Selasa, 07 Oktober 2014

STUDI NARATIF YOHANES 17:20-26


A.Injil Yohanes sebagai Cerita
Narasi Injil Yohanes dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar.[1] Bagian pertama adalah Pendahuluan (Pasal 1 : 1 -51). Bagian kedua, Yesus menyatakan kemuliaan (Pasal 2 : 1 – 12 : 50). Bagian ketiga adalah Yesus menerima kemuliaan (Pasal 13:1- 20:29). Bagian keempat, kesimpulan atau penutup (Pasal 20:30 – 21:25). Lembaga Biblika Indonesia membagi Injil Yohanes kedalam 4 bagian besar.[2] Pertama, bagian Prolog pada pasal 1 : 1- 18. Bagian kedua disebut sebagai Kitab Tanda pada pasal 2:1-12:50. Kitab Tanda ini terbagi dalam beberapa episode.[3] Bagian Ketiga, dinamakan Kitab Kemuliaan terdapat dalam pasal 13:1 – 20:31. Bagian Keempat, Epilog terdapat dalam pasal 21:1 – 25.
Injil Yohanes, oleh para penafsir, umumnya dibagi dalam bagian yang terdiri dari pendahuluan, isi dan kemudian diakhiri dengan penutup. Hal ini memberi nuansa yang berbeda kepada Injil Yohanes dibandingkan dengan ketiga Injil sinoptik lainnya. Untuk memahami Injil Yohanes sebagai sebuah narasi, perlu memperhatikan hal-hal yang menjadi unsur cerita dan unsur penuturan di bawah ini.
1.      Peristiwa-peristiwa dalam Injil Yohanes
Yohanes memulai ceritanya tentang Yesus dengan “pada mulanya” (Pasal 1:1-2). Sepertinya narator Injil ini mengundang kita memahami rahasia yang melampaui waktu dimana Kitab Kejadian menulis hal yang sama “pada mulanya.[4] Bagian ini kemudian dilanjutkan dengan tampilnya Yohanes Pembaptis (Pasal 1:19-28), sebagai orang yang mempersiapkan umat bagi kedatangan Kristus yang masih tersembunyi. Yohanes Pembaptis ini hanya sebentar mucul pada kisah dalam Injil Yohanes dan kemudian ia “keluar” dari adegan ini, digantikan dengan keberadaan Yesus.
Peristiwa berikutnya adalah tanda-tanda dan ucapan yang disampaikan oleh Yesus. Tanda pertama terjadi dalam pesta perjamuan kawin (Pasal 2:1-11) yang diuraikan dengan ringkas.[5] Peristiwa berikutnya adalah penyucian Bait Allah (Pasal 2:12-25). Kisah ini adalah tindakan pertama Yesus, yang dilakukan di depan banyak orang.[6] Kisah pertemuan Yesus dengan Nikodemus (Pasal 3:1-20),  tokoh agama yang terpelajar menjadi peristiwa berikutnya. Setelah itu ada kisah kesaksian Yohanes Pembaptis yang lebih cocok sebagai sisipan (Pasal 3:22-35). Kemudian dilanjutkan dengan kisah percakapan Yesus dengan perempuan Samaria (Pasal 4:1-42) dan kisah iman seorang pegawai istana (Pasal 4:46-54) dimana anaknya disembuhkan oleh Yesus. Setelah itu muncul peristiwa penyembuhan di kolam Betesda (Pasal 5:1-47).
Kisah berikutnya, Yesus memberi makan lima ribu orang (Pasal 6:1-15).[7] Dilanjutkan dengan peristiwa keberangkatan Yesus ke Yerusalem dan kemudian berjumpa dengan tokoh yang menjadi lawan-lawannya (Pasal 7:1-24). Keberadaan lawan-lawan Yesus ini tampak jelas dalam peristiwa pembelaan Yesus kepada perempuan yang dituduh berzinah (Pasal 8:1-10) dan kepada orang yang buta sejak lahirnya (Pasal 9:1-41). Yesus juga menjadi bagian penting dalam peristiwa kebangkitan Lazarus (Pasal 11:1-44). Kisah selanjutnya, pengurapan Yesus di Betania dipahami sebagai persiapan untuk kematian Yesus (Pasal 12:1-8). Selanjutnya, peristiwa pembasuhan kaki murid-murid oleh Yesus dan sekaligus kisah pengkhianatan Yudas (Pasal 13-17). Peristiwa berikutnya adalah penangkapan, pengadilan, kematian dan penguburan Yesus (Pasal 18-19). Kemudian kisah para perempuan yang menemukan kubur yang kosong (Pasal 20) dan penampakan Yesus beberapa kali setelah kematiannya yaitu peristiwa penangkapan ikan di Danau Tiberias dan pemulihan Petrus (Pasal 21).

2.      Tokoh-tokoh dan sudut pandangnya dalam Injil Yohanes
Tokoh yang paling sentral dalam Injil ini tentu saja adalah Yesus. Dialah pribadi, karakter, subyek atau pelaku yang melakukan kegiatan yang merubah situasi dalam Injil Yohanes. Ia muncul dalam setiap adegan karena Ia memang aktor utama dari hampir seluruh cerita. Namun terkadang, narator tidak terlalu mempedulikan alur dan isi cerita, tetapi lebih berfokus kepada aktor utama yang melakukan sebuah tindakan. Narator seakan ingin membawa pembaca kepada pengenalan terhadap Yesus yang adalah manusia yang benar-benar Putera Allah yang mampu melakukan hal-hal yang luar biasa (misalnya dalam kebangkitan Lazarus pada pasal 11), karena Ia memang berbeda dengan manusia yang lain. Inilah sudut pandang yang ingin disampaikan narator kepada pembaca. Namun, Yesus juga muncul sebagai obyek dari suatu peristiwa walaupun dalam hal ini, Ia tetap adalah aktor utama. Hal ini dapat kita lihat dalam peristiwa penangkapan dan penyaliban (Pasal 18-19). Subjek adalah para serdadu dan orang-orang Yahudi, sementara Yesus adalah objek penderita dari kejadian tersebut.
Selain itu, murid-murid Yesus juga sering tampil sebagai tokoh yang berinteraksi dengan Yesus ataupun dengan orang banyak. Murid-murid biasanya diceritakan selalu ada bersama dengan Yesus (Pasal 12), kecuali menjelang penangkapan dan setelah penyaliban (Pasal 18-19). Tokoh-tokoh lain yang muncul sebagai objek pelayanan Yesus antara lain Nathanael, Nikodemus, orang Samaria, pegawai istana, orang lumpuh di kolam Betesda, perempuan yang berzinah, orang buta yang sejak lahir, Lazarus dan lain-lain. Sementara kelompok yang sering muncul adalah orang banyak, misalnya saat memberi makan lima ribu orang dan orang banyak yang selalu mengikuti Yesus. Kelompok lain yang selalu diceritakan sebagai lawan Yesus adalah orang Yahudi. 
Jika dicermati, Yesus akan selalu muncul sebagai tokoh yang baik dan supranatural, tanpa mengabaikan kemanusiaanNya (Misalnya dalam pasal 6). Artinya, Yesus digambarkan sebagai seorang pribadi yang tidak diragukan kemanusiaanNya, namun kemampuanNya melakukan banyak tanda dan mujijat tidak meragukan KemahakuasaanNya juga (Pasal 6:16-20). Ia tampil sebagai pribadi yang simpatik dan dicari-cari banyak orang (Pasal 6:22-24), sekedar untuk mendengarkan Dia berbicara atau berkotbah ataupun karena ingin disembuhkan olehNya (Pasal 4:46-54). Pembaca diajak untuk setuju dengan sudut pandang narator bahwa Yesus adalah sosok yang Maha Kuasa dan Maha Tahu (Pasal 6). Sedangkan orang Farisi sebagai lawan Yesus selalu digambarkan sebagai komunitas yang munafik dan ingin membunuh Yesus sejak awal kemunculanNya (Pasal 2:18; Pasal 7:25; Pasal 10:39). Sampai pada akhirnya komunitas Farisi ini berhasil membawa Yesus ke pengadilan dan menerima hukuman mati di kayu salib (Pasal 18-19). Sedangkan murid-murid dan orang banyak selalu digambarkan ada di pihak Yesus namun selalu tidak mengerti akan banyak hal yang disampaikan Yesus.

3.      Latar Waktu dalam Injil Yohanes
Latar waktu yang paling menonjol adalah penyebutan hari-hari raya Yahudi. Ada hari raya yang tidak disebutkan namanya (Pasal 5:1), hari raya Pondok Daun (Pasal 7:2), hari raya pentahbisan Bait Allah.[8] Perayaan yang paling mencolok adalah hari raya Paskah, dimana disebut ada 3 hari raya Paskah yang berbeda (Pasal 2:13; 6:4 ; 11:55). Sebanyak lima kali disebut tentang hari Paskah setelah pasal 11. Hal ini menjelaskan bahwa latar waktu Injil Yohanes berpusat pada hari Paskah.  Perayaan Paskah yang yang ditulis oleh narator, ternyata selalu ada hubungan dengan kematian Yesus. Bahkan hari raya sebelumnyapun sudah kena-mengena dengan kematian Yesus walaupun itu hanya tersirat (Pasal 2:13-25). Latar waktu yang berpusat pada perayaan Yahudi menunjukkan identitas Yesus sebagai orang Yahudi oleh narator.

4.      Latar Tempat dalam Injil Yohanes
Latar tempat Injil Yohanes berpusat di Yerusalem. Sebagian besar cerita terjadi di Yerusalem.[9] Hal ini membedakan Yohanes dengan Injil sinoptik lain yang menceritakan fakta bahwa Yesus sering atau banyak berjalan dari Galilea ke Yerusalem “pulang-pergi”. Dalam Injil Yohanes, pertama sekali diceritakan bahwa Ia berangkat ke Galilea (Pasal 1:43) dan Dia kembali berada di Yerusalem (Pasal 2:13). Kemudian diceritakan bahwa Ia melewati Samaria, ketika meninggalkan Yudea menuju Galilea (Pasal 4:1-3) tetapi sudah ada di Yudea lagi (Pasal 5:1). Kemudian Dia sudah ada di Galilea lagi (Pasal 6). Yesus pergi ke Yerusalem karena perayaan Pondok Daun, setelah itu Ia tetap di Yudea. Yesus hampir selalu berada di Yerusalem. Latar tempat Yerusalem adalah pusat kehidupan agama Yahudi. Di Yerusalemlah Yesus menyatakan perselisihan-perselisihan tentang identitasNya terhadap lawan-lawanNya (Pasal 10:22-39; Pasal 11:45-54), perpisahan dengan murid-muridNya (Pasal 13-17), di sana jugalah terjadi kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadapNya (Misalnya pasal 9).

5.      Latar Sosial dalam Injil Yohanes
Narasi Injil Yohanes terjadi pada panggung kehidupan Yahudi yang telah dipengaruhi budaya Hellenis dan dipengaruhi pemikiran gnostik.[10] Dari bagian awal prolog saja (Pasal 1:1-18), dapat diketahui bahwa terminologi Logos yang dipakai narator pasti mengacu kepada pembaca yang paham dengan kata tersebut. Kata Logos muncul dari budaya Yunani paganis di daerah Mediterania kuno. Injil Yohanes muncul untuk menentang gnostik yang mengatakan bahwa keselamatan terjadi melalui pengetahuan terutama pengetahuan tentang sesuatu yang surgawi, jauh dan transenden sehingga tidak mungkin materi. Tentu saja Yesus tidak akan pernah diakui sebagai manusia utuh dengan pemikiran gnostik yang sedemikian. Maka formula Logos yang menjadi daging adalah gagasan cemerlang Yohanes untuk melawan gnostik (Pasal 1:14). Dengan formula baru tersebut, berarti Yesus adalah Logos (Firman) yang benar-benar telah menjadi manusia (Pasal 1:13-14).

6.      Alur (Plot) Injil Yohanes
Dalam Injil Yohanes, pengembangan plot atau alur tidak begitu baik, karena narator hanya berfokus pada tindakan aktor utama. Sehingga sulit membaca Injil Yohanes dari segi logika.[11] Misalnya, urutan pasal 4, 5 dan 6, sangat sulit diterima dari kacamata geografi.  Dikatakan bahwa pada pasal 5, Yesus berangkat ke Yerusalem. Pasal 6, Yesus berangkat ke Galilea. Sementara di bagian akhir pasal 4, Yesus kembali ke Galilea. Dengan alur ini, kesannya Yesus “mondar-madir” antara Yerusalem dan Galilea. Jauh lebih baik jika pasal 6 mendahului pasal 5, karena di akhir pasal 4 Yesus sudah berada di Galilea, sehingga bisa langsung dekat ke danau Galilea. Akibatnya, pasal 6:1 adalah  permulaan yang aneh.
Keanehan lain kita temukan dalam pasal 7. Dalam ayat 32 disebutkan penjaga-penjaga disuruh menangkap Yesus. Kejadian itu berlangsung di Bait Allah waktu perayaan pesta pondok daun. Penjaga-jaga disuruh menangkap Yesus pada pertengahan pesta tersebut. Dalam pasal 7:45, penjaga-jaga kembali dengan tangan kosong karena tidak mampu menangkapNya. Bagian yang aneh adalah, mereka kembali pada hari yang terakhir dari pesta pondok daun itu, yaitu pada hari ke-7 (ayat 37), kira-kira tiga hari sesudah ada perintah untuk menangkap Yesus di Bait Allah. Ini tentu tidak masuk akal dari segi waktunya. Sulit diterima logika, para serdadu diperintahkan untuk menangkap Yesus pada hari ketiga dan baru melaporkan kegagalan tersebut di hari ketujuh.
Dari segi seni bercerita, hal tersebut mungkin memiliki arti tersendiri bagi narator, tetapi pada akhirnya tidak ada perkembangan dalam alur yang lengkap. Bagi narator, mungkin alur bercerita tidak terlalu penting, sehingga ia melewatkan hal tersebut. Yang ingin ditonjolkan hanya tokohnya saja dan sedikit mengabaikan unsur alur dalam narasi. Sebagai akibatnya, alurnya menjadi rancu. Memang, narator mengakui bahwa ia tidak mampu menyampaikan sebuah cerita yang lengkap melainkan hanya membuat seleksi yang representatif dari banyak kisah tentang Yesus dengan tujuan tertentu, yaitu supaya pembaca percaya kepada Yesus yang adalah Mesias (Pasal 20:30-31).
Kenyataan penyeleksian tersebut dapat dilihat juga dalam beberapa bagian (Pasal 2:23-24 dan Pasal 3:2) dimana disebut “banyak tanda” tetapi hanya satu tanda yang diceritakan yaitu air menjadi anggur di Kana (Pasal 2:1-11). Dalam bagian lain (Pasal 5:16) dikatakan juga bahwa Yesus melakukan hal-hal di hari Sabat, tetapi ternyata cuma satu hal yang terjadi yaitu penyembuhan yang terjadi pada hari Sabat. Banyak adegan-adegan yang penuh arti, namun hubungan setiap adegan dari segi urutan waktu, sering kali tidak jelas atau rancu. Harus diakui bahwa alur dalam Injil Yohanes bukanlah urutan yang kronologis namun perkembangan dari tema yaitu tema-tema yang berisi pertentangan antara percaya dan tidak percaya sebagai reaksi atas penyataan tentang identitas dan kemuliaan Yesus.[12] Alur berjalan dari identitas Yesus yang mulai dikenal dan diterima atau tidak dikenal dan tidak diterima. Dalam setiap perikop kita akan menemukan konflik antara kepercayaan dan ketidakpercayaan kepada Yesus. Inilah tema besar Injil Yohanes sehingga kita akan menemukan tema ini sering berulang dalam variasi yang berbeda (Pasal 1:10-11; Pasal 4:53; Pasal 5:41-47; Pasal 6:66; Pasal 7:30-31).

7.      Gaya Penuturan dalam Injil Yohanes
Ada tiga gaya penuturan yang dominan dalam Injil Yohanes yaitu, kesalahpahaman, ironi dan simbolik. Kesalahpahaman dalam Injil Yohanes, akan sering ditemukan pada saat para lawan atau bahkan para murid Yesus mengajukan pertanyaaan-pertanyaan atas ketidakmengertian mereka.[13] Seakan-akan antara pengetahuan Yesus dan pihak lain, berbeda sangat jauh atau levelnya tidak sama. Orang-orang akan selalu memahami duniawi dan Yesus berbicara dalam arti rohani atau dalam arti yang lebih dalam. Misalnya percakapan dengan Nikodemus, Yesus memaknai “lahir kembali” dalam makna rohani sedangkan Nikodemus memaknainya duniawi (Pasal 3). Gejala kesalahpahaman seperti ini mempunyai arti teologis yang penting. Dalam percakapan dengan Nikodemus, tidak mungkin mengenal Yesus kalau tidak dilahirkan kembali. Artinya, kalau matanya tidak dibuka oleh Allah, tidak akan mengenal Allah dan tidak beroleh hidup kekal dan semua orang membutuhkan hal ini. Tanpa mata baru, orang-orang tidak akan bisa melihat dan mengenal Yesus. Kebenaran tema seperti ini akan ditemukan dalam beberapa cerita yang bervariasi. Dengan memperlihatkan kesalahpahaman ini, sepertinya diharapkan akan mendorong si pembaca untuk mengerti lebih baik, daripada tokoh yang diceritakan narator dalam cerita tersebut.
Ironi dapat ditemukan ketika para lawan Yesus mengatakan hal-hal yang ironis dan sarkastis.[14] Misalnya dengan mencemooh Yesus, hinaan dan ejekan yang pada akhirnya semua itu adalah kebenaran tentang Yesus yang lebih mendalam. Seluruh cerita tentang penderitaan dan kesengsaraan Yesus adalah ironi tetapi dalam arti yang lebih mendalam, yaitu Yesus sendiri yang memberikan nyawanya untuk kehidupan dunia ini (Pasal 2:19-22). Contoh lain saat Yesus mengatakan bahwa Dia akan pergi dan orang-orang tidak akan berhasil menemukanNya. Reaksi orang banyak adalah membayangkan bahwa Yesus akan berangkat jauh ke perantauan dan akan mengajar orang Yunani padahal Yesus sedang membicarakan kematianNya (Pasal 14).
Banyak istilah dalam Injil Yohanes yang merupakan simbol dari sesuatu. Istilah paling populer adalah roti (Pasal 6:25-59), air (Pasal 4:1-42) dan terang (Pasal 8:12-20).[15] Simbol-simbol inilah yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari bahkan yang bersangkut-paut dengan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Yesus memberikan roti dimana diriNya sendirilah yang dimaksud ketika Ia berkata “Akulah roti hidup” (Pasal 6:35). Dengan cara yang sama, simbol terang dan gelap ((Pasal 8:12-13) menunjukkan kenyataan yang mendalam. Tujuan narator menggunakan simbol-simbol sederhana yang berkaitan dengan hidup sehari-hari adalah agar para pembaca mengetahui makna yang lebih dalam dari setiap kata simbol tersebut.

8.      Narator (Pengarang Tersirat)
Dalam Injil ini hanya ada satu narator yaitu si pencerita yang kita temukan dalam narasi ini yang membimbing kita masuk dalam cerita.[16] Dialah yang menunjukkan siapa yang benar dan yang saleh. Dia memperkenalkan tokoh utama dengan suatu prolog (Pasal 1:1-8). Ia memulai dengan dialog-dialog bahkan menjelaskan apa yang dipikirkan oleh para tokoh. Injil ini tidak langsung memuat cerita sederhana yang langsung dicetuskan sebagai cerita, namun merupakan cerita yang menunjukkan interpretasi yang menyeluruh (Pasal 4; Pasal 6; Pasal 8:12-59; Pasal 10:1-21; Pasal 14). Ceritanya seakan-akan bertingkat-tingkat karena sering diulang-ulang. Peran narator sangat penting dalam Injil ini. Narator dalam Injil Yohanes adalah seorang yang maha tahu.[17] Dalam cerita, ia selalu tahu apa yang akan terjadi dan apa artinya. (Pasal 1:11; Pasal 6:64; Pasal 13:1). Ia bisa tahu apa yang ada di benak orang lain (Pasal 13:2) termasuk tahu apa yang dipikirkan Yesus (Pasal 2:24-25; Pasal 6:6,15). Ia tahu banyak tentang Yesus sebanyak Yesus tahu tentang diriNya. Ia juga menggambarkan Yesus sebagai pribadi yang maha tahu juga.

9.      Pembaca Tersirat
Dalam Injil Yohanes, pembaca mengetahui lebih banyak hal daripada para tokoh yang berperan dalam cerita Yohanes.[18] Jika Yesus digambarkan maha tahu, narator maha tahu, maka pembacanyapun harus maha tahu pula. Menjadi demikian karena kepada para pembaca telah dijelaskan semua hal yang dipikirkan oleh Yesus dan narator. Sesungguhnya pembaca sudah bisa menebak dalam prolog tentang asal-usul Yesus, bahwa Ia adalah Logos (Firman) Allah yang datang ke dalam dunia manusia. Kedatangan ini jugalah yang menimbulkan konflik dan dua reaksi yang muncul yaitu percaya dan tidak percaya. Semuanya telah diceritakan kepada pembaca di bagian pendahuluan sebelum semuanya dijelaskan dalam cerita berikutnya. Oleh karena itu, bisa dijelaskan bahwa para pembaca telah diberi kunci untuk perjalanan cerita selanjutnya.
Dalam cerita berikutnya, walaupun sudah tahu kuncinya, pembaca harus mencari tahu lebih lanjut, karena maksud dan tujuan cerita tidak selalu disampaikan narator dengan gamblang. Informasi yang tidak jelas pada pasal-pasal yang ada, mendorong pembaca agar tidak berhenti mencari lebih dalam, tentang rahasia identitas dan kemuliaan Yesus. Pencarian makna yang lebih dalam oleh pembaca pada akhirnya bertujuan supaya percaya kepada Yesus (Pasal 20:30-31).
B. Narasi  Perjamuan Malam Terakhir (Yohanes 13-17)
Injil Yohanes dibagi dalam 4 bagian besar.[19] Pertama, bagian Prolog pada pasal 1 : 1- 18. Bagian kedua disebut sebagai Kitab Tanda pada pasal 2:1-12:50. Kitab Tanda ini terbagi dalam beberapa episode.[20] Bagian Ketiga, dinamakan Kitab Kemuliaan terdapat dalam pasal 13:1 – 20:31. Bagian Keempat, Epilog terdapat dalam pasal 21:1–25. Dalam susunan Injil Yohanes, pasal 13-17, masuk dalam kitab kemuliaan oleh para penafsir.[21]
Pasal 2-12, dikelompokkan dalam kitab tanda, dimana Allah, melalui Yesus melakukan banyak tanda mujijat. Dengan demikian, kemuliaan Allah diwakilkan oleh manusia yang hidup diantara manusia lain yaitu Yesus sendiri. Bagian ini diakhiri oleh cerita pengurapan Yesus di Betania, yang merupakan simbol akan kematianNya (Pasal 12:7). Fokus cerita pada pasal 2-12, ada pada  tanda-tanda mujijat yang dilakukan Allah oleh Yesus. Namun pada pasal 13, fokus cerita bergeser pada pribadi Yesus sendiri.[22]
Setelah Maria mengurapi Yesus dengan minyak Narwastu sebagai tanda kematianNya (Pasal 12:1-8), Yesus juga memberitakan kematianNya dalam pasal yang sama (Pasal 12:20-36), persis setelah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Pasal 12:12-19). Dari alur ini, jelas terlihat bahwa peringatan atau pertanda akan kematianNya, disampaikan berkali-kali. Narator ingin mengatakan bahwa kematianNya adalah sesuatu yang sangat penting dan sentral, sehingga banyak peristiwa yang menjadi pertanda akan kematian tersebut, walaupun belum terjadi.
Pasal 13 adalah cerita dimana Yesus, hanya bersama-sama dengan murid-murid, dalam perayaan paskah di Yerusalem. Sebelum perayaan paskah dimulai, Yesus sudah tahu bahwa sebentar lagi Dia akan mati (Pasal 13:1). Diceritakan bahwa mereka sedang makan bersama (Pasal 13:3). Dalam cerita ini, tidak jelas seperti apa proses makan bersama tersebut (Pasal 13:2). Namun melihat dari gaya makan malam bersama tersebut, yang dilanjutkan dengan kata-kata perpisahan, Witherington mengatakan ini seperti acara makan malam Greko-Romawi pada abad pertama :
The normal Greco-Roman banquet in the first century A.D involved a meal and a symposium (teaching, dialogue, or entertainment period following the meal but during the dringking party). The symposium in pasticular tended to be an-all male affair, any women who had been present at the meal politely excusing themselves before the symposium. In a Jewish setting this was all the more likely to be the case. The meal depicted in John 13 is definitely a meal in the Greco-Roman style, as is shown by the remark in John 13:23. Jesus provides discourses, with some dialogue, after the meal, as was common for sage or a Sophist to do at a Greco-Roman banquet. [23]

Informasi Witherington ini menunjukkan bahwa Yesus memilih makan malam gaya Greko-Romawi dalam acara perpisahan dengan murid-muridNya. Jika berpedoman pada Witherington, maka narator sekaligus ingin menunjukkan latar sosial pada saat itu, yang telah banyak dipengaruhi oleh tradisi Greko-Romawi. Selanjutnya, bagian ini mengatakan bahwa Yesus sangat mengasihi murid-muridNya dengan menyelengarakan makan malam tersebut (Pasal13:1). Selain itu, disisipkan juga nama Yudas Iskariot sebagai murid yang berkhianat (Pasal 13:2). Bagian berikutnya adalah adegan yang terjadi dalam acara makan bersama tersebut yang dipaparkan lebih luas oleh narator. Penulis mengelompokkannya dalam 3 adegan berikut.

Adegan 1 : Pembasuhan kaki
Pada acara makan malam tersebut, Yesus berdiri dan menanggalkan jubahNya. Kemudian Ia mengambil kain lenan dan mengikatkan pada pinggangNya (Pasal 13:4). Setelah itu Yesus mengambil basi (tempat air) mengisinya dengan air dan mulai membasuh kaki murid-muridNya (Pasal 13:5) dan mengeringkannya. Acara pembasuhan kaki ini adalah bagian pembuka dari acara makan malam tersebut seperti yang dituliskan Witherington :
The act of foot washing by Jesus depicts him as the host of this banquet, who quite extraordinary is assuming the role the host’s slave or other family members would normally perform for the guest in Israel. The act is potrayed as a typical Johannine sign act, but the point is that it was a regular part of hospitality at the Jewish celebration of a banquet in the Greco-Roman style. Here the opening act, coupled with the closing prayer in part serves the purpose of creating unity among the inner circle of the disciples, especially in view of the coming betrayal, denial and general desertion of Jesus.[24]

Ketika Yesus mulai membasuh kaki murid-muridNya, narator tidak menuliskan bagaimana respon dari murid-murid ketika Yesus mulai membasuh kaki mereka. Dari penjelasan Witherington di atas, tidak wajar jika Yesus membasuh kaki murid-muridNya. Karena biasanya, membasuh kaki adalah tugas seorang hamba. Chennattu membenarkan pendapat ini :
The footwashing is a symbolic action. It has been traditionally accepted that it symbolizes in a dramatic way the humble service of Jesus, which the deciples are to imitate. The narrator portrays action by vividly describing his moves step by step : Jesus gets up from the table, takes off his outer garment, ties a towel around himself, pours water into basin, washes the feet of his deciples, and wipes them with a towel (v. 4-5). According to Jewish tradition, actions such as taking off the outer garment and tying a towel around oneself would evoke the image of a slave.[25]

Menurut pendapat Chennattu, dalam tradisi Jahudi, Yesus sudah bertindak seperti hamba (budak). Acara perpisahan ini menjadi dramatis dengan pembasuhan kaki ini. Belum pernah seorang guru membasuh kaki muridnya. Oleh karena itulah Petrus menolak ketika Yesus ingin membasuh kakinya (Pasal 13:6-8). Kita melihat ada dialog antara Yesus dan Petrus (Pasal 13:6-9). Petrus wajar terkejut dengan tindakan Yesus dalam bagian ini (Pasal 13:6).
Petrus menolak untuk dibasuh kakinya oleh Yesus karena status Petrus sebagai murid lebih rendah. Seharusnya murid yang membasuh kaki gurunya, bukan sebaliknya (Pasal 13:8). NamunYesus mengatakan kepada Petrus bahwa apa yang dilakukan Yesus tidak akan dimengerti sekarang, namun kelak (Pasal 13:7). Apa yang dilakukan Yesus terhadap murid-murid adalah sesuatu yang tidak biasa dan tidak bisa dimengerti. Namun, dalam cerita ini, murid-murid tidak banyak bertanya dan tidak berani memberi respon kecuali Petrus. Narator sejenak membawa kita berfokus kepada pribadi Petrus yang selalu berani dan responsif seperti terlihat dalam dialog ini.
Setelah berdialog, akhirnya Petrus bersedia dibasuh kakinya oleh Yesus, bahkan dia meminta jangan hanya kakinya saja yang dibasuh, tetapi juga tangan dan kepalanya. Petrus meminta hal itu ketika Yesus memberitahukan tujuan dari pembasuhan tersebut adalah simbol mendapat bagian dalam Yesus (Pasal 13:9). Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus adalah tanda pembersihan (Pasal 13:10-11). Setelah semua murid dibasuh oleh Yesus, Dia mulai menjelaskan makna dari pembasuhan tersebut. Ternyata, Yesus sedang mengajarkan teladan kepada murid-muridNya, agar bersedia saling membasuh kaki juga (Pasal 13:15). Yesus memberikan teladan yang pasti tidak akan terlupakan oleh para murid (Pasal 13:16-17).
Ada beberapa makna dari tindakan ini, pertama adalah praktek dari sebuah relasi yang terbangun diantara murid, seperti pendapat Witherington :
The symbolic action of foot washing by Jesus in this passage was meant to have a practical consequence for the relationship that existed between his deciples. His command for them to wash each other’s feet was an attempt to lead them to act in such a way that social divisions, pride and other all-too- human factors would not stand in the way of the unity of the fellowship. Symbolic action and role playing can break down the barriers between people. Jesus knew this and so he encouraged his disciples to follow his example.[26]

Jika sesama murid saling membasuh kaki, hal itu berarti menghilangkan batas-batas antara yang satu dengan yang lain. Yang tercipta adalah relasi yang sangat terbuka diantara sesama murid. Makna kedua adalah, sebuah contoh kehambaan seorang Guru. Guru macam apakah Yesus? Maka jawabannya adalah pada tindakanNya. Guru yang terbuka, rendah hati dan mengasihi. Membasuh kaki adalah tindakan kasih yang melayani yang selanjutnya akan dilakukan para murid di kemudian hari. Menjadi murid berarti bersedia menjadi hamba. Jika Guru mereka saja melakukan tindakan tersebut, terlebih mereka sebagai murid. Mereka harus menjadi murid yang mengasihi dengan melayani orang lain. Hal ini senada dengan pendapat Chennattu :
We must interpret Jesus washing the feet of his deciples against the background of verses 1-3. The literary setting suggest that the footwashing in itself should be viewed as both Jesus’ perfect love and his love to the end. In Johannine Christology, it is important to understand the footwashing as an act of intimate love and communion. The footwashing of Jesus could be symbolic act of love that promotes and fosters communion and thus has significant ecclesiological implications.[27]

Dari kutipan di atas jelas bahwa, pembasuhan kaki adalah tanda kedalaman dan kesempurnaan kasih Yesus. Dengan demikian Ia mendorong murid melakukan kasih sempurna dalam persekutuan mereka.  Makna ketiga, tindakan ini juga menjadi simbol yang kuat akan kematian dan kebangkitan Yesus seperti pendapat Chennattu mengatakan :
…then the footwashing foreshadows and symbolizes the redemptive death of Jesus and it is not merely an “example” or a “representative” a humble service. The Fourth Evangelist will not portray Jesus ‘death as a moment of suffering and humiliation but as the hour of his passing over to the father and the moment of consummate act of loving self-gift.[28]

Penulis sependapat dengan Chennattu, benar bahwa penderitaan Yesus di kayu salib bukanlah penderitaan yang memalukan, tetapi itu adalah saat dimana Yesus kembali kepada Bapa dan memberikan diriNya mati sebagai tanda Kasih.
Bersamaan dengan kisah ini, diceritakan juga bahwa Yudas Iskariot berkhianat kepada Gurunya (Pasal 13:21-30). Yesus mengatakan dalam acara makan malam tersebut bahwa salah satu muridNya akan menyerahkanNya. Namun tidak satu orang pun yang tahu siapa murid tersebut (Pasal13: 22). Yesus mengatakan bahwa murid yang menerima roti yang dicelupkan, maka dialah orangnya (Pasal 13:26). Yesus mencelupkan roti dan memberikannya kepada Yudas, namun sampai pada saat itupun, murid-murid belum juga paham, bahwa Yudaslah yang dimaksud Yesus sebagai orang yang berkhianat (Pasal 13:28). Sampai akhirnya Yudas pergi, tidak satu orang pun yang tahu tentang hal itu. Ini adalah gaya penuturan yang sangat umum kita temui dalam Injil Yohanes, narator menunjukkan kesalahpahaman antara Yesus dan murid-murid. Dimana Yesus sudah mengatakannya namun murid-murid tidak mengerti sama sekali.
Dalam bagian ini, kita melihat dengan jelas bahwa narator selalu menggambarkan Yesus sebagai pribadi yang maha Tahu. Yesus tahu saatNya sudah dekat (Pasal 13:1), Ia tahu tentang rencana penghianatan dalam hati Yudas (Pasal 13:3), Ia tahu siapa yang akan menyerahkanNya (Pasal 13:11). Dalam bagian ini, hanya Yesus yang digambarkan aktif, sementara murid-murid hanya diam dan pasif, kecuali Petrus. Ini menunjukkan usaha narator menggambarkan pribadi Yesus yang sangat mengasihi dan karena kasihNya, Dia rela melakukan kehambaan. Narator mengajak kita, pembaca untuk mengambil posisi sebagai murid, bahwa kita juga harus melakukan kehambaan itu, supaya kita berbahagia (Pasal 13:17), karena itulah pesan dari bagian ini.

Adegan 2 : Kata-kata Perpisahan
Setelah adegan pembasuhan kaki berakhir dan Yudas pergi (Pasal 13:31), adegan berikutnya adalah penyampaikan wejangan, pesan, nasehat dan kata-kata perpisahan. Ada begitu banyak tema yang disampaikan Yesus dalam wejangan perpisahanNya. Jika dicermati, dari kepergian Yudas (Pasal 13:30) sampai dengan pasal 16, Yesus menyampaikan begitu banyak hal dan beberapa diantaranya sering diulang-ulang. Yesus memulai wejanganNya dengan perintah baru yaitu supaya murid saling mengasihi, sama seperti Yesus mengasihi mereka. Kasih menjadi penanda, supaya orang lain mengenal murid Yesus (Pasal 13:34-35). Pesan serupa diulang lagi dalam bagian berikutnya (Pasal 15:9-17). Pesan ini juga terdengar lagi untuk yang ketiga kalinya dalam doa Yesus (Pasal 17:20-23). Bagian lain yang diulang adalah pernyataan tentang tema doa “apapun juga yang kamu minta dalam namaKu…” (Pasal 14:13). Tema yang sama muncul kedua kalinya (Pasal 15:7). Kemudian untuk yang ketiga kalinya tema ini muncul lagi (Pasal16:23).
Setelah perintah baru disampaikan, perkataan Yesus memperingatkan Petrus disisipkan diantara wejangan-wejangan tersebut (Pasal 13:36-38). Narator ingin mengatakan bahwa Yesus adalah pribadi yang Maha Tahu. Sebelum Petrus melakukan penyangkalan tersebut, Yesus sudah tahu lebih dahulu tahu. Namun kali ini, tidak ada jawaban dari Petrus. Narator mengajak kita hanya berfokus kepada Yesus yang Maha Tahu dalam bagian ini, bukan Petrus. Wejangan berikutnya, Yesus berkata, bahwa Ia pergi ke rumah Bapa untuk menyediakan tempat bagi murid-murid (Pasal14:1-14). Dalam bagian awal Yesus mengatakan “ janganlah gelisah hatimu…”. Bisa dibayangkan, bahwa murid-murid masih bingung ketika Yesus mengatakan bahwa Ia akan pergi ke tempat dimana murid-murid tidak bisa lagi mencariNya. (Pasal 13:33).
Pernyataan Yesus untuk pergi jauh dan tak kembali, pasti menimbulkan ketakutan dan kegelisahan bagi para murid (Pasal 13:33). Witherington membenarkan hal ini dan mengatakan :
…The desciples are troubled by Jesus‘ talk of leaving them, and Jesus in this discourse wishes to allay their fears and show that his leaving will in fact work to their advantage. The meaning of the departure and its consequences for the disciples can be designated a the overarching theme of the unit. [29]

Sependapat dengan Witherington, pasti sulit bagi murid-murid kehilangan pemimpin karismatik seperti Yesus. Maka, wejangan tentang rumah Bapa pasti akan sangat menghiburkan para murid. Sepaham dengan Witherington,  Chennattu menambahkan :
The major concern of the evangelist in chapter 14 is to encourage and console the disciples who are troubled by his departure to the Father. Jesus reassures the disciples who are bewildered and struggling to comprehend the departure and destiny of Jesus by making many promises of his ongoing presence with them and commanding them to believe in him, to love him and the Father and to keep his commandments. The promises and commandments of Jesus to the disciples before departure provide important insights into Johannine disciples.[30]

Kepergian Yesus menimbulkan tanda tanya besar bagi murid, terlihat dari dialog antara Thomas, Filippus dengan Yesus, tentang kepergian Yesus dan tempat yang dituju (Pasal 14:4-14). Thomas dan Filipus kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi ketidakpahaman mereka akan perkataan Yesus. Namun dalam penjelasanNya, Yesus memunculkan formula relasiNya dengan Bapa yaitu, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Pasal 14:10) dan formula ini ditekankan berulang-ulang oleh narator.
Untuk semakin meneguhkan hati para murid, Yesus menjanjikan penghibur sebagai penggantiNya kelak (Pasal 14:15-31), agar murid-murid tidak merasa seperti yatim piatu. Roh penghibur yaitu Roh Kudus, adalah Roh yang diutus Bapa dalam nama Yesus, untuk mengajarkan dan mengingatkan segala sesuatu yang telah diajarkan Yesus kepada murid-murid (Pasal 14:26).  Dengan berfokus pada pasal 14:15-24, kita melihat bahwa wejangan ini, kembali disajikan dalam formula kesatuan Bapa didalam Yesus dan Yesus dalam Bapa. Menurut Beutler, ternyata ide formula ini sudah ada ada pada kitab Ulangan :
In the central section of John 14, verses 15-24, one notes the influences of covenant and Trinitarian theologies. The notions of loving God and keeping his commandments are the key elements of the Deutronomy theology of covenant union with God. In Johannine thought, the love of God shows itself in the love of Christ, which in turn becomes concrete in love among fellow Christians. It is clear that John 14, has been heavily influenced by a variety of motifs from the Hebrew Bible.[31]

Dari kutipan Beutler di atas, adapun kunci dari mengasihi Allah dalam tradisi Ibrani adalah “melakukan perintahNya” dan itulah yang disampaikan Yesus dalam bagian ini. Narator ingin menunjukkan bahwa Yesus menyampaikan hal yang sudah dikenal oleh tradisi Yahudi.
Dalam paparan berikutnya, Yesus memakai analogi pokok anggur, dimana kembali kita melihat formula relasi Bapa-Anak dan Anak-Murid dalam analogi ini (Pasal 15:1-8), namun lebih berfokus pada Anak-Murid. Eratnya relasi antara Yesus dan murid adalah seperti pokok anggur dengan rantingnya (Pasal 15:5). Pada bagian ini, narator mengajak kita berfokus pada Yesus dengan pengucapan “Akulah..” yang diucapkan berkali-kali dalam menunjukkan relasiNya dengan murid.[32] Pemilihan analogi pokok Anggur akan membawa kita pada bayangan batang pokok Anggur dan ranting-rantingnya. Witheringtong berpendapat demikian :
The vine was one of the most prized of all ancient plants in Israel because it provided something to drink for a relatively low cost in manual labor in a land where water came and went because of the rainy seasons alternating with the long, hot summers when there would not be any rain. Thus here the vine stands as a symbol for an especially prized and fruitful source of nourishment and strength. Incorpoation into, and then abiding in, the Christ as the vine provides the believer with the means not only to love one’s fellow believers but also to bear fruit in one’s witness to the world. Abiding in Christ is not simply an end in itself, nor just a means of maintaining unity in community, it is also the necessary prerequisite to effective evangelism in a hostile world.[33]

Setuju dengan pendapat Witherington di atas, pokok anggur yang berdiri kokoh adalah simbol kesuburan dan kekuatan. Keberadaan murid-murid yang bergantung pada Yesus sebagai pokok anggur (Pasal 15:5-6), menggambarkan bahwa dengan tinggal dalam pokok anggur tersebut, murid tidak hanya mampu mengasihi murid yang lain tetapi bersama-sama, mampu menghasilkan buah sebagai kesaksian bagi dunia. Senada dengan Witherington, Chennattu menguraikan :
…The organic oneness of the branches with the vine and with one another communicates so powerfully the mutual indwelling of Jesus and his disciples. Jesus together with his disciples now stands for the new Israel, the faithful and fruitful vine of God. The image of vine and the branches is essentially a symbol of the community of the disciples in covenant relationship with Jesus. One can not ignore the binding intimate relationship implied here and separated the fruitful branches from the true vine. Just as there can be no branches without vine. One can not talk about the vine and its fruitfulness without its branches. The mutual and binding covenant relationship between Jesus and disciples is underlined. The community of disciples designated in the metaphor as the fruitful branches abiding in Jesus, the true vine, becomes the new vineyard of Yahweh.[34]

Dari dua uraian ahli di atas, jelas terlihat bahwa ada relasi yang saling membutuhkan antara pokok anggur dan ranting.  Ranting tidak dapat berdiri sendiri tanpa batang atau pokok. Dan buah anggur pasti berada pada ranting dan cabang, bukan pada batangnya. Jadi relasi antara Yesus dan murid sangat dekat dan saling membutuhkan. Ini berarti Persekutuan murid yang tinggal di dalam Yesus akan menjadi kebun anggur yang berbuah lebat bagi Allah. Tinggal dalam Yesus berarti melakukan firmanNya (Pasal 15:7). Dengan demikian, Yesus membutuhkan kesaksian murid-murid, agar dunia percaya kepada Yesus.
Bagian berikutnya adalah pengulangan perintah supaya saling mengasihi (Pasal 15:9-17). Narator sering mengulang-ulang pesan ini, karena sangat penting. Chennattu berpendapat :
.. The final disciples discourses of Jesus focus on the heart of the covenant commandments: to abide in Jesus and his love and to love one another as Jesus has loved. Jesus permanent intimacy with God transforms his disciples and empowers them with the gift of a parallel relationship with God, with one another and with cosmos. The commandments of love here implies and includes the great concerns and obligations of a covenant relationship that demand fidelity and integrity.

Dari uraian Chennattu, jelas bahwa dalam bagian ini, relasi Bapa dan Anak yang begitu dekat dan membaharui relasi murid dengan Allah bahkan dengan alam. Perintah untuk saling mengasihi (hubungan timbal-balik) di sini mencakup kewajiban dari murid untuk tetap setia dalam kebenaran dan integritas.
Perintah untuk saling mengasihi kemudian dikontraskan dengan sikap dunia yang membenci Yesus dan juga membenci murid-murid (pasal 15:18-27). Yesus berpesan supaya murid-murid ketika murid-murid dianiaya oleh dunia, mereka tetap berpegang pada firmanNya (Pasal 15:20). Narator kembali menggambarkan Yesus sebagai pribadi yang sudah tahu, bahwa diriNya akan dianiaya. Yesus juga tahu bahwa murid-murid kelak juga akan dianiaya oleh dunia.
Oleh karena itulah, Yesus mengingatkan murid-murid agar jangan kecewa tetapi tetap bertekun (Pasal 16:1-14). Dalam bagian ini Yesus menjelaskan peran Roh Kudus dalam memimpin murid-murid ke dalam setiap kebenaran (Pasal 16:13). Roh Kudus juga akan memuliakan Yesus karena Roh Kudus akan memberitakan apa yang diterimaNya dari Yesus (Pasal 15:14). Petunjuk dalam bagian ini membawa kita pada gambaran bahwa relasi antara Bapa, Yesus dan Roh Kudus, memiliki relasi yang sangat dekat. Yesus mengatakan, “Bapa didalam Aku dan Aku didalam Bapa” (Pasal 14:10). Namun, Yesus mengatakan Bapa lebih besar dari pada diriNya (Pasal 15:28).  Oleh karena itu, Yesus meminta kepada Bapa supaya Roh Kudus diberikan sebagai pengganti Yesus (Pasal 15:15). Roh Kudus datang dari Bapa setelah Yesus pergi dan Roh Kudus akan memuliakan Yesus dan akan memberitakan apa yang telah Yesus ajarkan (Pasal 15:14).
Setelah menjelaskan bagian ini, murid-murid paham apa yang Yesus katakan. Ini jarang sekali terjadi. Biasanya murid-murid selalu digambarkan salah paham atau tidak paham sama sekali. Namun setelah penjelasan yang panjang dari pasal 13, akhirnya narator mencatat murid-murid tahu apa yang Yesus bicarakan (Pasal 16: 29-30). Narator tidak menjelaskan siapa yang berbicara diantara murid.
Hal yang ingin disampaikan narator adalah, akhirnya murid-murid tahu dan percaya akan semua wejangan-wejangan yang panjang dari Yesus. Tentu saja narator menginginkan kita, pembaca, juga berada pada posisi murid-murid. Pemahaman tersebut penting bagi para murid agar mereka bertahan terhadap penderitaan yang akan mereka alami kelak. Sepertinya tulisan ini sengaja ditekankan karena murid-murid mengalami tekanan penderitaan (Pasal 16:31-33). Pemahaman ini menjadi penutup dari semua rangkaian wejangan panjang tersebut karena Yesus akan menutup wejangan tersebut dengan doa.

Adegan 3: Doa Penutup
Setelah wejangan panjang berakhir, maka Yesus pun mengakhiri pertemuan malam itu dengan doa penutup. Witherington  mengatakan:
Jesus closing or “high-priestly” prayer was an appropriate closing act at such a meal, although sometimes this act would happen at the transition between the meal and the symposium. The character of this prayer may suggest that the situation of te Johannine community is or has recently been the one described in the Johannine epistles, where some factionalism has happened.[35]

Menurut Witherington, dalam sebuah acara makan malam, doa bisa ditempatkan sebagai penutup pertemuan, tetapi bisa diletakkan diantara acara makan dan wejangan. Namun dalam Injil Yohanes, jelas bahwa narator menuturkan, doa ditempatkan di akhir seluruh rangkaian acara, setelah semua wejangan disampaikan oleh Yesus. Doa tersebut sekaligus doa terakhir semasa hidupNya.
Doa ini sangat panjang dan berisi ringkasan dari semua hal yang telah disampaikan dari wejangan malam itu.[36] Sikap Yesus dalam berdoa adalah menengadah ke langit (Pasal 17:1). Cara Yesus berdoa seperti ini memperlihatkan kedekatan Yesus dengan Bapa. Ia tidak memposisikan diri seperti budak, namun  seperti anak yang minta sesuatu kepada orang tuanya. Witherington mengatakan cara berdoa seperti ini juga mengindikasikan kemanusiaan Yesus dan perrbedaanNya dengan Bapa. [37]Bagian awal dari doa ini berisi ungkapan-ungkapan tentang relasi Yesus dengan Bapa (Pasal 17:1-5). Tiba saatnya Bapa mempermuliakan Yesus, supaya Yesus pun mempermuliakan Bapa (Pasal 17:2). Bapa telah memberikan kuasa kepada Yesus, dengan kuasa itulah Yesus memberi hidup yang kekal (Pasal 17:2).
Sebelumnya, Yesus sudah mempermuliakan Bapa dengan cara menyelesaikan pekerjaanNya (Pasal 17:4-5). Dari ungkapan-ungkapan ini, narator mengajak kita untuk memahami relasi atara Yesus dan Bapa. Yesus meminta kemuliaan kepada Bapa karena Yesus sudah terlebih dahulu mempermuliakan Bapa dengan melakukan tugasnya. Artinya, Yesus meminta hakNya setelah Ia melakukan kewajibanNya. Semua kewajiban itu akan berakhir pada kematianNya yang hanya tinggal sebentar lagi. Dalam bagian ini, narrator hanya berfokus kepada Yesus dan relasiNya dengan Bapa, tidak ada tokoh lain yang muncul dalam bagian ini.
Dalam bagian berikutnya, fokus bergeser pada relasi Yesus dan murid (Pasal 17:6-19). Yesus berulangkali mengunakan kata “mereka” untuk menunjuk pada murid-murid.[38] Narator ingin, kita juga berfokus kepada murid-murid. Yesus berdoa kepada Bapa bahwa murid-muridNya adalah milik Bapa (Pasal 17:6).[39]Dalam beberapa kalimat awal, Yesus seperti memberikan laporan kepada Bapa tentang keadaan murid-murid. Bahwa murid-murid telah telah menuruti firman, murid-murid telah menerima firman dan murid-murid telah percaya bahwa Yesus diutus oleh Bapa (Pasal 17:6-8).
Setelah kondisi murid-murid dilaporkan, maka saatNya Yesus berdoa kepada Bapa agar memelihara murid-murid di dunia (Pasal 17:9-11). Chennattu mengatakan :
The portrayal of the disciples as the locus of Jesus’ gloricifation implies that the indentity of Jesus as the manifestation of God is made visible in them. Jesus is thus praying that disciples will kept in God’s name. In other words, the mutual abiding of the disciples in God, will protect them at the time of suffering and persecution and in turm they become the visible presence of God in the world. The community of the disciples is characterized as the locus of God’s active presence in the world after Jesus departure from the world.[40]
Permohonan Yesus dapat dalam doanya, agar Bapa memelihara murid adalah untuk menguatkan murid dalam masa penderitaan dan tetap menjadi kesaksian bagi dunia sekalipun pada masa penganiayaan. Yesus memohon Bapa melakukan ini atas dasar kepemilikan bersama. Bapa juga adalah pemilik dari murid-murid, oleh karena itu, ketika Yesus tidak ada lagi di dunia dan tidak bisa lagi memelihara murid-murid, maka Bapa kiranya memelihara murid-murid (Pasal 17:11). Yesus memohon Bapa memelihara murid-murid dalam nama Bapa, nama yang sama yang diberikan Bapa kepada Yesus (Pasal 17:12).
Jika dicermati, uraian-uraian dalam bagian ini adalah pengulangan dari pasal14-16. Keberadaaan murid di dunia akan menderita, karena dunia akan menganiaya mereka. Oleh karena itulah, Yesus memohon kepada Bapa, agar tetap melindungi mereka dari yang jahat (Pasal 17:15) karena Yesus tidak menginginkan murid seperti yatim piatu. Uraian-uraian ini sangat kompleks, selain karena banyak hal yang diulang-ulang, uraian ini juga lebih cocok disebut hasil pemikiran teologis daripada sebuah doa. Narator menggiring kita pada penekanan pemahaman, tentang relasi Bapa-Anak-Murid melalui doa ini.
Yesus berdoa untuk orang-orang yang percaya kepadaNya karena pemberitaan murid-murid (pasal 17:20). Yesus berdoa untuk masa depan, Dia tahu bahwa murid-murid akan pergi memberitakan Injil dan akan banyak orang yang percaya pada pemberitaan mereka. Yesus berdoa agar semua orang yang percaya menjadi satu (Pasal 17:21). Adapun tujuan orang percaya bersatu adalah supaya dunia percaya bahwa Bapa yang mengutus Yesus (Pasal 17:21). Tujuan kesatuan ini kembali ditegaskan pada pernyataan berikutnya (Pasal 17:23).[41] Yesus mengatakan bahwa Ia telah memberikan kemuliaan kepada orang-orang percaya yaitu kemuliaan yang berasal dari Bapa, supaya mereka bersatu sama seperti Bapa-Anak.
Pada bagian bakhir doa, Yesus bicara tentang Kasih Allah kepada Yesus sebelum dunia dijadikan (Pasal 17:24). Yesus memohon kepada Bapa, agar kasih dari Bapa kepada Yesus, tinggal dalam kehidupan orang percaya dan Yesus ada didalam mereka (Pasal 17:26). Dengan perkataan lain, kasih dari Allah itu adalah Yesus sendiri. Dari rangkaian wejangan dan doa yang serba panjang ini, narator sedang menggambarkan pribadi Yesus sebagai pribadi yang baik, penuh kasih, perduli dan bertanggungjawab.


C.Yohanes 17:20-26 Sebagai bagian dari Doa Yesus (dalam Narasi Perjamuan Malam Terakhir)
     Terjemahan Menurut TB LAI
      Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaku oleh pemberitaan mereka (20). Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku(21). Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu(22): Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku(23). Ya Bapa, Aku mau supaya, dimana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepadaku, agar mereka memandang kemuliaanku yang telah Engkau berikan kepadaKu, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan (24). Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku (25). Dan Aku telah memberitahukan namaMu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, suapaya kasih yang Engkau berikan kepadaku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka (26).


Yohanes 17:20-26, adalah teks yang dipilih penulis sebafai fokus penafsiran dalam tesis ini. Namun dalam penafsiran narasi, tentu saja penulis tidak bisa melepaskan bagian ini dari narasi yang menyatu dengannya. Pasal 13-17 adalah satu kesatuan cerita dimana teks ini termasuk didalamnya. Kisah ini adalah perjamuan makan malam bersama yang dilakukan Yesus hanya bersama murid-murid. Dalam pasal 13, pembasuhan kaki adalah bagian awal dari acara tersebut, dimana Yesus menunjukkan teladan kehambaan bagi murid-murid. Ia berpesan agar murid-murid juga melakuan hal yang sama, yaitu pemaknaan relasi yang dalam diantara murid.
Kemudian Yesus menyampaikan wejangan terakhir bagi murid-muridNya. Yesus tahu bahwa murid-muridNya akan dianiaya dan Yesus tidak akan bersama mereka lagi. Dalam kegelisahan dan ketakutan mereka, Yesus menghibur mereka dengan wejangan Rumah Bapa (Pasal 14) dan janji akan datangnya Roh Kudus (Pasal 14+16) untuk menggantikan Yesus. Selain itu Yesus juga berpesan agar murid tetap tinggal dalam Yesus melalui hidup menurut FirmanNya dan saling mengasihi (Pasal 15). Kata kunci dalam bagian ini adalah adanya hubungan timbal balik dalam “Saling Mengasihi”.
Setelah semua wejangan berakhir, dan murid-murid mengerti (Pasal 16:29-30) Yesus kembali menguatkan murid-murid dengan doa (Pasal 17). Narator menunjukkan alur yang bisa dipahami dalam cerita ini. Kita melihat dalam alur Injil Yohanes, murid atau orang-orang, biasanya salah paham dengan maksud pengajaran Yesus. Namun ketika murid sudah mengerti, itu berarti saatNya bagi Yesus untuk pergi. Hal-hal yang sudah disampaikan kepada murid-murid (Pasal 14-16) dibawa dalam Doa. Pertama Yesus berdoa untuk diriNya sendiri (Pasal 17:1-5), Bapa mempermuliakan diriNya, karena Yesus sudah terlebih dahulu memuliakan Bapa dengan melakuan pelayananNya bahkan sebentar lagi akan berakhir dalam kematian.
Bagian berikutnya, Yesus berdoa untuk murid-murid (Pasal 17:6-24). Dari panjangnya doa ini, kita bisa memahami bahwa bagi Yesus, murid-murid sangat penting. Terbukti dengan banyaknya wejangan penguatan bagi mereka dan panjangnya doa Yesus bagi mereka. Kita perlu melihat, bahwa Yesus berdoa untuk dua jenis murid dalam doanya. Pertama, Yesus berdoa untuk murid yang hadir pada saat itu (murid pertama), agar Bapa memelihara mereka dan menjauhkan mereka dari yang jahat. Yesus tahu, murid-muridnya akan dianiaya, sehingga Ia berdoa agar Bapa melindungi dan menjaga mereka (Pasal 17:6-19).
Kedua, Yesus berdoa untuk orang-orang yang percaya dan akan percaya terhadap pemberitaan murid-murid yang pertama itu (Pasal 17:20-24). Witherington berkomentar tentang ayat 20-21 :
It indicates a need to pray for the unity of original disciples and those who come to believe through their word. This would be especially apt prayer in light of the divisions and disunity evident in the Johannine epistles. But unity among believers must also be grounded in unity with or dwelling in the Father and Son. One porpose of such unity is real and manifest is so “the world may know that you have sent me and have loved them”. [42]

Penulis sependapat dengan Witherington, adapun acuan kesatuan orang percaya adalah seperti kesatuan Bapa dan Yesus. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pernyataan “sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita..” (Pasal 17:21). Chennattu berkomentar senada :
The oneness among the disciple is modeleled on the intimate relationship of the Father and Jesus revealed in the redemptive works of God in Jesus.The purpose of Jesus’ prayer for unity among the disciples is that the world may recognize Jesus as the sent One and the disciples as God’s beloved, reflecting the union of love that exists between God and Jesus. The disciples are to make God’s presence visible by loving one another as Jesus has loved them.[43]

Dari komentar ini, jelas bahwa jika murid ingin mewujudkan kehadiran Allah di dunia, caranya adalah dengan mengasihi orang lain seperti Yesus yang sudah terlebih dahulu mengasihi mereka. Dengan demikianlah dunia akan mengenal dan mengakui Yesus sebagai pribadi yang diutus Bapa. Tentu saja, doa seperti ini akan memberikan semangat bagi murid-murid yang pertama untuk pergi memberitakan Injil, sehingga dunia mengenal dan percaya kepada Yesus. Yesus berdoa bahkan untuk semua generasi yang akan datang agar bersatu. Pemberitaan Injil terus berlangsung sampai hari ini, artinya Yesus berdoa untuk semua orang percaya bahkan untuk generasi sekarang ini
Dari Yohanes 17:20-24 ini, kita tidak bisa melihat, motif mengapa Yesus menekankan isu tentang kesatuan ini kepada murid-murid. Kita hanya bisa melihat bahwa Yesus sangat menekankan kesatuan murid dengan memberikan teladan kesatuan Bapa dan Anak. Craigh Koester mengatakan  bahwa kesatuan Bapa dan Anak adalah pengajaran yang sangat sentral dalam Injil Yohanes. Dan kesatuan orang-orang percaya juga menjadi isu penting karena hanya dengan kesatuan orang percayalah dunia menjadi percaya kepada Yesus.[44] Koester menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi isu kesatuan dalanm Injil Yohanes yaitu:
First, Jesus’ farewell prayer treats the issue of unity against backdrop of conflict with the nonbelieving world. After Jesus departure the disciples remained in a world that hated them and the threat of being expelled from synagogue or killed placed pressure on Christians to leave the community unity and one that embroiled Johannine Chirstian. Second, Jesus’ farewell prayer relates the concern for unity to the expansion of the Christian community through the evangelistic work of the disciples. Third factor affecting unity was geopraphical dispersion. Fourth factor affecting unity was the organizational pattern of Johannine congregation.[45]

Informasi dari Koester ini, menolong kita melihat bagaimana situasi yang mungkin terjadi saat isu kesatuan ini dicetuskan. Isu kesatuan dalam Injil Yohanes mungkin muncul pertama, karena murid-murid sedang berjuang dalam konflik melawan mayoritas agama Yahudi pada saat itu. Dunia yang disebutkan Yesus dalam bagian ini dapat diidentikkan dengan agamaYahudi yang membenci keberadaan murid-murid. Dan murid-murid akan menerima tekanan dari sinagoge akan keberadaaan mereka. Faktor kedua, adalah kepedulian Yesus akan perluasan kekristenan atau penginjilan yang akan dilakukan murid-murid termasuk kepada suku-suku lain seperti Samaria, Yunani dan suku lain. Kesatuan yang Yesus doakan ini, akan mempersatukan semua suku dalam namaNya.
Isu kesatuan ini juga muncul karena faktor geografi. Orang-orang percaya tinggal di tempat yang berbeda-beda seperti Betania, Kapernaum, Kana dan kota-kota lain. Dengan demikian Yesus menginginkan kesatuan semua orang percaya dimanapun berada. Isu ini juga muncul agar ada kesatuan dalam organisasi dalam komunitas murid. Hal ini menyangkut urusan internal murid-murid. Komunitas akan semakin besar dan dibutuhkan pengelolaan yang baik termasuk pembagian tugas untuk pelayanan yang lebih efektif. Dari doa Yesus ini, setiap komponen pelayanan diharapkan dapat bersatu dalam menjalankan pelayanan sebagai kesaksian bagi dunia.
Pendapat Koester ini sangat masuk akal mengingat komunitas Yohanes hidup sekitar tahun 100 M.[46] Pada masa itu, tentu saja jumlah orang percaya sudah meningkat jauh dan kemungkinan mereka mulai masuk pada generasi kedua setelah murid yang pertama.[47]Dalam teks ini, narator memasukkan sudut pandangnya akan kondisi yang ada, yaitu kesatuan menjadi sesuatu yang sangat penting.  Kesatuan itu meliputi internal dan eksternal. Internal mencakup kesatuan setiap komponen dalam organisasi, sedangkan eksternal mencakup kesatuan geografi, kesatuan antar etnis dan kesatuan menghadapai tantangan dari luar dalam usaha penginjilan.
Kesatuan yang harus diwujudkan para murid adalah meniru Kesatuan antara Bapa dan Anak (Pasal 17:21-23). Relasi antara Bapa dan Anak berulang ditegaskan narator daalam narasi ini. Jika ditelisik, kesatuan Bapa dan Anak memiliki relasi yang sangat intim. Anak berasal dari Bapa, namun Bapa lebih besar dari Anak (Pasal14:28). Mereka saling mempermuliakan satu dengan yang lain (Pasal 17:1). Milik Anak adalah milik Bapa juga (Pasal 17:6). Bapa dan Anak sudah ada sejak dunia dijadikan. Anak mengasihi Bapa seperti Bapa juga mengasihi Anak. Kesatuan seperti inilah yang harus diperjuangkan oleh murid-murid dalam perjalanan pelayanan mereka di dunia ini.
Dengan bersatu, maka dunia menjadi percaya kepada Yesus. Itulah akhir dari kesatuan murid Kristus, “dunia menjadi percaya” (Pasal17:21-23). Apakah murid-murid akan mampu mewujudkan kesatuan itu? Tentu saja, karena Roh Kudus akan mengajarkan segala kebenaran kepada mereka (Pasal 16:14-15). Kesatuan bukanlah sesuatu yang diciptakan sendiri oleh murid-murid, tetapi itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Murid-murid akan memahami pekerjaan Roh Kudus jika mereka tinggal dalam pokok anggur yaitu Yesus, dengan tinggal dalam firmanNya (Pasal 15:7-8).
 
D.Kesimpulan Penafsiran
Dari serangkaian penafsiran dengan pendekatan narasi, dapat disimpulkan bahwa seluruh rangkaian penafsiran dalam narasi pasal 13-17, bermuara pada tema discipleship  yang  terdiri dari relasi, hubungan timbal-balik dalam kasih dan kesatuan. Dari adegan pembasuhan kaki, kita belajar teladan kehambaan Kristus membuka diri  untuk membangun relasi yang kuat bagi murid-murid di kemudian hari. Dari adegan wejangan Yesus kita belajar hubungan timbal-balik dalam saling mengasihi. Yohanes 17:20-26 berfokus pada kesatuan murid dengan meneladani kesatuan Bapa dan Anak, yang juga dibangun dalam relasi yang intim dan saling mengasihi. Dari doa Yesus, kita melihat bahwa kesatuan terjadi jika murid-murid terlebih dahulu membuka diri dan membangun relasi dengan orang, dan pada saat yang sama dia mengasihi orang tersebut. Urutan adegan dari narasi ini seakan urutan dalam tahapan kesatuan. Tahap pertama adalah membuka diri dan bereleasi, kemudian saling mengasihi, disitulah tercipta kesatuan.

E.Makna Kesatuan dalam Yohanes 17: 20-26
Dari proses penafsiran dalam bab tiga, narasi pasal 13-17, bermuara pada tema discipleship  yang  terdiri dari relasi, hubungan timbal-balik dan kesatuan. Yohanes 17:20-26 berfokus pada kesatuan murid dengan meneladani kesatuan Bapa dan Anak, yang juga dibangun dalam relasi yang intim dan saling mengasihi. Kata kunci dalam kesatuan ini ada dua yaitu, pertama “relasi”. Kata kunci yang kedua adalah “saling mengasihi”.
Kesatuan murid yang dimaksud bukanlah kesatuan organisasi dan institusi tetapi kesatuan iman atau kesatuan spiritual antara orang-orang percaya. Kesatuan itu adalah karya Roh Kudus. Murid-murid pasti mampu mewujudkan kesatuan tersebut karena Roh Kudus akan mengajari mereka. Hal penting yang harus dilakukan adalah, membangun relasi dan saling mengasihi. Antara murid yang satu dengan murid yang lainnya harus ada relasi yang kuat dan saling mengasihi.
Relasi dan mengasihi terjadi dalam waktu yang bersamaan. Mengasihi berarti membuka diri kepada orang lain dan membangun relasi dan dialog. Ketika kita memandang orang lain lebih rendah, itu artinya kita tidak mengasihi orang tersebut. Pada saat yang sama, kita tidak akan bisa membuka diri dan berelasi dengan orang itu. Ketika kita menganggap kita lebih tinggi dari yang lain, hal itu menyebabkan kita kesulitan membangun relasi. Hal itu berarti dalam saat yang sama kita tidak mengasihi dia. Relasi hanya akan tercipta dengan baik, apabila kedua belah pihak sejajar. Relasi tidak akan berjalan dengan baik jika salah satu pihak merasa lebih tinggi dan sebaliknya.
Apa maknanya bagi gereja masa kini? Gereja-gereja di Indonesia terdiri dari banyak denominasi. Masing-masing denominasi gereja yang mengaku sebagai murid Kristus, harus saling mengasihi. Bentuk paling sederhana dari saling mengasihi adalah memandang denominasi lain sejajar, tidak lebih rendah atau sebaliknya. Hanya dengan sikap seperti inilah denominasi yang satu dengan yang lain mampu berelasi. Relasi yang dibangun harus mampu melampau batas-batas perbedaan yang ada.
Denominasi-denominasi gereja yang ada di Indonesia memiliki keunikan masing-masing, baik yang bersifat teologis maupun nonteologis yang menyebabkan denominasi yang satu berbeda dengan denominasi yang lain. Namun relasi yang dibangun harus mampu melampaui perbedaan-perbedaan itu. Karena kasih juga mampu melampaui banyak perbedaan.
Bersatu bukan berarti seragam. Kesatuan Bapa dan Anak, bukan berarti Bapa sama dan seragam dengan Anak atau sebaliknya. Demikian juga kesatuan atau relasi yang dibangun oleh gereja-gereja di Indonesia. Adanya kesatuan antar denominasi, bukan berarti semua denominasi menjadi seragam, tetapi membiarkan setiap keunikan yang ada pada masing-masing denominasi tetap hidup. Setiap keunikan pada masing-masing bahkan diharapkan dapat memperkaya yang lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak denominasi gereja yang sangat eksklusif. Banyak denominasi gereja yang mengalami konflik internal, karena perbedaan pendapat dan akhirnya pecah. Perpecahan ini berpeluang menghasilkan gereja baru bahkan denominasi baru. Masing-masing gereja juga saling bersaing pada masa ini. Di mana ada perpecahan, di mana ada eksklusivisme, di mana ada persaingan di antara gereja-gereja, maka di sanalah doa Yesus ini dibuyarkan.
Dunia tidak bisa diinjili oleh gereja-gereja yang berkonflik, sombong dan sibuk dengan persaingan. Yesus berdoa agar murid-murid-Nya sepenuhnya bisa menjadi satu seperti Dia dan Bapa satu adanya. Doa Yesus ini seharusnya menjadi refleksi gereja-gereja di Indonesia untuk membangun relasi dengan yang lain dalam Kasih Kristus. Karena tujuan dari kesatuan yang diwujudkan adalah untuk  membuka mata dunia, sehingga dunia percaya.
Kesatuan yang diwujudkan dalam relasi harus benar-benar nyata, bukan konsep dan teori semata. Tetapi harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Gereja perlu bergerak dan mengambil inisiatif untuk melihat sekitarnya dan menjalin relasi dengan sesama yang ada di sekitar. Relasi bisa dimulai dengan percakapan atau dialog. Berikut akan diuraikan beberapa bentuk dialog yang dapat diwujudkan gereja.

F.Relevansi Penafsiran  Yohanes 17 : 20-26 terhadap konteks gereja HKBP, HKI dan GKPS  Panei Tongah
Secara umum, dari hasil penelitian yang dilakukan di HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, jelas menunjukkan bahwa baik pemimpin gereja maupun jemaat, sudah memiliki pemahaman yang baik tentang gerakan kesatuan gereja. Namun pemahaman tersebut tidak didukung oleh perwujudan yang konkret dalam kerjasama antar gereja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum ada kerjasama diantara ketiga gereja ini sebagai perwujudan gerakan kesatuan gereja. Nihilnya relasi dan kerjasama dapat dianggap sebagi indikator tidak adanya kesatuan.
Adapun penyebab nihilnya kerjasama adalah faktor internal gereja yaitu faktor kesukuan dan sikap introvert. Di masa lalu, ketiga gereja ini memang berpisah, [48]namun dalam perkembangan pelayanan, seharusnya ketiga gereja ini mampu membangun relasi dan bekerjasama di masa sekarang. Dari hasil kuesioner, faktor lain penghalang gerakan kesatuan adalah kurangnya sosialisasi tentang isu kesatuan dalam ketiga gereja. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa tema tentang kesatuan jarang dikotbahkan dan didiskusikan. Ini artinya peran serta jemaat dalam isu gerakan kesatuan sangat kurang. Mungkin hanya pendeta dan para pemimpin saja yang terlibat dalam gerakan ini. Selain itu, kegiatan oikumene tidak diprogramkan dan dievaluasi secara rutin di tiga gereja ini.
Jika memang kerjasama belum ditemukan dalam ketiga gereja ini, mungkin kita bisa menemukan dialog paling mendasar yang terjadi diantara ketiga gereja ini. Karena basis pelayanan ketiga gereja adalah petani dan jemaat berasal dari perkampungan yang sama, maka tentu saja dialog kehidupan sudah terjadi setiap hari dalam level jemaat. Pergumulan tentang kehidupan petani, musim tanam dan percakapan seputar mata pencaharian terjadi setiap hari. Pergumulan tentang kesusahan, kemiskinan, kegagalan, bukan tidak mungkin terjadi diantara jemaat. Namun, gereja tidak cukup jeli melihat bahwa dari hasil dialog kehidupan ini, ketiga gereja bisa menyadari musuh bersama untuk diperangi bersama. Misalnya jika kemiskinan dipandang sebagai musuh bersama, maka ketiga gereja akan melakukan upaya-upaya bersama untuk memeranginya, seperti pelatihan peternakan, pelatihan perikanan, pelatihan usaha lain.[49]
Dengan gambaran konteks gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah seperti ini, maka hasil tafsir Yohanes 17:20-26 sangat relevan terhadap konteks ketiga gereja ini. Ketiga gereja ini seharusnya menangkap pesan discipleship dari teks ini, dimana kata kunci dari kesatuan adalah “relasi” dan “saling mengasihi”. Model kesatuan yang relevan bagi gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei tongah adalah Model Kesatuan Bapa danAnak, yaitu relasi dan saling mengasihi terjadi sekaligus dalam waktu yang sama. Model kesatuan ini dapat juga disebut sebagai model kesatuan unity in diversity atau sebaliknya diversity in unity. Artinya dalam kesatuan terjalin relasi yang dinamis dan menghargai keunikan masing-masing sebagai kekayaan kesatuan.
Secara umum, teks ini menyarankan agar gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah memulai kerjasama sebagai perwujudan relasi sebagai murid Kristus. Dialog kehidupan yang sudah terjadi selama ini dapat ditingkatkan dengan dialog karya berupa kerjasama antar ketiga gereja ini. Hal itu bisa dimulai dengan memasukkan kegiatan oikumene sebagai program rutin tahunan dan dievaluasi secara rutin juga. Kegiatan itu dapat berupa pertukaran pelayan, gotong royong, ibadah bersama, sampai pada pelatihan-pelatihan  bagi petani. Untuk lebih jelasnya, kita akan melihat konteks khusus masing-masing gereja dan melihat sumbangan pemikiran dari Yohanes 17:20-26 kepada masing-masing konteks.

1.      Relevansi bagi HKBP Panei Tongah
Hasil penelitian di lapangan, menunjukkan bahwa gereja ini adalah yang paling besar, baik gedungnya maupun jumlah jemaatnya, yang berbanding lurus dengan kemampuan finansial juga. Dari segi sejarah, gereja ini juga yang pertama lahir baik di Indonesia maupun di daerah kecamatan Panei. Namun, dalam percakapan dengan pemimpin jemaat, didapati bahwa gereja ini terlalu institusionalisme. Artinya, terlalu menjadikan aspek kelembagaan yang utama, sehinga aspek lain yang lebih esensial terabaikan. Kesan ini didapat ketika pemimpin gereja mengharapkan adanya lembaga oikumene dahulu, baru kegiatan oikumene dapat berjalan. Gereja ini masuk dalam kategori model gereja institusional yang mengabaikan fungsi gereja sebagai persekutuan. Pemahaman pemimpin gereja yang demikian, tentu saja akan melahirkan miskinnya relasi antar gereja karena sikap pemimpin gereja akan diteladani oleh jemaatnya.
Dari hasil analisa kuisioner terhadap jemaat, ditemukan bahwa jemaat tidak mempersoalkan sejarah masa lalu perpisahan HKBP dengan HKI dan GKPS. Jemaat juga mengatakan bahwa adalah hal yang baik jika pendeta HKBP berkotbah di gereja lain, dan sebaliknya pendeta gereja lain juga baik, jika berkotbah di HKBP dalam program pertukaran peayan. Hal ini kontradiksi dengan pendapat guru jemaat yang mengatakan, jemaat HKBP Panei Tongah, tidak siap jika ada pendeta dari luar HKBP berkotbah di HKBP Panei Tongah. Tidak berjalannya program persekutuan keluarga selama setahun juga menunjukkan kurangnya kerjasama para pelayan di gereja ini.  
Guru jemaat mengatakan, tidak pernah berelasi bahkan berdialog dengan guru jemaat dan pendeta gereja tetangga secara sengaja. Hal ini pasti berpengaruh terhadap jemaat. Bagaimanapun, nihilnya teladan dari pemimpin gereja dalam berelasi dengan gereja tetangga, akan mempengaruhi sikap jemaat terhadap gereja tetangga juga. Gereja HKI maupun GKPS, sebagai gereja yang berdekatan, menganggap HKBP arogan dengan keberadaannya yang serba “lebih” dari yang lain. Menjadi gereja Batak terbesar, terkaya dan termaju teologinya dianggap sebagai modal HKBP untuk tidak memerlukan kerjasama dengan gereja yang lebih kecil.
Dalam kenyataan ini, Yohanes 17:20-26 dapat direfleksikan lagi sebagai semangat oikumene. Dengan bercermin pada teks ini, HKBP hendaknya membangun jembatan terhadap HKI dan GKPS yang dapat disebut sebagai adik, jika diumpakan sebagai sebuah keluarga, untuk menjalin relasi kuat. Jika mungkin ada kemarahan di masa lalu, ketika HKI dan GKPS memilih berpisah, perlu dipahami lagi bahwa HKBP bersama dua adiknya itu harus kembali kepada pemahaman rumah bersama mereka sama-sama rumah Kristus. Kembali menikmati relasi dalam kasih, kebersamaan seperti relasi Bapa dengan Anak.
Selain itu, kasih yang mendasari relasi, seyogianya mampu merekonsiliasi perpisahan di masa lalu. Kasih mampu mengabaikan keengganan untuk datang dan berelasi kembali. Gereja ini juga harus membangun relasi internal diantara sesama pelayan di gereja agar tercipta efektifitas pelayanan. Jikalau mungkin ada konflik-konflik dalam struktur kepengurusan, hendaknya terjadi rekonsiliasi dalam kasih. Relasi HKBP dengan gereja tetangganya secara khusus HKI dan GKPS, dengan sendirinya menunjukkan sejauh mana gereja ini bersaksi. Gereja yang menyadari panggilannya untuk menjadikan dunia percaya, adalah gereja yang mau bersatu dan berelasi dengan yang lain.

2.      Relevansi bagi HKI Panei Tongah
Dalam percakapan dengan pemimpin jemaat, ditemukan kesan bahwa gereja ini enggan berelasi dengan HKBP karena menganggap HKBP arogan dan sombong. Tetapi relasi dengan GKPS berbeda, keduanya malah bisa sependapat tentang gerakan kesatuan gereja. Dilihat dari sisi sejarah perpisahan di masa lalu, bisa dimaklumi, bahwa baik HKI maupun GKPS adalah sama-sama berpisah dari HKBP. Tentu masuk akal, jika kedua pribadi ini akan cocok, karena mereka memiliki pengalaman yang sama. Sedangkan dengan HKBP, mungkin akan ada rasa sungkan. Selain itu, didapati kesan, bahwa HKI menginginkan adanya eksistensi sendiri bahkan dari sejarah lahirnya di Indonesia, tanpa dihubung-hubungkan sebagai gereja pecahan HKBP.
Dari literatur HKI ditemukan, bahwa tidak pernah ada catatan yang mengatakan bahwa HKI dulunya berpisah dari HKBP.[50]Sesungguhnya sikap seperti ini juga sangat berbahaya. Fanatisme gereja yang berlebihan akan menyulitkan terciptanya gerakan kesatuan. Perbedaan pandangan tentu biasa, apalagi itu terjadi di masa lalu. Kehidupan sekarang lebih penting untuk ditata sedemikian untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Gereja ini sudah menuangkan isu kesatuan gereja secara konkret dalam program pelayanan tahunan berupa pertukaran pelayan (tukar mimbar). Namun sangat disayangkan, jika program ini tidak terealisasi. Mungkin gereja ini perlu menemukan program lain yang tepat dengan konteks HKI Panei Tongah sebagai kegiatan oikumene dalam perwujudan gerakan kesatuan. Jadi dapat disimpulkan, bahwa dalam gereja ini pun, belum ada realisasi dari program kesatuan gereja.
Dengan bercermin pada Yohanes 17:20-26, gereja ini kembali diingatkan untuk merenungkan makna kesatuan Bapa dan Anak, di dalam Kasih. Pemaknaan akan kata Kasih akan meruntuhkan keenganan diganti dengan kerendahan hati. Narasi doa Yesus tentang kesatuan ini, dibungkus dalam adegan kehambaan Yesus yang sangat luar bisa yang melambangkan kerendahan hati dan keterbukaan. Jika HKI merefleksikan hal ini, maka dengan rendah hati HKI akan datang membangun jembatan dengan kisah masa lalu yang harus diselesaikan.
Motivasi Kasih, pasti dapat menyelesaikan kisah yang tidak menyenangkan di masa lalu. Gereja HKI Panei Tongah harus mau membuka diri dan berdialog dan berelasi lebih dahulu dengan HKBP Panei Tongah, Sehingga tercipta persekutuan dan kesatuan Secara internal, pemahaman pemimpin jemaat dan jemaat sangat baik tentang kesatuan gereja. Dan semangat pemimpin jemaat perlu diapresiasi dengan ide-ide yang muncul tentang gerakan kesatuan yang ingin diwujudkan. Kesadaran dan semangat seperti inilah yang disuarakan oleh Injil Yohanes, namun segera harus direalisasikan. Program pertukaran mimbar dengan GKPS Panei Tongah, harus segera dilaksanakan. Setelah itu memprogramkan kegiatan lain sebagai bentuk kerjasama dengan HKBP dan GKPS Panei Tongah.

3.      Relevansi bagi GKPS Panei Tongah
Dalam pengamatan langsung yang dilakukan pada gereja ini, walaupun menjadi gereja yang paling kecil dari ketiga gereja yang diteliti, namun gereja ini memiliki semangat yang tinggi untuk mewujudkan panggilannya sebagai gereja. Pemahaman panggilan akan gerakan kesatuan juga dipahami dengan baik oleh pimpinan jemaat dan jemaat. Hal itu terlihat dalam program yang disusun secara eksplisit menyebutkan adanya kegiatan-kegiatan oikumene yang harus diwujudkan gereja.[51]Program semacam ini tidak ditemukan di HKBP maupun HKI.
Model gereja yang dianut oleh gereja ini cenderung adalah model persekutuan yang cukup kuat dengan tetap mengintegrasikannya dengan model lembaga yang tidak terlalu kaku. Namun demikian, apresiasi terhadap gereja ini masih harus dilanjutkan dengan perwujudan nyata dari semangat dan cita-cita kesatuan itu sendiri. Program kegiatan oikumene belum terlaksana selain perayaan Natal dan Paskah oikumene yang digagas oleh pemerintah kecamatan Panei. Sekalipun gereja ini memprogramkan kegiatan oukumene secara eksplisit, namun realisasi dari program ini belum pernah terlaksana.
Pemaknaan akan Yohanes 17:20-26, kiranya mendorong gereja ini untuk mewujudnyatakan gerakan kesatuan yang sudah dicita-citakan, tidak hanya sebatas program yang tidak terlaksana. Walaupun berbeda suku dan bahasa dengan HKBP dan HKI, gereja ini mampu melihat urgensi kesatuan yang kuat dalam konteks gereja masa kini tanpa melihat perbedaan sebagai penghalang. Keinginan yang kuat tidak hanya ingin menciptakan kerjasama dengan 3 gereja yang saling berdekatan saja, namun semua gereja yang ada di kecamatan Panei. Ini perlu diapresiasi.
Semangat kesatuan dalam Injil Yohanes, akan memberikan keberanian bagi gereja ini untuk memulai gerakan kesatuan. Menjadi gereja yang paling kecil bukan penghalang menjadi inspirator dan inisiator gerakan kebersamaan bagi ketiga gereja. Doa Yesus menjadi landasan untuk berani, ini sesuatu yang sangat penting untuk segera diwujudkan. Membuka diri berelasi dengan kasih.
4.      Relevansi bagi gereja-gereja di Indonesia
Gambaran ketiga gereja yang menjadi objek penelitian penulis, yakni HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, bukanlah satu-satunya gambaran yang menunjukkan miskinnya relasi antar gereja yang saling berdekatan.  Dalam konteks gereja-gereja di Sumatera Utara secara khusus, bukan pemandangan aneh bahwa dalam jarak ratusan meter berdiri bangunan gereja yang saling bertetangga. Gambaran miskinnya relasi HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, bisa jadi adalah gambaran gereja-gereja di Sumatera Utara, bahkan gereja-gereja di Indonesia.
Dalam penelitian yang dilakukan Van Koij terhadap gereja-gereja mainstream di Indonesia, ternyata ditemukan fakta bahwa gereja-gereja tersebut sangat eksklusif.[52] Hal itu terbukti dengan jarangnya jemaat gereja tertentu mengikuti kegiatan gereja lain, bahkan tidak pernah sama sekali. Ini menunjukkan rata-rata gereja mainstream masih kurang dalam menghayati makna persekutuan sebagai sesama umat Tuhan. Dalam penelitian tersebut, ditemukan juga bahwa kecenderungan sikap gereja mainstream adalah  berkonsentrasi pada kegiatan introver-internal.[53] Artinya, gereja-gereja hanya berfokus pada dirinya sendiri dan tidak perduli dengan lingkungan sekitar dan persoalan-persoalan dalam masyarakat. Ada kesan bahwa gereja terlalu berfokus pada aras vertikal yaitu hubungan dengan Tuhan yang transenden, sementara aras horisontal yaitu hubungan dengan sesama yang nyata, malah terabaikan. Ini menjadi penghalang besar akan gerakan kesatuan gereja.
Sikap seperti ini tidak sesuai dengan semangat Injil Yohanes yang menjadikan tema kesatuan sebagai tema sentral. Gereja-gereja di Indonesia, dalam segala keberagamannya, perlu berefleksi lagi dari teks ini.  Perbedaan bukan halangan untuk berjalan bersama-sama. Relasi Bapa dan Anak, menjadi panutan yang harus dihidupi gereja-gereja di Indonesia. Sikap saling menerima dan menghargai diantara sesama gereja yang berbeda, perlu dipupuk demi terciptanya gerakan bersama dalam hidup bergereja. Seyogianya, gereja-gereja di Indonesia bersatu dalam panggilan kebersamaan senada dengan visi dan misi PGI 2009-2014.
Visi  :  “Menjadi Gereja yang Merefleksikan Kebaikan Allah di Tengah-tengah        Masyarakat Majemuk Indonesia.”
Misi    :            Gereja-gereja di Indonesia,
a.       Makin menguatkan persekutuan di antara gereja-gereja di Indonesia sebagai basis bagi pelayanan dan kesaksian
b.      Makin lebih terbuka kepada lingkungan yang di dalamnya mereka hidup
c.       Menggiatkan pelayanan yang komprehensip di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai wujud pemberitaan Kabar Baik;
d.      Ikut mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban dengan mempelopori berbagai upaya terciptanya hubungan-hubungan yang baik dengan komponen-komponen masyarakat;
e.       Memberikan sumbangan berharga bagi terjadinya proses demokratisasi yang substansial di dalam Negara Indonesia.[54]

Dengan demikian, semangat kesatuan Injil Yohanes dan cita-cita kesatuan yang disuarakan PGI dapat dihidup dalam kehidupan bergereja sampai pada level jemaat.





[1] Pembagian ini diadopsi oleh Kysar dalam bukunya Robert Kysar, Injil Yohanes Sebagai Cerita : Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil, hal vii-viii.
[2] Lembaga Biblika Indonesia, 2002, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, hal 163.
[3] Episode Pertama dinamakan Permulaan Baru (Pasal 2:1-4:42). Episode Kedua disebut sebagai Sabda Yesus yang Memberi Hidup (Pasal 4:43-5:47). Episode Ketiga adalah Yesus sebagai Roti Hidup (Pasal 6:1-71). Episode Keempat yaitu Krisis Identitas (Pasal 7:1 – 8:59). Episode Kelima dinamakan Terang Dunia, Bisa Melihat dan Kebutaan (Pasal 9:1 – 10:42). Episode Keenam, Hidup atas Kematian (Pasal 11:1-54). Episode Ketujuh, Hidup Melalui Kematian (Pasal 11:55 – 12:50).
[4]Narator ingin menyatakan bahwa keberadaan Sang Kristus-Firman ada di luar jangkauan pikiran manusia. Hal ini bukan soal masa sebelum masa, tetapi lebih menunjukkan kenyataan adikodrati yang menakjubkan yang membentang menembus waktu baik sebelum, sesudah maupun di luar waktu.Robert Kysar,  Injil Yohanes Sebagai Cerita, hal 5. 
[5] Ini menunjukkan penulis tidak benar-benar tertarik pada pesta perkawinan itu sendiri, tetapi tertarik pada tindakan Yesus yang mengubah air menjadi anggur (Pasal 2: 1-11).
[6] Tindakan ini berwujud percakapan dan kejadian pengusiran di Bait Allah, mempertegas pokok pikiran yang hendak diungkap oleh penulis Yohanes tentang sosok Yesus. Yesus mengajak orang-orang kepada perubahan pandangan terhadap agama yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada masa itu.
[7] Peristiwa ini menunjukkan keberadaan Yesus yang menjadi sumber kehidupan, yang dikenal dengan istilah “Roti Hidup”.
[8] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 67. 
[9] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 67. 
[10] Lihat penjelasan konteks Injil Yohanes yang memuat elemen sejarah dan budaya pada bagian sebelumnya.
[11] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 69-71. 
[12] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 70. 
[13] Ibid, hal 71. 
[14] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes,  hal 72.
[15] Ibid, hal 73. 
[16] Ibid hal, 67.
[17] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 68.
[18] Ibid hal, 69.
[19] Lembaga Biblika Indonesia, 2002, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, hal 163.
[20] Episode Pertama dinamakan Permulaan Baru (Pasal 2:1-4:42). Episode Kedua disebut sebagai Sabda Yesus yang Memberi Hidup (Pasal 4:43-5:47). Episode Ketiga adalah Yesus sebagai Roti Hidup (Pasal 6:1-71). Episode Keempat yaitu Krisis Identitas (Pasal 7:1 – 8:59). Episode Kelima dinamakan Terang Dunia, Bisa Melihat dan Kebutaan (Pasal 9:1 – 10:42). Episode Keenam, Hidup atas Kematian (Pasal 11:1-54). Episode Ketujuh, Hidup Melalui Kematian (Pasal 11:55 – 12:50).
[21] Lihat Bab 3 halaman 9.
[22] Robert Kysar, Injil Yohanes Sebagai, hal 63.
[23] Ben Witherington, 1995, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel, Westminter John Knox Press, hal 232-233.
[24] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 233.
[25]Rekha Chennatu, 2006, Johannine Discipleship as a Covenant Relationship, Hendrickson Publishers, hal 91.

[26] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 243.


[27] Rekha Chennatu,  Johannine Discipleship as a Covenant Relationship,  hal 92-93.
[28] Ibid, hal 94.
[29] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 248.

[30] Rekha Chennatu,  Johannine Discipleship as a Covenant Relationship,  hal 102.
[31]Johannes Beutler, 2001, Synoptic Jesus Tradition in The Johannine Farewell Discourse, in Robert Fortna (ed), Jesus in Johannine Tradition, Westminster John Knox Press, hal 170.
[32] Setidaknya ada sepuluh kali pengucapan kata “Aku” dalam bahasa Indonesia dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
[33] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 257.
[34] Rekha Chennattu,  Johannine Discipleship as a Covenant Relationship,  hal 114.
[35] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 233.
[36] Lembaga Biblika Indonesia mengatakan bahwa doa ini bisa disebut sebagai perluasan dari doa Bapa Kami karena sapaan Bapa sebanyak 6 kali dalam bagian ini serupa dengan penyebutan nama Allah  Bapa dalam Doa Bapa kami (Mat 6:9). Permohonan yang disampaikan juga gemanya mirip yaitu supaya dijaga dari kejahatan (Mat 6:13).
[37] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 269.

[38] Lebih dari 20 kali, Yesus menggunakan kata mereka dalam ayat 6-19, untuk menunjuk kepada murid-murid.
[39] Berulang-ulang kita menemukan dalam pasal 13-17, bahwa relasi Bapa dan Anak, salah satunya adalah relasi dalam kepemilikan. Bahwa Milik Bapa adalah milik Anak dan sebaliknya.
[40] Rekha Chennattu,  Johannine Discipleship as a Covenant Relationship,  hal 132.

[41] Bagian ini akan dijelaskan lebih jauh dalam bagian berikutnya, sebagai fokus penafsiran dalam tesis ini.
[42] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 271.
[43] Rekha Chennattu,  Johannine Discipleship as a Covenant Relationship,  hal 136.
[44] Craig Koester, 2003, Symbolism in the Fourth Gospel : Meaning, Mystery, Community, Fortress Press, hal 251.
[45]Ibid,  hal 252-257.


[46] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth Gospel,  hal 232.
[47] Craig Koester, Symbolism in the Fourth Gospel : Meaning, Mystery, Community,  hal 256.

[48] Dalam sejarah perpisahan HKBP dengan GKPS di masa lalu, sangat jelas, penyebabnya adalah kesukuan. Perpisahan HKBP dengan GKPS di masa lalu adalah karena perbedaan budaya, tabiat dan bahasa. Sementara faktor penyebab perpisahan HKBP dan HKI di masa lalu adalah faktor ideologi nasionalisme. Penyebabnya pasti bukanlah faktor suku, karena keduanya sama-sama Batak Toba.

[49] Dengan pelatihan tersebut, petani memiliki alternative lain sebagai mata pencaharian tambahan. Dengan demikian, para petani semakin kreatif dan ilmu yang mereka dapatkan dari pelatihan-pelatihan yang disengerakan ketiga gereja secara bersama-sama dan dapat menambah pendapatan mereka, sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
[50]Bahkan ketika penulis mengikuti katekisasi saat duduk di kelas III SMU, guru jemaat menanaman doktrin, bahwa HKI tidak pernah berpisah dari HKBP dari dulunya.Dalam literature HKI, hal itu sangat ditekankan. Menjadi berbeda ketika literature tersebut netral, seperti buku van den End.
[51]Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Pelayanan dan Pembangunan serta Pengembangan Jemaat HKI Panei Tongah, Periode Januari-Desember 2010, hal 4.

[52] Dalam penelitian ini, HKBP dan GKPS masuk dalam objek peniltian tetapi HKI tidak termasuk didalamnya. Rijnardus van Kooij (dkk), 2007, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, BPK Gunung Mulia, hal 59.
[53] Ibid, hal 100.
[54] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,  Dokumen Keesaan Gereja,  hal 39.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar