Selasa, 07 Oktober 2014

Tafsir Historis Kritis Yesaya 52:13 – 53:12

Menguak Makna dibalik Syair Hamba Tuhan yang Keempat


I. Pendahuluan
Dalam kitab Deutro Yesaya ditemukan empat syair hamba Tuhan, yang pertama dalam Yesaya 42:1-5; kedua Yesaya 49:1-6 ;  ketiga Yesaya 50:4-11 dan yang keempat Yesaya 52:13-53:12.  Agaknya keempat syair hamba Tuhan ini cukup dikenal di kalangan gereja perdana, hal ini dapat terlihat bahwa  dalam beberapa kesempatan beberapa penulis perjanjian baru mengutip isi syair hamba Tuhan ini, ada yang mengutip langsung[1], namun ada juga yang mengutip sebagian atau senantiasa membandingkannya dengan isi syair hamba Tuhan ini[2]. Masih banyak bagian yang lain dalam perjanjian baru, yang ekspresinya memperbandingkan Yesus dengan hamba Tuhan dalam syair ini, namun bukan itu yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.
Dilihat dari isi ayat, bagian Yesaya 52:13-53:12 adalah bagian yang paling panjang.  Selain itu, bagian ini juga paling populer dikalangan Kristen dibandingkan ketiga bagian yang lain, bagaimana tidak, seperti yang sudah saya sebutkan di awal, para penulis perjanjian baru ketika menuliskan kesaksian mereka tentang Yesus, mereka senantiasa memperbandingkan Yesus dengan syair hamba Tuhan yang keempat ini, maka wajar saja jika umat  kristen membaca bagian ini, senantiasa merujuk hamba yang dimaksud dengan pribadi Yesus. Ini juga bisa bermakna bahwa gereja perdana memahami syair hamba Tuhan yang keempat ini telah digenapi oleh Yesus. Hamba Tuhan yang menderita bahkan mati yang disebut dalam teks ini dipahami persis dengan kematian Yesus di kayu salib. Tidak mengherankan jika bagian ini sering dipakai sebagai tema paskah di gereja-gereja masa kini. Namun sekali lagi, penulis hanya akan menfokuskan penafsiran dalam konteks perikop sebagi bagian dari Deutro Yesaya dan sebagai bagian dari keseluruhan kitab Yesaya. Dalam tulisan ini, penulis tidak akan mencoba melihat perikop ini dengan kacamata Perjanjian Baru.
Tanpa menolak pemahaman gereja perdana yang mengimani Yesus sebagai hamba Tuhan yang dimaksud dalam syair hamba Tuhan yang keempat, tentu sangat jelas bahwa, dari konteks jamannya, perikop ini bukan berbicara tentang Yesus. Maka menjadi menarik, untuk diteliti lebih lanjut, siapa sebenarnya hamba yang dimaksud dalam perikop ini? Makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis Deutro Yesaya dalam bagian ini sesuai dengan konteks jaman itu? Hal ini bisa diusahakan dengan metode kritik historis dengan didukung beberapa buku tafsir. Dalam mendukung tulisan ini, penulis membaca tafsiran Barth, Childs, North, Westermann, Whybray dan beberapa tulisan Singgih. Sebagaimana metode kritik historis adalah metode yang mencoba menempatkan teks dalam situasi sejarah, budaya atau masyarakat tertentu pada jamannya  sehingga menemukan makna dan maksud penulis dalam jaman tersebut dan makna itu dicoba dibawa ke masa kini, apakah masih relevan dengan konteks masa kini?[3] Sistemasisasi dalam tulisan ini akan mulai dengan meneliti teks-teks yang problematis, termasuk perbedaan terjemahan, kemudian meneliti konteks Yesaya 52:13-53:12 sebagai bagian dari Deutro Yesaya, penafsiran menurut pandangan beberapa penafsir, setelah itu maka menjadi penting juga menemukan evaluasi teologis apa yang bisa disumbangkan makna teks tersebut dalam kehidupan iman di masa kini.

II. Permasalahan Teks dan Terjemahan[4]
            Yesaya 52: 13`dao)m. Hb;Þg"w> aF'²nIw> ~Wrôy" yDI_b.[; lyKiÞf.y: hNEïhi  ayat ini paralel dengan syair hamba di 42: 1 dimana hamba diperkenalkan untuk membawa keadilan atau mispath (jP'Þv.mi) kepada bangsa-bangsa lain. Frase “akan berhasil” atau yaskil (lyKiÞf.y:) arti yang paling sering dari kata kerja ini adalah mengerti,[5] bijaksana atau hati-hati, tetapi juga dapat memiliki nuansa arti "berhasil" dimana keberhasilan diyakini hasil karena memiliki kebijaksanaan dan ketekunan dan kehati-hatian, jadi bukanlah semacam keberhasilan yang luar biasa. Bisa dikatakan bahwa dua makna terkombinasi disini, hamba berhasil karena dia memiliki kebijaksanaan sehingga ia akan ditinggikan. Kebijaksanaanlah yang membawa hamba tersebut berhasil, jadi lebih berfokus pada “kebijaksanaannya”, bukan “berhasilnya”. Dalam Apparatus Criticus, kata (~Wrôy") “yarum” dalam bahasa Inggris “to be raise” atau “be exalted” agaknya adalah tambahan karena kata tersebut tidak ditemukan dalam versi bahasa Yunani[6]. Dalam terjemahan bahasa Indonesia sendiri, terasa berlebihan memang, ketiga kata ini muncul dalam TB LAI : “ditinggikan, disanjung, dimuliakan”. Ketiga kata tersebut adalah efek bagi si hamba ketika hamba tersebut dikatakan “berhasil”. Bukankah ketiga kata tersebut memiliki makna yang sama saja? sinonim yang diulang-ulang, apalagi jika dihubungkan dengan makna berhasil yang sebenarnya bisa dikatakan bukanlah keberhasilan yang sangat luar biasa, maka sepertinya pemakaian kata yang berlebihan seperti itu, tidak perlu sebenarnya. Terjemahan TB BIS [7]sepertinya lebih masuk akal, hanya memakai dua kata saja. Luther sendiri menerjemahkan ayat ini dengan diawali “will do prudently, will act wisely”, jelas bahwa Luther lebih setuju dengan dengan  Septuaginta[8] (LXX) dan Vulgata yang lebih bernuansa “tidak berlebihan”, jadi apa yang dilakukan hamba tersebut adalah kebijaksanaan. Penulis sendiri, lebih setuju dengan terjemahan Luther yang mengikuti Septugianta.
            Ayat 14  `~d"(a' ynEïB.m Arßa]tow> Whae_r>m; vyaiÞme tx;îv.mi-!Ke ~yBiêr: ‘^yl,’[' WmÜm.v' rv,’a]K;I  Jika ayat 14a digabung dengan ayat 15, maka akan ada nuansa munculnya sosok hamba secara tiba-tiba yang sangat mencengangkan, sedangkan ayat 14 b, nuansanya justru berbeda, kemungkinan terjadi kesalahan tempat, jika 14b dipindahkan, mungkin malah lebih baik[9] dari pada tetap dalam satu ayat tetapi “gak nyambung”. Ada beberapa bagian dalam ayat ini yang perlu diperiksa berdasarkan  Apparatus Criticus, yang pertama : kata aleka (‘^yl,’[) yang berarti “at you” dalam Targum[10] dan Mss[11] ada perubahan, tertulis (wyl,’[) yang artinya “at him” . Baik TB LAI maupun TB BIS mengikuti perubahan dalam Targum dalam ayat 14a berbunyi :”…orang terkejut melihat dia”. Tetapi ada pendapat yang mengatakan, jangan-jangan BHS yang benar, bukan Targum, karena perubahan yang tiba-tiba, atau kemunculan yang tiba-tiba, jarang ditemukan dalam syair atau puisi Ibrani.[12]  Jika demikian, maka jika yang dipakai  adalah (‘^yl,’[) at you malah lebih masuk akal, jadi dalam bahasa Indonesia ayat 14a berbunyi :”…orang terkejut melihat engkau”, penulis lebih setuju BHS dalam terjemahan ini. Dalam ayat 14a, Barth[13] mengatakan terdapat perbedaan terjemahan yang tertulis dalam LAI, 52: 14a Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia[14]”. Dalam naskah Ibraninya bentuk kata kerja atau tensesnya seharusnya “sudah” jadi terjemahan yang lebih tepat seharusnya 52: 14a Seperti banyak orang sudah/telah tertegun melihat dia.. Kata kedua adalah”ken mishat” (tx;îv.mi-!Ke) dalam ayat 14b, penggunaan kata “ken” sangat tidak biasa walaupun tetap dimungkinkan. Makna dari “mishat” dalam bahasa Inggris “marred” atau “dirusak” dengan adanya kata “ken” yang artinya “so” atau “sangat”berubah menjadi bernuansa kata benda “kerusakan” jadi terjemahan “buruk rupa” lebih tepat jika diterjemahkan “wajahnya sangat mengalami kerusakan” . Jika ayat 14 b dianggap salah tempat, maka usulan[15] yang paling masuk akal adalah sebaiknya ayat 14b ini, ditempatkan tepat setelah Yesaya 53:2-3 atau diantara ayat 2 dan 3. Beberapa penafsir[16]  setuju dengan usulan menempatkannya antara ayat 2 dan 3 jadi, ayat 14a (banyak orang ... dia) yang dirasa terlalu pendek, langsung digabung dengan ayat 15. Penulis sangat setuju dengan usulan ini, karena justru dengan pemindahan ini, makna dari ayat-ayat tersebut terasa lebih lebih koheren.
            Dalam Ayat 15  al{åw> Alà ra;toï-al{ hY"ëci #r<a,äme ‘vr<Vo’k;w> wyn"©p'l. qnE÷AYK; l[;Y:“w:
`WhdE(m.x.n<w> ha,Þr>m;-al{)w> Whaeîr>nIw> rd"+h'
ada masalah teks : “demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa....” Dalam bahasa Ibraninya kata “tercengang” berasal dari kata yazzeh (hZ<y:) dimana akar kata ini secara primer bermakna “memercikkan” namun para penafsir kebanyakan lebih menyukai nuansa sekunder dari kata ini. Alasannya, pertama : dalam bahasa Yunani,  LXX memakai kata qauma,sontai artinya memang “terkejut” dalam bahasa Inggris “be astonished”. Alasan kedua karena bentuk kata kerja “yazzeh” (hZ<y:) adalah hiphil atau reflektif yang bermakna “to cause to spurt  atau “menyebabkan memercikkan (seseorang)”. Dalam tradisi kultis, “memercikkan” selalu berhubungan dengan darah yang dipercikkan dalam ritual, namun dalam ayat ini justru bukan darah tetapi seseorang atau orang. Tentu ada perbedaan antara memercikkan darah/cairan dengan memercikkan seseorang. Jika memakai makna dari terjemahan “memercikkan orang”, maka makna menjadi rancu. Alasan ketiga, mungkin terjadi kesalahan penafsiran eksegetis dalam ayat ini, dalam rangka menonjolkan tradisi kultis yang tidak pernah terwujud, jika terjemahannya dipertahankan, maka tradisi kultis semacam “memercikkan orang” sepertinya memang tidak akan pernah terjadi. Dengan ketiga alasan diatas, maka sangat masuk akal, jika para penafsir langsung mengikuti LXX dengan terjemahkannya “many nations shall be astonished at him”. Jadi terjemahannya : “Banyak bangsa akan terkejut, Raja-raja akan mengatupkan mulutnya” kalimat “Raja mengatupkan mulut “ juga termasuk tanda rasa hormat[17]. Jika ayat 14a diasumsikan bergabung dengan ayat 15, maka subjeknya “banyak” yaitu banyak orang dan banyak bangsa yang jika dihubungkan langsung dengan pasal 53 ayat 1. Melihat hubungan antara bagian ini dengan ayat-ayat terlihat jelas dimana metafora melihat (52:15b ) diikuti mendengar (15b) dan dilanjutan atau tetap terlihat dalam  53:1. Ayat 1 ini mirip dengan Mazmur[18] 34, di mana seseorang menyatakan terima kasih atas pembebasan dirinya dari penderitaan, juga mirip dengan Mazmur 107. Walaupun bukan Tuhan yang berbicara langsung dalam ayat ini, karena baik Tuhan dan hamba disebut dalam bentuk orang ketiga namun merupakan satu cerita dimana Tuhan dalam pengetahuanNya pada akhirnya membentuk kesimpulan yang bahagia dimana si hamba beruntung atau berhasil. Jika ayat 14b, dihubungkan dengan ayat 15 dan pasal 53 ayat 1 maka akan membentuk ayat-ayat yang cukup koheren dan penulis sangat setuju dengan usulan penyatuan ini.  
            Dalam Yesaya 53 ayat 2  al{åw> Alà ra;toï-al{ hY"ëci #r<a,äme ‘vr<Vo’k;w> wyn"©p'l. qnE÷AYK; l[;Y:“w:
`WhdE(m.x.n<w> ha,Þr>m;-al{)w> Whaeîr>nIw> rd"+h'

kata “carang” yang merupakan tumbuhan muda dan “akar dari tanah kering” adalah merupakan simbol yang biasa dipakai didaerah Timur kuno termasuk Israel, dimana orang yang memiliki berkat Illahi diumpamakan seperti tumbuhan. Kata “ia tumbuh” bukanlah berbicara tentang awal kehidupan hamba atau tentang kehidupan hamba seelumnya tetapi hanya sebuah metafora yang diambil dari tumbuhan. Kata “lepanaw”(wyn"©p'l.) “For he grow up before him” menunjuk kepada kehadiran Yahweh tetapi ada usulan dari para penafsir dengan menggunakan kata “lepanenu[19]dalam ayat 2 ini For he grow up before us dimana “kita” menunjuk kepada subjek sebelumnya (di ayat 1 subjeknya kami, kita) tetapi jika dihubungkan dengan ayat 1, maka jika dihubungkan dengan kekuasaan Tuhan, perubahan ini tidak terlalu mengubah arti. Dalam TB LAI dan BIS, memakai terjemahan “before him” . Penekanan adalah ada pada ayat 2b, pada suramnya keadaan si hamba atau kemalangan si hamba. Cerita tentang hamba memang baru dimulai di ayat 2 ini, dimana si hamba itu selalu disebut dengan sebutan “dia”, anonim dan tidak diketahui dari mana asalnya, tidak tahu dari mana muncul garis keturunannya. Dia tidak memiliki sesuatu yang menonjol sehingga orang lain memperhatikan dia. Gambaran tentang penolakan si hamba terlihat jelas di ayat 3, frase "ditinggalkan oleh manusia" vahadal issim” ( ~yviêyai ld:äx]w:) dimana beberapa komentator berpendapat terjemahannya lebih baik  "pengucilan dari kumpulan manusia”. Ayat 3b bahkan berbicara bahwa si hamba tertimpa penyakit. Walupun demikian, hampir seluruh nuansa hamba ini mengacu kepada cerita nonbiografi[20], tetapi lebih fokus  pada  respon orang lain kepadanya. Ia dihina dan dijauhi oleh semua orang, saking jijiknya, orang menutupi wajah mereka untuk mencegah melihatnya. Ia dicemooh dan dihina oleh semua orang. Dilihat dari kritik bentuk, pengakuan "kami" dan “kita” muncul mulai dari ayat 3 ini, di Perjanjian Lama, kata ini selalu menunjuk pada bangsa Israel dan bukan bangsa-bangsa lain (Hosea 6:1 Jer 3:21 Dan 9:4 dll). Pada ayat 4, kata “Sesungguhnya” “aken” (!kEÜa') jika dilihat mulai dari ayat 3, ada semacam pengakuan dari yang berbicara bahwa penderitaan hamba penyebabnya adalah mereka. Di ayat 7 “Dia tertindas/didesakkan": kata ini menunjukkan fisik yang brutal. Namun, tidak ada bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa hamba itu dihukum mati. Mungkin pengulangan pemakaian kata hanya untuk mendramatisir saja atau terjadi kesalahan penyalinan.
            Teks yang problematis muncul lagi dalam 53:8
#r<a,äme ‘rz:g>nI yKiÛ x:xe_Afy> ymiä ArßAD-ta,w> xQ'êlu ‘jP'v.MimiW rc,[oÜme
`Aml'( [g:n<ï yMiÞ[; [v;P,îmi ~yYIëx;
 Ia terambil dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya?(LAI) Dalam naskah Ibrani kata tentang nasibnya ini tidak jelas artinya, dan terambil berasal dari kata laqakh (xQ'êl) yang sering dipakai untuk memperhalus kata “mati” sehingga Barth dengan mengutip terjemahan Naipossos, lebih setuju menerjemahkannya dengan menambahkan kata mati sehingga terjemahannnya menjadi 53:8a “Ia terambil mati dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Tetapi pendapat Barth berbeda dengan Whybray dan Singgih yang mengatakan bahwa laqakh (xQ'êl)  tidak selalu bermakna kematian tetapi bisa juga bermakna menderita luar biasa karena perlakuan musuh, seperti berada dalam kematian saja suasanya, jadi tidak harus ditafsir mati.  Jadi  pun kalimat  dalam ayat 8b “Sungguh ia terputus dari negeri orang-orang hidup” tidak harus ditafsir mati. Dalam ayat 8c “dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah” akhiran “Ku” (yMiÞ[;) menunjukkan bahwa subjek yang berbicara berganti menjadi Tuhan. Dalam naskah Qumran justru bermakna “umatnya”, jadi ada perbedaan subjek yang berbicara tetapi mungkin saja ada kesalahan penulisan.
            Selanjutnya dalam ayat 9b, munculnya kata “diantara penjahat-penjahat” muncul karena dugaan paralel dengan kata “orang-orang fasik” di ayat 9a, karena Klinkert menerjemahkannya berbeda “diantara orang-orang kaya” dengan mengacu kepada seorang kaya, Yusuf dari Arimatia yang membeli mayat Yesus untuk dikubur, tetapi tentu saja terjemahan Klinkert ini bisa diperdebatkan jika melihat konteks Deutro Yesaya sendiri. Masuk ke ayat 10, ada nuansa korban disana “Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah” Korban penebus salah atau asyam (~v'a')dalam ayat ini bermakna sebagi ganti rugi. Dalam ayat 11, “Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang yang diterjemahkan LAI, mengikuti LXX dan Teks Qumran. Dalam bahasa Ibrani yang biasa justru terjemahannya “melihatnya”  dengan pengertian apa yang dilihat itu tidak jelas objeknya, namun LAI menerjemahkan bahwa yang dilihat adalah “terang”  karena LXX dan Qumran sudah menulis seperti itu.

            Terjemahan Mandiri[21]
52: 13. Sesungguhnya, hambaKu akan melakukan kebijaksanaan dan berhasil, ia akan disanjung dan       ditinggikan.
14.       Dahulu banyak orang telah terkejut melihat engkau –
15.       Tetapi sekarang, ia akan membuat terkejut banyak bangsa, raja-raja akan mengatupkan mulutnya             karena melihat dia. Mereka akan melihat dan mengerti apa yang sebelumnya mereka tidak lihat dan             sebelumnya mereka tidak ketahui.
53:1.  Bangsa itu menjawab : “Siapakah yang percaya kepada apa  yang telah kami dengar, dan lengan   Tuhan,             kepada siapakah kuasaNya dinyatakan?
2.         Sebagai carang ia tumbuh di hadapanNya dan sebagai akar dari tanah kering(gersang). Tiada yang             indah  padanya untuk dipandang, tidak ada yang menarik untuk kita inginkan.
            rupanya (wajahnya) sangat  sudah dirusak, sehingga bukan seperti manusia lagi.[22]
3.         Kita menghina dan menjauhi dia, orang  yang penuh kesedihan/sengsara dan kenyang menanggung             kesakitan;Tak seorangpun mau memandang dia, dan kita pun tidak memandang/mengindahkan dia.
4.         Padahal sesungguhnya, kesakitan kitalah yang dia tanggung, dan kesedihan/sengasara kitalah yang          dia derita/pikul, sementara kita mengira penderitaaannya itu hukuman Allah baginya.
5.         Dia dilukai/ditikam karena dosa-dosa kita, dia diremukkan/didera karena kejahatan/kesalahan kita; Ia             dihukum supaya kita selamata, dan karena bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.
6.         Kita semua sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri-sendiri, tetapi       Tuhan             telah menimpakan kepadanya kesalahan kita semua.
7.         Dia diperlakukan dengan kejam, tetapi dia menanggungnya dengan sabar. Ia tidak membuka         mulutnya seperti anak     domba yang dibawa ke pembantaian dan seperti induk domba yang             dicukur bulunya.
 8.        Ia ditahan dan diadili, lalu digiring dan dihukum mati, dan tentang nasibnya siapakah yang           perduli?Ia mati karena dosa bangsa kita.
9.         Ia di kuburkan bersama orang jahat, diantara para pembuat jahat sekalipun ia tidak berbuat        
             ia tidak pernah menipu.
10.       Tuhan berkenan kepada dia yangmenderita,  dia yang menyerahkan dirinya            sebagai kurban             penghapus dosa. Maka ia akan panjang umur dan melihat keturunannya; melalui dia kehendak Tuhan             akan terlaksana.
11.       Karena itu Tuhan berkata “ Selepas dari kesusahan/penderitaan jiwanya ia akan bahagia dan puas.             Hambak-Ku yang menyenangkan hati-Ku itutelah memanggung hukuman  banyak orang, sebab     kesalahan merekalah yang dia pikul, demi dia Aku akan mengampuni mereka.
12.       Dengan rela ia menyerahkan hidupnya dan masuk bilangan orang jahat. Ia memikul dosa banyak orang   dan berdoa supaya orang-oarang itu diampuni. Maka Aku member orang banyak sebagai         hadiah dan ia mendapat bagian bersama orang-orang benar.

III. Konteks Historis
            Yesaya 40-55 yang populer disebut Deutro Yesaya, ditulis dalam konteks masa pembuangan ke Babel antara tahun 598 dan 582 SM. Bagian pertama kitab Yesaya pasal 1-39 (Proto Yesaya) konteksnya adalah pra pembuangan dan kitab Yesaya bagian yang ketiga pasal 56-66 (Trito Yesaya) konteksnya pasca pembuangan. Tentu kesepakatan ini muncul dari penafsir-penafsir dengan meneliti konteks historis yang memang berbeda dari ketiga jaman dalam kitab Yesaya ini. Proto Yesaya banyak bercerita tentang keadaan sebelum Israel dibuang, Trito bercerita keadaan setelah pasca pembuangan yang menceritakan keadaan Israel akan dipulihkan. Sedangkan Deutro Yesaya bercerita tentang pembuangan ke Babel dan munculnya Koresh sebagai pembebas dari Babel, pada saat seperti  itulah Deutro Yesaya membawa friman Allah kepada orang-orang yang dibuang, sekitar tahun 546[23] dan 538 sM, saat itu orang Yahudi sudah menderita selama 40 tahun lamanya dibawah kuasa Babel. Dengan pembuangan ini, wajar saja jika umat Allah merasa bahwa mereka ditinggalkan oleh Allah yang pernah berjanji kepada nenek moyang, bahwa berkatNya akan turun temurun. Jadi kehadiran Deutro Yesaya adalah membangkitkan kembali kepercayaan umat kepada Allah dengan mengingatkan mereka akan kuasaNya sebagai pencipta, kemurahanNya sebagai Allah yang memilih Abraham dan kerturunannya, kasihNya dalam pembebasan dari Mesir dan sekarang pun Tuhan akan melakukan penyelamatan lagi terhadap umat yang ada di pembuangan, sebantar lagi mereka akan bebas dari Babel. Deutro Yesaya berusaha membangkitkan lagi iman[24] umat kepada Allah, bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka dan Allah perduli dengan keluhan-keluhan umatNya. Ditengah keadaan Israel yang merasa ditinggalkan oleh Yahweh, mereka ternyata ditolong oleh Tuhan melalui kemenangan Koresh sekitar tahun 546. Dengan kisah munculnya Koresh sebagai juruselamat, Deutro Yesaya ingin menyampaikan kepada seluruh umat Israel bahwa Yahweh senantiasa memperhatikan hidup mereka, Yahweh tidak meninggalkan mereka sama sekali dan Koresh adalah utusan Yahweh untuk membebaskan Isarel. Bahkan Koresh disebut sebagai hamba Yahweh.
            Dalam isi Deutro Yesaya, terdapat 4 syair hamba Tuhan dimana dua syair pertama melukiskan panggilan Tuhan yang dipercayakan kepada hambaNya dan dua syair yang terakhir menggambarkan akibat pelayanan dari hamba tersebut, melalui penghinaan bahkan kematian, hamba tersebut membawa keselamatan bagi banyak orang dan oleh karena kerelaannya menderita itulah, si hamba dinyatakn benar dan ditinggikan oleh Allah. Memang akan muncul pertanyaan, siapakah hamba yang dimaksud dalam tiap syair hamba Tuhan tersebut? Deutro Yesaya sendiri kadang-kadang menunjuk pada hamba yang bersifat pribadi tetapi di sisi lain hamba yang dimaksud juga menunjuk kepada Israel sebagai umat atau secara komunal. Para penafsir sepakat bahwa, memang Deutro Yesaya sering mengidentikkan hamba tersebut dengan Israel namun jika hamba yang dimaksud bersifat pribadi, mungkin itu mengacu kepada Deutro Yesaya sendiri sebagai penulis kitab ini.
            Syair hamba Tuhan yang keempat dalam TB LAI, perikopnya diberi judul “Hamba Tuhan yang menderita” dan menjadi satu kesatuan yang utuh dimulai dari pasal 52 ayat 13 sampai pasal 53 ayat 12. Barth[25] mengatakan bahwa perikop ini memang utuh, pendapat Barth senada dengan pendapat empat penafsir[26] lain yang menjadi referensi dalam tulisan ini juga senada dengan Singgih, memang sebaiknya keutuhan perikop ini jangan diabaikan. Jika hamba bisa bermakna pribadi ataupun Israel secara kolektif, maka setuju dengan, para penafsir termasuk Singgih[27] penulis melihat makna hamba dalam perikop ini adalah mengacu pada pemahaman kolektif yaitu Israel sebagai umat yang dibuang ke Babel, bukan pribadi. Untuk lebih memudahkan analisa dan penafsiran dalam perikop ini, penulis mencoba membagi perikop ini dalam 3 bagian besar[28] :
a.      Yesaya 52:13-15 (Pengumuman Tuhan tentang Keberhasilan hambaNya)
Awal bagian ini yaitu ayat 13, semua penafsir setuju bahwa perikop ini dimulai dengan peninggian kepada hamba di ayat ini. Childs dan Whybray mengatakan bahwa ayat ini paralel dengan syair hamba di 42: 1. Jika hamba tersebut adalah menunjuk kepada Israel secara komunal sebagai umat Allah, maka dalam bagian ini dapat dipahami bahwa Israel diumumkan berhasil dan ditinggikan oleh Allah. Walaupun Israel memang sekarang di buang ke Babel namun, Tuhan akan menolong dan membebaskan mereka dan tidak lama  lagi Israel akan berhasil kembali ke Yerusalem. Keadaaan di pembuangan adalah keadaan yang sangat menderita yang dipandang sebagai hukuman Tuhan atas dosa masa lalau Israel sebelum masa pembuangan, tetapi jika Israel tekun dan bijaksana dalam menjalani penderitaan dalam pembuangan itu, maka hasil akhirnya Tuhan akan menyanjungnya. Dalam ketiga ayat ini, Tuhan sendirilah yang mengatakan itu atau Tuhan sendiri yang berbicara demikian.
Jika tadinya orang lain atau bangsa lain “ngeri” melihat betapa menderitanya Israel, maka sekarang bangsa-bangsa lain akan tercengang-cengang melihat bahwa Allah Israel sanggup membuat umatNya berhasil. Kata “ngeri” menjadi ekspresi luar biasa, karena di pembuangan Israel menanggung malu, aib, tekanan luar biasa bagaimana tidak, Allah yang menjadi andalan mereka selama ini seakan tidur atau bahkan mati, tidak sanggup menolong lagi, bangsa-bangsa lain pasti mencemooh Allah mereka. Mungkin mereka kehilangan hak-haknya sebagi manusia, dan orang lain memandang mereka sangat rendah dalam penderitaan di pembuangan. Namun akhirnya bangsa-bangsa bahkan raja-raja di dunia mendadak akan kaget setengah mati melihat perubahan status Israel  dari bangsa yang dibuang menjadi bangsa yang membuat dunia tercengang. Israel akan dipulihakan dan situasi ini sangat tidak terduga.
b.      Yesaya 53:1-10 (Kesaksian mengenai Hamba Tuhan)
Jika dalam tiga ayat sebelumnya jelas-jelas Tuhan yang berbicara maka dalam pasal 53:1-10, yang berbicara bukan Tuhan lagi tetapi bangsa-bangsa dan raja-raja ini menurut Whybray yang disetujui oleh Singgih. Janji pemulihan dari  pembuangan, Israel ibarat tumbuhan muda yang keluar dari tanah kering, proses pemulihan dari situasi yang mencekam. Hamba yang buruk rupa, menjijikkan dan orang lain tidak ingin melihatnya, adalah keadaan Israel di pembuangan. Namun perlu dipahami bahwa penderitaan Israel bukan semata-mata karena dosanya namun juga karena merasa ikut menanggung penderitaan bangsa-bangsa lain. Penafsiran ini muncul dari ayat 3 “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.”  Dari pergeseran kata “dia” atau hamba atau Israel menjadi “kita”.  Untuk ayat-ayat berikutnya kata “kita” sering muncul sebagai ekspresi bangsa-bangsa lain yang mengakui bahwa penderitaan Israel terjadi karena solider dengan bangsa-bangsa lain itu.             dilihat mulai dari ayat 3, ada semacam pengakuan dari yang berbicara bahwa penderitaan hamba penyebabnya adalah mereka, masyarakat seluruh pembuangan. Singgih[29] mengatakan bahwa penderitaan Israel bukanlah dalam rangka menggantikan bangsa-bangsa tetapi dalam rangka ikut merasakan penderitaan bangsa-bangsa tersebut. Penyakit yang disebutkan dalam bagian ini ditafsir sebagian orang semacam penyakit lepra yang bisa menyebabkan wajah seseorang berubah menjadi sangat buruk atau rusak, tetapi bisa juga ditafsir sebagai penyakit karean siksaan dan penderitaan yang dialami.  Tetapi apapun penafsirannya sah-sah saja, apalagi jika ini adalah sebuah metafora atau penggambaran terhadap keadaan Isarel. Frase “ ditindas/dipukul oleh Allahmungkin berarti  "sangat tertindas/terpukul” dimana hamba itu telah membawa hukuman Ilahi pada dirinya sendiri.
Pada ayat 5, frase “Oleh karena pemberontakan kita, oleh karena kejahatan kita" diinterpretasikan sebagai perwakilan penderitaan yang seolah-olah dialami sendiri. Orang-orang yang berdosa, tetapi hamba itu yang dihukum. Sepertinya penulis berniat untuk menyatakan perasaan bersalah. Fakta bahwa Deutro Yesaya  memilih partikel "min" menunjukkan bahwa ia menganggap perlakuan buruk hamba adalah akibat dari dosa rakyat, tetapi bukan sebagai pengganti untuk hukuman yang layak. Jika tidak ada dosa maka tidak ada pengasingan dan pembuangan. Hamba menderita bersama dengan rekan-rekannya sesama orang buangan, yang merupakan dampak dari dosa Israel. Bisa dibandingkan dengan pengalaman Jeremia dan Yehezkiel yang juga menderita dari penyebab yang sama. Ungkapan “Oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh”  merupakan satu makna tentang seorang yang terluka tetapi sekaligus menyembuhkan yang lain. Bahkan karena keterlukaan dan penderitannya itulah, yang menyebabkan yang lain menjadi sembuh. Maka dapat dimaknai sebagai luka dan derita yang dialami Israel, adalah untuk menyembuhkan bangsa-bangsa lain. Dan luka Israel sendiri akan sembuh dengan jalan menyembuhkan yang lain dari derita dan luka mereka.[30]          Ayat 6 "Kita sekalian sesat sebagai domba" penggunaan kata "sekalian/semua" menunjukkan bahwa      pembicara mengidentifikasi diri mereka secara komunal sebagai seluruh masyarakat. Di ayat 7 “Dia   tertindas/didesakkan": kata ini menunjukkan fisik yang brutal. Dalam ayat ini juga terlihat bahwa si             korban hening walaupun tidak ada bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa hamba itu dihukum mati. Namun, hal ini  bermakna bahwa di pembuangan bangsa-bangsa telah menjahati  dan menindas Israel walaupun sebenarnya bangsa-bangsa lain tersebutlah yang akan dihukum nantinya karena kejahatannya. Keduanya akhirnya menjadi terhukum baik Israel maupun bangsa-bangsa lain, namun Israel tentu ,menderita demi bangsa-bangsa tersebut, tidak hanya karena kejahatannya sendiri.
            Di ayat 8 Ia terambil dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya?(LAI) Dalam naskah Ibrani kata tentang nasibnya ini tidak jelas artinya, dan terambil berasal dari kata laqakh  yang sering dipakai untuk memperhalus kata “mati” Tetapi pendapat Barth berbeda dengan Whybray dan Singgih yang mengatakan bahwa laqakh   tidak selalu bermakna kematian tetapi bisa juga bermakna menderita luar biasa karena perlakuan musuh, seperti berada dalam kematian saja suasanya, jadi tidak harus ditafsir mati.  Jadi  pun kalimat  dalam ayat 8b “Sungguh ia terputus dari negeri orang-orang hidup” tidak harus ditafsir mati. Dalam ayat 8c “dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah” akhiran “Ku” menunjukkan bahwa subjek yang berbicara berganti menjadi Tuhan. Dalam naskah Qumran justru bermakna “umatnya”, jadi ada perbedaan subjek yang berbicara tetapi mungkin saja ada kesalahan penulisan. Dalam pengertian laqakh di ayat 8 ini pun harus dipahami sebagai konteks pembuangan. Suasana pembuangan sangat tidak mengenakkan jadi wajar saja jika dikatakan seperti berada dalam dunia orang mati. Ini juga terlihat dalam pasal-pasal sebelumnya dimana Israel mengeluh akan nasib mereka di pembuangan, seakan-akan mereka tidak punya Allah. Keadaan di pembuangan mirip dengan keadaan “sheol” atau suasana “kaos” yang sangat kacau balau.
            Selanjutnya dalam ayat 9-10 ada nuansa korban disana “Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah” Korban penebus salah atau asyam  dalam ayat ini bermakna sebagai ganti rugi. Tekanan pada ketidakbersalahan hamba Tuhan, tetapi dia harus melalui penderitaan itu justru sebagai korban penebus salah. Jika kondisi pembuangan dilihat sebagai hal yang sangat menyakitkan, maka “asyam” mengacu kepada Israel yang melaksanakan korban penebus salah (penderitaan itu) demi keperluan bangsa-bangsa. Atau Israel dianggap sebagai korban penerima ganti rugi, apalagi jika dihubungkan dengan ayat 12, Israel nantinya akan menerima rampaasan sebagi ganjaran, maka ada konsep teologi korban dalam perikop ini.
c.       Yesaya 53:11-12 (Penghargaan bagi hamba Tuhan)
Dalam ayat-ayat ini, kembali Tuhan yang berbicara, Tuhan menyatakan Israel benar dalam penderitaannya dan dianugrahi tempat yang tinggi dari Allah. Ketika Israel menderita karena ikut menanggung penderitaan bangsa-bangsa lain dan akhirnya bangsa-bangsa lain memperoleh keselamatan, maka dalam hal itu Israel dibenarkan oleh Allah. Karena Israel dibenarkan Allah, maka bangsa-bangsa lain juga akhirnya dibenarkan oleh Allah. Israel yang tidak bersalah tetapi telah memikul penderitaan karena kejahatan bangsa lain sebagai hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada bangsa lain tersebut, adalah sebuah pemaknaan akan “yang terluka yang menyembuhkan[31]. Dalam 2 ayat terakhir dalam perikop ini jelas, bahwa Tuhan yang berbicara dengan mengatakan bahwa si hamba itu benar adanya dan Tuhan memproklamasikan penghargaan yang luar biasa terhadap apa yang sudah dialami oleh hamba tersebut. Israel memandang hukuman di pembuangan sebagai penderitaan yang datangnya dari Tuhan sebagai suatu keadilan. Israel juga terhitung sebagai pemberontak dan menderita bersama mereka, namun jika semuanya dijalani dengan tekun, akan berakhir pada penghargaan yang sepadan dari Tuhan kepada Israel, yaitu pembebasan dan jaminan hidup dalam kasih Tuhan, tidak hanya untuk masa kini tetapi untuk seterusnya.

IV. Evaluasi Teologis
            Menarik bahwa tafsiran Singgih tentang hamba secara komunal dalam konteks Indonesia adalah hamba yang terluka dan menyembuhkan. Sekalipun Singgih mengangkat tema kekerasan di Indonesia, dengan merefleksikan komunitas Kristen manjadi orang-orang yang ikut menderita karena menjadi korban kekersan namun di sisi yang lain menjadi penyembuh juga bagi korban-korban lain, persis seperti hamba yang menderita namun dengan penderitaanya, ia telah membuat orang lain hidup dan selamat. Sekarang ini  jelas bahwa konteks Indonesia dan komunitas Kristani yang ada di dalamnya tidak dalam keadaan menderita dalam pembuangan seperti Israel dalam konteks Deutro Yesaya, namun ada sisi-sisi penderitaan komunal yang dialami orang Kristen yang relevan dengan syair hamba Tuhan ini. Penulis tertarik melihat relevansinya dengan bancana beruntun yang menimpa Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Sebut saja Banjir di Wasior, Tsunami di Mentawai dan Bencana Merapi yang masih menjadi isu hangat di Indonesia. Jika Israel dipanggil Allah sebagai saksiNya bagi bangsa-bangsa lain, menderita di pembuangan dalam rangka menyaksikan Allah kepada seluruh dunia, maka bisa jadi, komunitas Kristiani yang menderita di Wasior, Mentawai dan Jogjakarta adalah hamba secara komunal yang sedang menderita karena bencana, namun dalam penderitaan tersebut, mereka sekaligus sedang menjalankan misi Allah dalam menghibur orang lain yang sedang menderita juga sebagai sesama korban bencana.
             Penulis mencoba melihat lingkup yang lebih sempit  dengan Komunitas Kristen di Jogjakarta dalam situasi Merapi dan kampus UKDW secara khusus, maka penulis menemukan pemaknaan bahwa UKDW sedang dipanggil menjadi hamba yang menderita karena korban bencana tetapi sekaligus juga sebagai hamba yang menghibur korban bencana yang lain dan menolong yang lain supaya selamat dan terhibur. Perkuliahan yang sempat diliburkan karena kota Jogjakarta penuh dengan abu Merapi, menurut penulis merupakan dampak bagi kampus yang bisa dikategorikan penderitaan, juga dengan banyaknya mahasiswa yang harus mengungsi ke tempat yang aman. Tetapi di balik itu, kampus dibuka sebagai posko bagi pengungsi, dosen-dosen dan mahasiswa bersama-sama seluruh civitas akademika membuka dapur umum, tidak hanya untuk pengungsi yang ada di kampus UKDW tetapi juga yang ada di tempat pengungsian lain diluar kampus UKDW. Penulis menyaksikan[32] sendiri bagaimana para pengungsi diterima di kampus tanpa membeda-bedakan latar belakang mereka, agama, suku, usia dan status. Rekan-rekan mahasiswa bergantian juga harus berangkat ke posko-posko dekat daerah bencana untuk menjadi relawan disana, membantu para korban dan ikut merasakan penderitaan mereka. Jika di depan kampus UKDW saja, abu Merapi sangat tebal, maka tidak terbayangkan bagaimana keadaan abu di posko-posko yang dekat dengan Merapi, tetapi walaupun demikian, para relawan tetap bersemangat melakukan tugas mereka. Di satu sisi mereka juga menderita, tetapi mereka menyembuhkan orang lain yang menderita ketika mereka ikut menderita bersama. Secara khusus, penulis juga melihat semangat yang luar biasa dari dosen yang juga terlihat sangat solider saat bencana, terbukti salah satunya dengan kehadiran Pak Gerrit[33] yang cukup intens[34] di kampus bersama para pengungsi dan relawan lain. Bahkan mahasiswa sampai menuliskan kesan mereka terhadap beliau di sebuah jejaring sosial[35] dengan slogan “Bersama Gerrit Singgih, dibawah Bayang-bayang Merapi[36]” Rasanya tidak berlebihan jika penulis mencoba merelevansikan Israel sebagai komunitas yang terluka yang menyembuhkan dengan komunitas UKDW yang juga terluka tetapi tetap melakukan misinya dalam merawat dan menolong yang lain yang terluka supaya sembuh. Komunitas UKDW juga paralel dengan profil hamba yang terluka yang menyembuhkan walaupun perlu diperiksa lagi, apakah komunitas di UKDW melakukan semua itu karena kesadaran akan panggilan Tuhan untuk melakukannya?
            Penulis juga sempat berefleksi dengan berita di Media tentang  sejumlah relawan yang turun ke tempat terjadinya bencana untuk mengevakuasi orang-orang yang selamat dan mencari mayat-mayat yang tertimbun, namun pada akhirnya sejumlah relawan tersebut meninggal dunia, seperti beberapa petugas SAR yang meninggal dunia. Beberapa orang diantara relawan tersebut masih muda dan meninggalkan keluarga yang sangat sedih dan menderita karena kepergian mereka, bahkan santunan yang diperoleh keluargapun tidak besar. Apakah kematian mereka sebanding? Jika dalam syair hamba Tuhan yang keempat si hamba digambarkan sangat menderita, tetapi tidak ada bukti yang mengatakan ia benar-benar mati. Gambaran mati dalam syair tersebut adalah sebuah dramatisasi. Namun dalam kisah petugas SAR ini, mereka benar-benar mati untuk menolong orang lain, tanpa  kesalahan apapun. Penderitaan mereka sampai ajal adalah keselamatan bagi orang lain. Sangat cocok dengan gambaran hamba Tuhan dalam syair yang keempat ini.

V. Penutup
Dengan melihat makna dari syair hamba Tuhan yang keempat ini dalam konteksnya jelas bahwa hamba yang dimaksud adalah Israel secara komunal. Dan jika merelevansikannya dalam konteks masa kini, hamba adalah komunitas Kristen yang menyadari panggilan Allah terhadapnya, mau dan rela menderita dan berkorban demi keselamatan orang lain walaupun dia sendiri terluka dan menderita. Dengan berefleksi dari makna syair hamba Tuhan yang keempat ini, kiranya komunitas Kristen di Indonesia dimanapun berada, dalam konteks apapun, mampu menyadari panggilannya sebagai hamba dan ketika masuk dalam kehidupan yang menderita, mampu menjadi pemyembuh, pengibur bagi yang lain walaupun ikut menderita. Senantiasa tekun menjalani penderitaan itu, karena ketika ketekunan menbuahkan keberhasilan, akan ada penghargaan dari Allah bagi orang yang demikian.











Daftar Pustaka
            Barth, Marie-Claire. 2007, Tafsiran Alkitab : Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung Mulia,             Jakarta.Childs, Brevard S. 2000, Isaiah : a Commentary, Westminster John Knox Press, Louisville             Kentucky.North, Christopher. 1964, The Second Isaiah, Oxford University Press, London.
            Singgih, Emanuel Gerrit. 2009, Dua Konteks : tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai respon atas                              perjalanan reformasi di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
            Singgih, Emanuel Gerrit. 2000, Berteologi dalam Konteks, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
            Westerman, Claus. 1978, Isaiah 40-66, SCM Press Ltd, London.
            Whybray, R.N. 1975, Isaiah 40-66, Oliphants, London.





[1] Misalnya Lukas mengutip langsung Yesaya 53:2 dalam Lukas 22:37 Sebab Aku berkata kepada kamu, bahwa nas Kitab Suci ini harus digenapi pada-Ku: Ia akan terhitung di antara pemberontak-pemberontak. Sebab apa yang tertulistentang Aku sedang digenapi."
[2] Misalnya Matius 8:17, Hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya: "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita"  mengutip sebagian Yesaya 53:3 ; sementara dalam Yoh 1:29 Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: "Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia. Terasa ekspresi tulisan Yohanes ini memperbandingkan Yesus dengan hamba yang terdapat dalam syair hamba Tuhan keempat.
[3] Dalam memahami Kritik Historis, penulis membaca E. Gerrit Singgih, Dua Konteks, BPK Gunung Mulia, 2009, bagian Prakata.
[4] Penulis mencoba membandingkan teks-teks yang problematis dengan mengacu kepada Apparatus Criticus dalam Biblia Hebraica Stuttgartensia (selanjutnya akan disebut BHS saja) setelah itu, dari hasil membandingkan terjemahan yang lebih logis dari perangkat penelitian teks tersebut, penulis akan mencoba menemukan terjemahan baru yakni terjemahan mandiri penulis sendiri.
[5] Lihat R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 169.
[6] Lihat Christopher. North, The Second Isaiah, Oxford University Press, 1964, hlm. 227.
[7] TB BIS Yesaya 52:13. TUHAN berkata, "Sesungguhnya, hamba-Ku akan berhasil; ia akan disanjung dan ditinggikan.
[8] Lihat Claus.Westerman, Isaiah 40-66, SCM Press Ltd, 1978, hlm. 258.
[9] Saran dari penafsir, Lihat Brevard S. Childs, Isaiah : a Commentary, Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 412.
[10]Targum adalah terjemahan teks Ibrani dalam bahasa Aram (Kitab-kitab suci dalam bahasa Aram) selain itu, dalam terjemahan bahasa Siria juga mengikuti perubahan seperti dalam Targum, Lihat R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[11] Dalam BHS, Mss adalah kodeks tulisan tangan berbahsa Ibrani menurut B. Kennicot, Vetus Testament Hebraicum (Perjanjian Lama berbahasa Ibrani)
[12] Lihat R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[13] Dia setuju dengan terjemahan Naipospos, Lihat Marie-Claire. Barth, Tafsiran Alkitab : Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung Mulia, 2007, hlm. 307.
[14] Ada usulan lain lagi “..Seperti banyak orang akan ngeri melihat diaLihat R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[15] Lihat Brevard S. Childs, Isaiah : a Commentary, Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 412.
[16] Ibid, hlm. 412 juga Westerman dan Lihat Christopher. North, The Second Isaiah, Oxford University Press, 1964, hlm. 228.
[17] Jika banyak bangsa akan menderapkan kakinya sebagai tanda hormat, maka mengatupkan mulut juga bisa dianggap sebagi tanda penghormatan juga R.N Whybray, Isaiah 40-66, Oliphants, 1975, hlm. 170.
[18] Ibid, hlm. 172.
[19] Lihat Christopher. North, The Second Isaiah, Oxford University Press, 1964, hlm. 229.
[20] Lihat Brevard S. Childs, Isaiah : a Commentary, Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 414.

[21] Setelah memeriksa teks yang problematis dengan bantuan Apparatus Cristicus BHS dan pendapat beberapa penafsir, maka akhirnya penulis mencoba menyajikan terjemahan baru yakni terjemahan mandiri penulis dengan memilih terjemahan yang paling masuk akal. Dalam terjemahan mandiri ini, penulis juga cenderung lebih seuju dengan terjemahan TB BIS daripada terjemahan TB LAI.
[22] Pemindahan yang disetujui penulis dengan mempertimbangkan usulan dari banyak penafsir. Ayat 14b pindah dan ditempatkan dianta ayat 2 dan 3 Yesaya pasl 53.
[23] Lihat Marie-Claire. Barth, Tafsiran Alkitab : Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung Mulia, 2007, hlm. 14.
[24] Ibid, hlm. 15.
[25] Lihat Marie-Claire. Barth, Tafsiran Alkitab : Kitab Yesaya Pasal 40-55, BPK Gunung Mulia, 2007, hlm. 309.
[26] North, Westerman, Childs dan Whybray.
[27] Lihat E. Gerrit Singgih, Dua Konteks, BPK Gunung Mulia, 2009, hlm. 51.
[28] Mencoba mengikuti pembagian dari Singgih Ibid, hlm. 52. Penafsir lain juga membaginya dengan pembagian yang sama juga.
[29] Lihat Singgih Ibid, hlm. 54-55.

[30] Lihat Singgih Ibid, hlm. 55.

[31] Pak Gerrit Menyebutnya Penyembuh yangTerluka.sebagai judul penafsirannya Lihat Singgih Ibid, hlm. 47. .

[32] Penulis sempat menjadi relawan di dapur umum, memasak dan menyediakan makanan bagi pengungsi.
[33] Seorang guru besar yang sangat dikenal dilingkungan UKDW.
[34] Bahkan sampai menginap di kampus.
[35] Di status Facebook Risang Anggoro.
[36] Mirip dengan judul buku Tafsir Kitab Pengkotbah Gerrit  Singgih “Dibawah bayang-bayang Maut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar