekerasan di Indonesia, dengan
merefleksikan komunitas Kristen manjadi orang-orang yang ikut menderita karena
menjadi korban kekersan namun di sisi yang lain menjadi penyembuh juga bagi
korban-korban lain, persis seperti hamba yang menderita namun dengan
penderitaanya, ia telah membuat orang lain hidup dan selamat. Sekarang ini jelas bahwa konteks Indonesia dan komunitas
Kristani yang ada di dalamnya tidak dalam keadaan menderita dalam pembuangan
seperti Israel dalam konteks Deutro Yesaya, namun ada sisi-sisi penderitaan
komunal yang dialami orang Kristen yang relevan dengan syair hamba Tuhan ini. Penulis
tertarik melihat relevansinya dengan bancana beruntun yang menimpa Indonesia
beberapa waktu belakangan ini. Sebut saja Banjir di Wasior, Tsunami di Mentawai
dan Bencana Merapi yang masih menjadi isu hangat di Indonesia. Jika Israel
dipanggil Allah sebagai saksiNya bagi bangsa-bangsa lain, menderita di pembuangan
dalam rangka menyaksikan Allah kepada seluruh dunia, maka bisa jadi, komunitas
Kristiani yang menderita di Wasior, Mentawai dan Jogjakarta adalah hamba secara
komunal yang sedang menderita karena bencana, namun dalam penderitaan tersebut,
mereka sekaligus sedang menjalankan misi Allah dalam menghibur orang lain yang
sedang menderita juga sebagai sesama korban bencana.
Penulis mencoba melihat lingkup yang lebih sempit
dengan Komunitas Kristen di Jogjakarta dalam
situasi Merapi dan kampus UKDW secara khusus, maka penulis menemukan pemaknaan
bahwa UKDW sedang dipanggil menjadi hamba yang menderita karena korban bencana
tetapi sekaligus juga sebagai hamba yang menghibur korban bencana yang lain dan
menolong yang lain supaya selamat dan terhibur. Perkuliahan yang sempat
diliburkan karena kota Jogjakarta penuh dengan abu Merapi, menurut penulis
merupakan dampak bagi kampus yang bisa dikategorikan penderitaan, juga dengan
banyaknya mahasiswa yang harus mengungsi ke tempat yang aman. Tetapi di balik
itu, kampus dibuka sebagai posko bagi pengungsi, dosen-dosen dan mahasiswa
bersama-sama seluruh civitas akademika
membuka dapur umum, tidak hanya untuk pengungsi yang ada di kampus UKDW tetapi
juga yang ada di tempat pengungsian lain diluar kampus UKDW. Penulis
menyaksikan[32]
sendiri bagaimana para pengungsi diterima di kampus tanpa membeda-bedakan latar
belakang mereka, agama, suku, usia dan status. Rekan-rekan mahasiswa bergantian
juga harus berangkat ke posko-posko dekat daerah bencana untuk menjadi relawan
disana, membantu para korban dan ikut merasakan penderitaan mereka. Jika di
depan kampus UKDW saja, abu Merapi sangat tebal, maka tidak terbayangkan
bagaimana keadaan abu di posko-posko yang dekat dengan Merapi, tetapi walaupun
demikian, para relawan tetap bersemangat melakukan tugas mereka. Di satu sisi
mereka juga menderita, tetapi mereka menyembuhkan orang lain yang menderita
ketika mereka ikut menderita bersama. Secara khusus, penulis juga melihat semangat
yang luar biasa dari dosen yang juga terlihat sangat solider saat bencana,
terbukti salah satunya dengan kehadiran Pak Gerrit[33]
yang cukup intens[34]
di kampus bersama para pengungsi dan relawan lain. Bahkan mahasiswa sampai menuliskan
kesan mereka terhadap beliau di sebuah jejaring sosial[35]
dengan slogan “Bersama Gerrit Singgih,
dibawah Bayang-bayang Merapi[36]”
Rasanya tidak berlebihan jika penulis mencoba merelevansikan Israel sebagai
komunitas yang terluka yang menyembuhkan dengan komunitas UKDW yang juga
terluka tetapi tetap melakukan misinya dalam merawat dan menolong yang lain
yang terluka supaya sembuh. Komunitas UKDW juga paralel dengan profil hamba
yang terluka yang menyembuhkan walaupun perlu diperiksa lagi, apakah komunitas
di UKDW melakukan semua itu karena kesadaran akan panggilan Tuhan untuk
melakukannya?
Penulis juga sempat berefleksi
dengan berita di Media tentang sejumlah
relawan yang turun ke tempat terjadinya bencana untuk mengevakuasi orang-orang
yang selamat dan mencari mayat-mayat yang tertimbun, namun pada akhirnya
sejumlah relawan tersebut meninggal dunia, seperti beberapa petugas SAR yang
meninggal dunia. Beberapa orang diantara relawan tersebut masih muda dan
meninggalkan keluarga yang sangat sedih dan menderita karena kepergian mereka,
bahkan santunan yang diperoleh keluargapun tidak besar. Apakah kematian mereka
sebanding? Jika dalam syair hamba Tuhan yang keempat si hamba digambarkan
sangat menderita, tetapi tidak ada bukti yang mengatakan ia benar-benar mati.
Gambaran mati dalam syair tersebut adalah sebuah dramatisasi. Namun dalam kisah
petugas SAR ini, mereka benar-benar mati untuk menolong orang lain, tanpa kesalahan apapun. Penderitaan mereka sampai
ajal adalah keselamatan bagi orang lain. Sangat cocok dengan gambaran hamba
Tuhan dalam syair yang keempat ini.
V. Penutup
Dengan melihat makna dari syair hamba Tuhan yang
keempat ini dalam konteksnya jelas bahwa hamba yang dimaksud adalah Israel
secara komunal. Dan jika merelevansikannya dalam konteks masa kini, hamba
adalah komunitas Kristen yang menyadari panggilan Allah terhadapnya, mau dan
rela menderita dan berkorban demi keselamatan orang lain walaupun dia sendiri
terluka dan menderita. Dengan berefleksi dari makna syair hamba Tuhan yang
keempat ini, kiranya komunitas Kristen di Indonesia dimanapun berada, dalam
konteks apapun, mampu menyadari panggilannya sebagai hamba dan ketika masuk
dalam kehidupan yang menderita, mampu menjadi pemyembuh, pengibur bagi yang
lain walaupun ikut menderita. Senantiasa tekun menjalani penderitaan itu,
karena ketika ketekunan menbuahkan keberhasilan, akan ada penghargaan dari Allah
bagi orang yang demikian.
Daftar Pustaka
Barth, Marie-Claire. 2007, Tafsiran Alkitab : Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung Mulia, Jakarta.Childs, Brevard S. 2000, Isaiah : a Commentary, Westminster John Knox Press, Louisville Kentucky.North, Christopher. 1964, The Second Isaiah, Oxford University
Press, London.
Singgih,
Emanuel Gerrit. 2009, Dua Konteks :
tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai respon atas perjalanan
reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Singgih,
Emanuel Gerrit. 2000, Berteologi dalam
Konteks, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Westerman,
Claus. 1978, Isaiah 40-66, SCM Press Ltd, London.
Whybray,
R.N. 1975, Isaiah 40-66, Oliphants, London.
[1] Misalnya Lukas mengutip langsung Yesaya 53:2 dalam Lukas
22:37 Sebab Aku berkata kepada kamu,
bahwa nas Kitab Suci ini harus digenapi pada-Ku: Ia akan terhitung di antara
pemberontak-pemberontak. Sebab apa yang tertulistentang Aku sedang
digenapi."
[2] Misalnya Matius 8:17,
Hal itu terjadi supaya
genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: "Dialah yang memikul
kelemahan kita dan menanggung penyakit kita" mengutip sebagian Yesaya 53:3 ; sementara
dalam Yoh 1:29 Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia
berkata: "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia. Terasa ekspresi tulisan Yohanes ini memperbandingkan Yesus dengan
hamba yang terdapat dalam syair hamba Tuhan keempat.
[3] Dalam
memahami Kritik Historis, penulis membaca E. Gerrit Singgih, Dua Konteks, BPK Gunung Mulia, 2009, bagian
Prakata.
[4]
Penulis mencoba membandingkan teks-teks yang problematis dengan mengacu kepada Apparatus Criticus dalam Biblia Hebraica Stuttgartensia
(selanjutnya akan disebut BHS saja) setelah itu, dari hasil membandingkan
terjemahan yang lebih logis dari perangkat penelitian teks tersebut, penulis
akan mencoba menemukan terjemahan baru yakni terjemahan mandiri penulis
sendiri.
[5] Lihat
R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 169.
[6] Lihat
Christopher. North, The Second Isaiah,
Oxford University Press, 1964, hlm. 227.
[7] TB
BIS Yesaya 52:13. TUHAN berkata, "Sesungguhnya, hamba-Ku akan berhasil; ia
akan disanjung dan ditinggikan.
[8] Lihat
Claus.Westerman, Isaiah 40-66, SCM Press Ltd, 1978, hlm. 258.
[9] Saran
dari penafsir, Lihat Brevard S. Childs, Isaiah
: a Commentary, Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 412.
[10]Targum
adalah terjemahan teks Ibrani dalam bahasa Aram (Kitab-kitab suci dalam bahasa
Aram) selain itu, dalam terjemahan bahasa Siria juga mengikuti perubahan
seperti dalam Targum, Lihat R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm.
170.
[11] Dalam
BHS, Mss adalah kodeks tulisan tangan berbahsa Ibrani menurut B. Kennicot, Vetus Testament Hebraicum (Perjanjian
Lama berbahasa Ibrani)
[12] Lihat
R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[13] Dia
setuju dengan terjemahan Naipospos, Lihat Marie-Claire. Barth, Tafsiran Alkitab : Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung Mulia, 2007, hlm. 307.
[14] Ada
usulan lain lagi “..Seperti banyak orang akan ngeri melihat dia”
Lihat
R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[15] Lihat
Brevard S. Childs, Isaiah : a Commentary,
Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 412.
[16] Ibid,
hlm. 412 juga Westerman dan Lihat Christopher. North, The Second Isaiah, Oxford University Press, 1964, hlm. 228.
[17] Jika
banyak bangsa akan menderapkan kakinya sebagai tanda hormat, maka mengatupkan
mulut juga bisa dianggap sebagi tanda penghormatan juga R.N Whybray, Isaiah
40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[18] Ibid,
hlm. 172.
[19] Lihat
Christopher. North, The Second Isaiah,
Oxford University Press, 1964, hlm. 229.
[20] Lihat
Brevard S. Childs, Isaiah : a Commentary,
Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 414.
[21]
Setelah memeriksa teks yang problematis dengan bantuan Apparatus Cristicus BHS dan pendapat beberapa penafsir, maka
akhirnya penulis mencoba menyajikan terjemahan baru yakni terjemahan mandiri
penulis dengan memilih terjemahan yang paling masuk akal. Dalam terjemahan
mandiri ini, penulis juga cenderung lebih seuju dengan terjemahan TB BIS
daripada terjemahan TB LAI.
[22]
Pemindahan yang disetujui penulis dengan mempertimbangkan usulan dari banyak
penafsir. Ayat 14b pindah dan ditempatkan dianta ayat 2 dan 3 Yesaya pasl 53.
[23] Lihat
Marie-Claire. Barth, Tafsiran Alkitab :
Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung
Mulia, 2007, hlm. 14.
[24] Ibid,
hlm. 15.
[25] Lihat
Marie-Claire. Barth, Tafsiran Alkitab :
Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung
Mulia, 2007, hlm. 309.
[26]
North, Westerman, Childs dan Whybray.
[27] Lihat
E. Gerrit Singgih, Dua Konteks, BPK
Gunung Mulia, 2009, hlm. 51.
[28]
Mencoba mengikuti pembagian dari Singgih Ibid, hlm. 52. Penafsir lain juga
membaginya dengan pembagian yang sama juga.
[29] Lihat
Singgih Ibid, hlm. 54-55.
[30] Lihat
Singgih Ibid, hlm. 55.
[31] Pak
Gerrit Menyebutnya Penyembuh yangTerluka.sebagai judul penafsirannya Lihat
Singgih Ibid, hlm. 47. .
[32] Penulis sempat menjadi relawan di dapur umum, memasak dan
menyediakan makanan bagi pengungsi.
[33] Seorang guru besar yang sangat dikenal dilingkungan UKDW.
[34] Bahkan sampai menginap di kampus.
[35] Di status Facebook Risang Anggoro.
[36] Mirip dengan judul buku Tafsir Kitab Pengkotbah Gerrit Singgih “Dibawah
bayang-bayang Maut”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar