A.Injil Yohanes sebagai
Cerita
Narasi
Injil Yohanes dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar.[1]
Bagian pertama adalah Pendahuluan (Pasal 1 : 1 -51). Bagian kedua, Yesus
menyatakan kemuliaan (Pasal 2 : 1 – 12 : 50). Bagian ketiga adalah Yesus
menerima kemuliaan (Pasal 13:1- 20:29). Bagian keempat, kesimpulan atau penutup
(Pasal 20:30 – 21:25). Lembaga Biblika Indonesia membagi Injil Yohanes kedalam
4 bagian besar.[2]
Pertama, bagian Prolog pada pasal 1 : 1- 18. Bagian kedua disebut sebagai Kitab
Tanda pada pasal 2:1-12:50. Kitab Tanda ini terbagi dalam beberapa episode.[3]
Bagian Ketiga, dinamakan Kitab Kemuliaan terdapat dalam pasal 13:1 – 20:31.
Bagian Keempat, Epilog terdapat dalam pasal 21:1 – 25.
Injil
Yohanes, oleh para penafsir, umumnya dibagi dalam bagian yang terdiri dari
pendahuluan, isi dan kemudian diakhiri dengan penutup. Hal ini memberi nuansa
yang berbeda kepada Injil Yohanes dibandingkan dengan ketiga Injil sinoptik
lainnya. Untuk memahami Injil Yohanes sebagai sebuah narasi, perlu
memperhatikan hal-hal yang menjadi unsur cerita dan unsur penuturan di bawah ini.
1.
Peristiwa-peristiwa
dalam Injil Yohanes
Yohanes
memulai ceritanya tentang Yesus dengan “pada mulanya” (Pasal 1:1-2). Sepertinya
narator Injil ini mengundang kita memahami rahasia yang melampaui waktu dimana
Kitab Kejadian menulis hal yang sama “pada mulanya.”[4]
Bagian ini kemudian dilanjutkan dengan tampilnya Yohanes Pembaptis (Pasal
1:19-28), sebagai orang yang mempersiapkan umat bagi kedatangan Kristus yang
masih tersembunyi. Yohanes Pembaptis ini hanya sebentar mucul pada kisah dalam
Injil Yohanes dan kemudian ia “keluar” dari adegan ini, digantikan dengan
keberadaan Yesus.
Peristiwa berikutnya adalah tanda-tanda dan ucapan
yang disampaikan oleh Yesus. Tanda pertama terjadi dalam pesta perjamuan kawin
(Pasal 2:1-11) yang diuraikan dengan ringkas.[5]
Peristiwa berikutnya adalah penyucian Bait Allah (Pasal 2:12-25). Kisah ini
adalah tindakan pertama Yesus, yang dilakukan di depan banyak orang.[6]
Kisah pertemuan Yesus dengan Nikodemus (Pasal 3:1-20), tokoh agama yang terpelajar menjadi peristiwa
berikutnya. Setelah itu ada kisah kesaksian Yohanes Pembaptis yang lebih cocok
sebagai sisipan (Pasal 3:22-35). Kemudian dilanjutkan dengan kisah percakapan
Yesus dengan perempuan Samaria (Pasal 4:1-42) dan kisah iman seorang pegawai
istana (Pasal 4:46-54) dimana anaknya disembuhkan oleh Yesus. Setelah itu
muncul peristiwa penyembuhan di kolam Betesda (Pasal 5:1-47).
Kisah berikutnya, Yesus memberi makan lima ribu
orang (Pasal 6:1-15).[7]
Dilanjutkan dengan peristiwa keberangkatan Yesus ke Yerusalem dan kemudian
berjumpa dengan tokoh yang menjadi lawan-lawannya (Pasal 7:1-24). Keberadaan
lawan-lawan Yesus ini tampak jelas dalam peristiwa pembelaan Yesus kepada
perempuan yang dituduh berzinah (Pasal 8:1-10) dan kepada orang yang buta sejak
lahirnya (Pasal 9:1-41). Yesus juga menjadi bagian penting dalam peristiwa
kebangkitan Lazarus (Pasal 11:1-44). Kisah selanjutnya, pengurapan Yesus di
Betania dipahami sebagai persiapan untuk kematian Yesus (Pasal 12:1-8).
Selanjutnya, peristiwa pembasuhan kaki murid-murid oleh Yesus dan sekaligus
kisah pengkhianatan Yudas (Pasal 13-17). Peristiwa berikutnya adalah
penangkapan, pengadilan, kematian dan penguburan Yesus (Pasal 18-19). Kemudian
kisah para perempuan yang menemukan kubur yang kosong (Pasal 20) dan penampakan
Yesus beberapa kali setelah kematiannya yaitu peristiwa penangkapan ikan di
Danau Tiberias dan pemulihan Petrus (Pasal 21).
2.
Tokoh-tokoh
dan sudut pandangnya dalam Injil Yohanes
Tokoh
yang paling sentral dalam Injil ini tentu saja adalah Yesus. Dialah pribadi,
karakter, subyek atau pelaku yang melakukan kegiatan yang merubah situasi dalam
Injil Yohanes. Ia muncul dalam setiap adegan karena Ia memang aktor utama dari
hampir seluruh cerita. Namun terkadang, narator tidak terlalu mempedulikan alur
dan isi cerita, tetapi lebih berfokus kepada aktor utama yang melakukan sebuah
tindakan. Narator seakan ingin membawa pembaca kepada pengenalan terhadap Yesus
yang adalah manusia yang benar-benar Putera Allah yang mampu melakukan hal-hal
yang luar biasa (misalnya dalam kebangkitan Lazarus pada pasal 11), karena Ia memang
berbeda dengan manusia yang lain. Inilah sudut pandang yang ingin disampaikan
narator kepada pembaca. Namun, Yesus juga muncul sebagai obyek dari suatu
peristiwa walaupun dalam hal ini, Ia tetap adalah aktor utama. Hal ini dapat
kita lihat dalam peristiwa penangkapan dan penyaliban (Pasal 18-19). Subjek
adalah para serdadu dan orang-orang Yahudi, sementara Yesus adalah objek
penderita dari kejadian tersebut.
Selain
itu, murid-murid Yesus juga sering tampil sebagai tokoh yang berinteraksi
dengan Yesus ataupun dengan orang banyak. Murid-murid biasanya diceritakan
selalu ada bersama dengan Yesus (Pasal 12), kecuali menjelang penangkapan dan
setelah penyaliban (Pasal 18-19). Tokoh-tokoh lain yang muncul sebagai objek
pelayanan Yesus antara lain Nathanael, Nikodemus, orang Samaria, pegawai
istana, orang lumpuh di kolam Betesda, perempuan yang berzinah, orang buta yang
sejak lahir, Lazarus dan lain-lain. Sementara kelompok yang sering muncul
adalah orang banyak, misalnya saat memberi makan lima ribu orang dan orang
banyak yang selalu mengikuti Yesus. Kelompok lain yang selalu diceritakan
sebagai lawan Yesus adalah orang Yahudi.
Jika
dicermati, Yesus akan selalu muncul sebagai tokoh yang baik dan supranatural,
tanpa mengabaikan kemanusiaanNya (Misalnya dalam pasal 6). Artinya, Yesus
digambarkan sebagai seorang pribadi yang tidak diragukan kemanusiaanNya, namun
kemampuanNya melakukan banyak tanda dan mujijat tidak meragukan
KemahakuasaanNya juga (Pasal 6:16-20). Ia tampil sebagai pribadi yang simpatik
dan dicari-cari banyak orang (Pasal 6:22-24), sekedar untuk mendengarkan Dia
berbicara atau berkotbah ataupun karena ingin disembuhkan olehNya (Pasal
4:46-54). Pembaca diajak untuk setuju dengan sudut pandang narator bahwa Yesus
adalah sosok yang Maha Kuasa dan Maha Tahu (Pasal 6). Sedangkan orang Farisi
sebagai lawan Yesus selalu digambarkan sebagai komunitas yang munafik dan ingin
membunuh Yesus sejak awal kemunculanNya (Pasal 2:18; Pasal 7:25; Pasal 10:39).
Sampai pada akhirnya komunitas Farisi ini berhasil membawa Yesus ke pengadilan
dan menerima hukuman mati di kayu salib (Pasal 18-19). Sedangkan murid-murid
dan orang banyak selalu digambarkan ada di pihak Yesus namun selalu tidak
mengerti akan banyak hal yang disampaikan Yesus.
3.
Latar
Waktu dalam Injil Yohanes
Latar
waktu yang paling menonjol adalah penyebutan hari-hari raya Yahudi. Ada hari
raya yang tidak disebutkan namanya (Pasal 5:1), hari raya Pondok Daun (Pasal
7:2), hari raya pentahbisan Bait Allah.[8]
Perayaan yang paling mencolok adalah hari raya Paskah, dimana disebut ada 3
hari raya Paskah yang berbeda (Pasal 2:13; 6:4 ; 11:55). Sebanyak lima kali
disebut tentang hari Paskah setelah pasal 11. Hal ini menjelaskan bahwa latar
waktu Injil Yohanes berpusat pada
hari Paskah. Perayaan Paskah yang yang
ditulis oleh narator, ternyata selalu ada hubungan dengan kematian Yesus.
Bahkan hari raya sebelumnyapun sudah kena-mengena dengan kematian Yesus walaupun
itu hanya tersirat (Pasal 2:13-25). Latar waktu yang berpusat pada perayaan
Yahudi menunjukkan identitas Yesus sebagai orang Yahudi oleh narator.
4.
Latar
Tempat dalam Injil Yohanes
Latar
tempat Injil Yohanes berpusat di Yerusalem. Sebagian besar cerita terjadi di Yerusalem.[9]
Hal ini membedakan Yohanes dengan Injil sinoptik lain yang menceritakan fakta
bahwa Yesus sering atau banyak berjalan dari Galilea ke Yerusalem
“pulang-pergi”. Dalam Injil Yohanes, pertama sekali diceritakan bahwa Ia
berangkat ke Galilea (Pasal 1:43) dan Dia kembali berada di Yerusalem (Pasal
2:13). Kemudian diceritakan bahwa Ia melewati Samaria, ketika meninggalkan
Yudea menuju Galilea (Pasal 4:1-3) tetapi sudah ada di Yudea lagi (Pasal 5:1).
Kemudian Dia sudah ada di Galilea lagi (Pasal 6). Yesus pergi ke Yerusalem
karena perayaan Pondok Daun, setelah itu Ia tetap di Yudea. Yesus hampir selalu
berada di Yerusalem. Latar tempat Yerusalem adalah pusat kehidupan agama
Yahudi. Di Yerusalemlah Yesus menyatakan perselisihan-perselisihan tentang
identitasNya terhadap lawan-lawanNya (Pasal 10:22-39; Pasal 11:45-54),
perpisahan dengan murid-muridNya (Pasal 13-17), di sana jugalah terjadi
kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadapNya (Misalnya pasal 9).
5.
Latar
Sosial dalam Injil Yohanes
Narasi
Injil Yohanes terjadi pada panggung kehidupan Yahudi yang telah dipengaruhi
budaya Hellenis dan dipengaruhi
pemikiran gnostik.[10]
Dari bagian awal prolog saja (Pasal 1:1-18), dapat diketahui bahwa terminologi Logos yang dipakai narator pasti mengacu
kepada pembaca yang paham dengan kata tersebut. Kata Logos muncul dari budaya Yunani paganis di daerah Mediterania kuno.
Injil Yohanes muncul untuk menentang gnostik yang mengatakan bahwa keselamatan
terjadi melalui pengetahuan terutama pengetahuan tentang sesuatu yang surgawi,
jauh dan transenden sehingga tidak mungkin materi. Tentu saja Yesus tidak akan
pernah diakui sebagai manusia utuh dengan pemikiran gnostik yang sedemikian.
Maka formula Logos yang menjadi
daging adalah gagasan cemerlang Yohanes untuk melawan gnostik (Pasal 1:14).
Dengan formula baru tersebut, berarti Yesus adalah Logos (Firman) yang
benar-benar telah menjadi manusia (Pasal 1:13-14).
6.
Alur
(Plot) Injil Yohanes
Dalam
Injil Yohanes, pengembangan plot atau alur tidak begitu baik, karena narator
hanya berfokus pada tindakan aktor utama. Sehingga sulit membaca Injil Yohanes
dari segi logika.[11]
Misalnya, urutan pasal 4, 5 dan 6, sangat sulit diterima dari kacamata
geografi. Dikatakan bahwa pada pasal 5,
Yesus berangkat ke Yerusalem. Pasal 6, Yesus berangkat ke Galilea. Sementara di
bagian akhir pasal 4, Yesus kembali ke Galilea. Dengan alur ini, kesannya Yesus
“mondar-madir” antara Yerusalem dan Galilea. Jauh lebih baik jika pasal 6
mendahului pasal 5, karena di akhir pasal 4 Yesus sudah berada di Galilea,
sehingga bisa langsung dekat ke danau Galilea. Akibatnya, pasal 6:1 adalah permulaan yang aneh.
Keanehan
lain kita temukan dalam pasal 7. Dalam ayat 32 disebutkan penjaga-penjaga
disuruh menangkap Yesus. Kejadian itu berlangsung di Bait Allah waktu perayaan
pesta pondok daun. Penjaga-jaga disuruh menangkap Yesus pada pertengahan pesta
tersebut. Dalam pasal 7:45, penjaga-jaga kembali dengan tangan kosong karena
tidak mampu menangkapNya. Bagian yang aneh adalah, mereka kembali pada hari
yang terakhir dari pesta pondok daun itu, yaitu pada hari ke-7 (ayat 37),
kira-kira tiga hari sesudah ada perintah untuk menangkap Yesus di Bait Allah.
Ini tentu tidak masuk akal dari segi waktunya. Sulit diterima logika, para
serdadu diperintahkan untuk menangkap Yesus pada hari ketiga dan baru
melaporkan kegagalan tersebut di hari ketujuh.
Dari
segi seni bercerita, hal tersebut mungkin memiliki arti tersendiri bagi
narator, tetapi pada akhirnya tidak ada perkembangan dalam alur yang lengkap.
Bagi narator, mungkin alur bercerita tidak terlalu penting, sehingga ia
melewatkan hal tersebut. Yang ingin ditonjolkan hanya tokohnya saja dan sedikit
mengabaikan unsur alur dalam narasi. Sebagai akibatnya, alurnya menjadi rancu.
Memang, narator mengakui bahwa ia tidak mampu menyampaikan sebuah cerita yang
lengkap melainkan hanya membuat seleksi yang representatif dari banyak kisah
tentang Yesus dengan tujuan tertentu, yaitu supaya pembaca percaya kepada Yesus
yang adalah Mesias (Pasal 20:30-31).
Kenyataan
penyeleksian tersebut dapat dilihat juga dalam beberapa bagian (Pasal 2:23-24
dan Pasal 3:2) dimana disebut “banyak tanda” tetapi hanya satu tanda yang
diceritakan yaitu air menjadi anggur di Kana (Pasal 2:1-11). Dalam bagian lain
(Pasal 5:16) dikatakan juga bahwa Yesus melakukan hal-hal di hari Sabat, tetapi
ternyata cuma satu hal yang terjadi yaitu penyembuhan yang terjadi pada hari
Sabat. Banyak adegan-adegan yang penuh arti, namun hubungan setiap adegan dari
segi urutan waktu, sering kali tidak jelas atau rancu. Harus diakui bahwa alur
dalam Injil Yohanes bukanlah urutan yang kronologis namun perkembangan dari
tema yaitu tema-tema yang berisi pertentangan antara percaya dan tidak percaya
sebagai reaksi atas penyataan tentang identitas dan kemuliaan Yesus.[12]
Alur berjalan dari identitas Yesus yang mulai dikenal dan diterima atau tidak
dikenal dan tidak diterima. Dalam setiap perikop kita akan menemukan konflik
antara kepercayaan dan ketidakpercayaan kepada Yesus. Inilah tema besar Injil
Yohanes sehingga kita akan menemukan tema ini sering berulang dalam variasi
yang berbeda (Pasal 1:10-11; Pasal 4:53; Pasal 5:41-47; Pasal 6:66; Pasal
7:30-31).
7.
Gaya
Penuturan dalam Injil Yohanes
Ada tiga gaya penuturan yang dominan dalam Injil
Yohanes yaitu, kesalahpahaman, ironi dan simbolik. Kesalahpahaman dalam Injil
Yohanes, akan sering ditemukan pada saat para lawan atau bahkan para murid
Yesus mengajukan pertanyaaan-pertanyaan atas ketidakmengertian mereka.[13]
Seakan-akan antara pengetahuan Yesus dan pihak lain, berbeda sangat jauh atau
levelnya tidak sama. Orang-orang akan selalu memahami duniawi dan Yesus
berbicara dalam arti rohani atau dalam arti yang lebih dalam. Misalnya
percakapan dengan Nikodemus, Yesus memaknai “lahir kembali” dalam makna rohani
sedangkan Nikodemus memaknainya duniawi (Pasal 3). Gejala kesalahpahaman
seperti ini mempunyai arti teologis yang penting. Dalam percakapan dengan
Nikodemus, tidak mungkin mengenal Yesus kalau tidak dilahirkan kembali.
Artinya, kalau matanya tidak dibuka oleh Allah, tidak akan mengenal Allah dan
tidak beroleh hidup kekal dan semua orang membutuhkan hal ini. Tanpa mata baru,
orang-orang tidak akan bisa melihat dan mengenal Yesus. Kebenaran tema seperti
ini akan ditemukan dalam beberapa cerita yang bervariasi. Dengan memperlihatkan
kesalahpahaman ini, sepertinya diharapkan akan mendorong si pembaca untuk
mengerti lebih baik, daripada tokoh yang diceritakan narator dalam cerita
tersebut.
Ironi dapat ditemukan ketika para lawan Yesus
mengatakan hal-hal yang ironis dan sarkastis.[14]
Misalnya dengan mencemooh Yesus, hinaan dan ejekan yang pada akhirnya semua itu
adalah kebenaran tentang Yesus yang lebih mendalam. Seluruh cerita tentang
penderitaan dan kesengsaraan Yesus adalah ironi tetapi dalam arti yang lebih
mendalam, yaitu Yesus sendiri yang memberikan nyawanya untuk kehidupan dunia
ini (Pasal 2:19-22). Contoh lain saat Yesus mengatakan bahwa Dia akan pergi dan
orang-orang tidak akan berhasil menemukanNya. Reaksi orang banyak adalah
membayangkan bahwa Yesus akan berangkat jauh ke perantauan dan akan mengajar
orang Yunani padahal Yesus sedang membicarakan kematianNya (Pasal 14).
Banyak istilah dalam Injil Yohanes yang merupakan
simbol dari sesuatu. Istilah paling populer adalah roti (Pasal 6:25-59), air
(Pasal 4:1-42) dan terang (Pasal 8:12-20).[15]
Simbol-simbol inilah yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari bahkan yang
bersangkut-paut dengan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Yesus memberikan
roti dimana diriNya sendirilah yang dimaksud ketika Ia berkata “Akulah roti
hidup” (Pasal 6:35). Dengan cara yang sama, simbol terang dan gelap ((Pasal
8:12-13) menunjukkan kenyataan yang mendalam. Tujuan narator menggunakan
simbol-simbol sederhana yang berkaitan dengan hidup sehari-hari adalah agar
para pembaca mengetahui makna yang lebih dalam dari setiap kata simbol
tersebut.
8.
Narator
(Pengarang Tersirat)
Dalam Injil ini hanya ada satu narator yaitu si
pencerita yang kita temukan dalam narasi ini yang membimbing kita masuk dalam
cerita.[16]
Dialah yang menunjukkan siapa yang benar dan yang saleh. Dia memperkenalkan
tokoh utama dengan suatu prolog (Pasal 1:1-8). Ia memulai dengan dialog-dialog
bahkan menjelaskan apa yang dipikirkan oleh para tokoh. Injil ini tidak
langsung memuat cerita sederhana yang langsung dicetuskan sebagai cerita, namun
merupakan cerita yang menunjukkan interpretasi yang menyeluruh (Pasal 4; Pasal
6; Pasal 8:12-59; Pasal 10:1-21; Pasal 14). Ceritanya seakan-akan
bertingkat-tingkat karena sering diulang-ulang. Peran narator sangat penting
dalam Injil ini. Narator dalam Injil Yohanes adalah seorang yang maha tahu.[17]
Dalam cerita, ia selalu tahu apa yang akan terjadi dan apa artinya. (Pasal
1:11; Pasal 6:64; Pasal 13:1). Ia bisa tahu apa yang ada di benak orang lain (Pasal
13:2) termasuk tahu apa yang dipikirkan Yesus (Pasal 2:24-25; Pasal 6:6,15). Ia
tahu banyak tentang Yesus sebanyak Yesus tahu tentang diriNya. Ia juga
menggambarkan Yesus sebagai pribadi yang maha tahu juga.
9.
Pembaca
Tersirat
Dalam
Injil Yohanes, pembaca mengetahui lebih banyak hal daripada para tokoh yang
berperan dalam cerita Yohanes.[18]
Jika Yesus digambarkan maha tahu, narator maha tahu, maka pembacanyapun harus
maha tahu pula. Menjadi demikian karena kepada para pembaca telah dijelaskan
semua hal yang dipikirkan oleh Yesus dan narator. Sesungguhnya pembaca sudah
bisa menebak dalam prolog tentang asal-usul Yesus, bahwa Ia adalah Logos (Firman) Allah yang datang ke
dalam dunia manusia. Kedatangan ini jugalah yang menimbulkan konflik dan dua
reaksi yang muncul yaitu percaya dan tidak percaya. Semuanya telah diceritakan
kepada pembaca di bagian pendahuluan sebelum semuanya dijelaskan dalam cerita
berikutnya. Oleh karena itu, bisa dijelaskan bahwa para pembaca telah diberi
kunci untuk perjalanan cerita selanjutnya.
Dalam
cerita berikutnya, walaupun sudah tahu kuncinya, pembaca harus mencari tahu
lebih lanjut, karena maksud dan tujuan cerita tidak selalu disampaikan narator
dengan gamblang. Informasi yang tidak jelas pada pasal-pasal yang ada,
mendorong pembaca agar tidak berhenti mencari lebih dalam, tentang rahasia identitas
dan kemuliaan Yesus. Pencarian makna yang lebih dalam oleh pembaca pada
akhirnya bertujuan supaya percaya kepada Yesus (Pasal 20:30-31).
B. Narasi Perjamuan Malam Terakhir (Yohanes 13-17)
Injil
Yohanes dibagi dalam 4 bagian besar.[19]
Pertama, bagian Prolog pada pasal 1 : 1- 18. Bagian kedua disebut sebagai Kitab
Tanda pada pasal 2:1-12:50. Kitab Tanda ini terbagi dalam beberapa episode.[20]
Bagian Ketiga, dinamakan Kitab Kemuliaan terdapat dalam pasal 13:1 – 20:31.
Bagian Keempat, Epilog terdapat dalam pasal 21:1–25. Dalam susunan Injil
Yohanes, pasal 13-17, masuk dalam kitab kemuliaan oleh para penafsir.[21]
Pasal
2-12, dikelompokkan dalam kitab tanda, dimana Allah, melalui Yesus melakukan
banyak tanda mujijat. Dengan demikian, kemuliaan Allah diwakilkan oleh manusia
yang hidup diantara manusia lain yaitu Yesus sendiri. Bagian ini diakhiri oleh
cerita pengurapan Yesus di Betania, yang merupakan simbol akan kematianNya
(Pasal 12:7). Fokus cerita pada pasal 2-12, ada pada tanda-tanda mujijat yang dilakukan Allah oleh
Yesus. Namun pada pasal 13, fokus cerita bergeser pada pribadi Yesus sendiri.[22]
Setelah
Maria mengurapi Yesus dengan minyak Narwastu sebagai tanda kematianNya (Pasal
12:1-8), Yesus juga memberitakan kematianNya dalam pasal yang sama (Pasal
12:20-36), persis setelah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Pasal 12:12-19).
Dari alur ini, jelas terlihat bahwa peringatan atau pertanda akan kematianNya,
disampaikan berkali-kali. Narator ingin mengatakan bahwa kematianNya adalah
sesuatu yang sangat penting dan sentral, sehingga banyak peristiwa yang menjadi
pertanda akan kematian tersebut, walaupun belum terjadi.
Pasal 13
adalah cerita dimana Yesus, hanya bersama-sama dengan murid-murid, dalam
perayaan paskah di Yerusalem. Sebelum perayaan paskah dimulai, Yesus sudah tahu
bahwa sebentar lagi Dia akan mati (Pasal 13:1). Diceritakan bahwa mereka sedang
makan bersama (Pasal 13:3). Dalam cerita ini, tidak jelas seperti apa proses
makan bersama tersebut (Pasal 13:2). Namun melihat dari gaya makan malam
bersama tersebut, yang dilanjutkan dengan kata-kata perpisahan, Witherington
mengatakan ini seperti acara makan malam Greko-Romawi pada abad pertama :
The normal Greco-Roman banquet in the first century A.D involved a
meal and a symposium (teaching, dialogue, or entertainment period following the
meal but during the dringking party). The symposium in pasticular tended to be
an-all male affair, any women who had been present at the meal politely
excusing themselves before the symposium. In a Jewish setting this was all the
more likely to be the case. The meal depicted in John 13 is definitely a meal
in the Greco-Roman style, as is shown by the remark in John 13:23. Jesus
provides discourses, with some dialogue, after the meal, as was common for sage
or a Sophist to do at a Greco-Roman banquet. [23]
Informasi Witherington ini
menunjukkan bahwa Yesus memilih makan malam gaya Greko-Romawi dalam acara
perpisahan dengan murid-muridNya. Jika berpedoman pada Witherington, maka
narator sekaligus ingin menunjukkan latar sosial pada saat itu, yang telah
banyak dipengaruhi oleh tradisi Greko-Romawi. Selanjutnya, bagian ini
mengatakan bahwa Yesus sangat mengasihi murid-muridNya dengan menyelengarakan
makan malam tersebut (Pasal13:1). Selain itu, disisipkan juga nama Yudas
Iskariot sebagai murid yang berkhianat (Pasal 13:2). Bagian berikutnya adalah
adegan yang terjadi dalam acara makan bersama tersebut yang dipaparkan lebih
luas oleh narator. Penulis mengelompokkannya dalam 3 adegan berikut.
Adegan
1 : Pembasuhan kaki
Pada
acara makan malam tersebut, Yesus berdiri dan menanggalkan jubahNya. Kemudian
Ia mengambil kain lenan dan mengikatkan pada pinggangNya (Pasal 13:4). Setelah
itu Yesus mengambil basi (tempat air) mengisinya dengan air dan mulai membasuh
kaki murid-muridNya (Pasal 13:5) dan mengeringkannya. Acara pembasuhan kaki ini
adalah bagian pembuka dari acara makan malam tersebut seperti yang dituliskan
Witherington :
The
act of foot washing by Jesus depicts him as the host of this banquet, who quite
extraordinary is assuming the role the host’s slave or other family members
would normally perform for the guest in Israel. The act is potrayed as a
typical Johannine sign act, but the point is that it was a regular part of
hospitality at the Jewish celebration of a banquet in the Greco-Roman style.
Here the opening act, coupled with the closing prayer in part serves the
purpose of creating unity among the inner circle of the disciples, especially
in view of the coming betrayal, denial and general desertion of Jesus.[24]
Ketika Yesus mulai
membasuh kaki murid-muridNya, narator tidak menuliskan bagaimana respon dari
murid-murid ketika Yesus mulai membasuh kaki mereka. Dari penjelasan
Witherington di atas, tidak wajar jika Yesus membasuh kaki murid-muridNya.
Karena biasanya, membasuh kaki adalah tugas seorang hamba. Chennattu
membenarkan pendapat ini :
The
footwashing is a symbolic action. It has been traditionally accepted that it
symbolizes in a dramatic way the humble service of Jesus, which the deciples
are to imitate. The narrator portrays action by vividly describing his moves
step by step : Jesus gets up from the table, takes off his outer garment, ties
a towel around himself, pours water into basin, washes the feet of his
deciples, and wipes them with a towel (v. 4-5). According to Jewish tradition,
actions such as taking off the outer garment and tying a towel around oneself
would evoke the image of a slave.[25]
Menurut pendapat
Chennattu, dalam tradisi Jahudi, Yesus sudah bertindak seperti hamba (budak). Acara
perpisahan ini menjadi dramatis dengan pembasuhan kaki ini. Belum pernah
seorang guru membasuh kaki muridnya. Oleh karena itulah Petrus menolak ketika
Yesus ingin membasuh kakinya (Pasal 13:6-8). Kita melihat ada dialog antara
Yesus dan Petrus (Pasal 13:6-9). Petrus wajar terkejut dengan tindakan Yesus
dalam bagian ini (Pasal 13:6).
Petrus
menolak untuk dibasuh kakinya oleh Yesus karena status Petrus sebagai murid
lebih rendah. Seharusnya murid yang membasuh kaki gurunya, bukan sebaliknya
(Pasal 13:8). NamunYesus mengatakan kepada Petrus bahwa apa yang dilakukan
Yesus tidak akan dimengerti sekarang, namun kelak (Pasal 13:7). Apa yang
dilakukan Yesus terhadap murid-murid adalah sesuatu yang tidak biasa dan tidak
bisa dimengerti. Namun, dalam cerita ini, murid-murid tidak banyak bertanya dan
tidak berani memberi respon kecuali Petrus. Narator sejenak membawa kita
berfokus kepada pribadi Petrus yang selalu berani dan responsif seperti
terlihat dalam dialog ini.
Setelah
berdialog, akhirnya Petrus bersedia dibasuh kakinya oleh Yesus, bahkan dia
meminta jangan hanya kakinya saja yang dibasuh, tetapi juga tangan dan
kepalanya. Petrus meminta hal itu ketika Yesus memberitahukan tujuan dari
pembasuhan tersebut adalah simbol mendapat bagian dalam Yesus (Pasal 13:9).
Pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus adalah tanda pembersihan (Pasal 13:10-11).
Setelah semua murid dibasuh oleh Yesus, Dia mulai menjelaskan makna dari
pembasuhan tersebut. Ternyata, Yesus sedang mengajarkan teladan kepada
murid-muridNya, agar bersedia saling membasuh kaki juga (Pasal 13:15). Yesus
memberikan teladan yang pasti tidak akan terlupakan oleh para murid (Pasal
13:16-17).
Ada
beberapa makna dari tindakan ini, pertama adalah praktek dari sebuah relasi
yang terbangun diantara murid, seperti pendapat Witherington :
The
symbolic action of foot washing by Jesus in this passage was meant to have a
practical consequence for the relationship that existed between his deciples.
His command for them to wash each other’s feet was an attempt to lead them to
act in such a way that social divisions, pride and other all-too- human factors
would not stand in the way of the unity of the fellowship. Symbolic action and
role playing can break down the barriers between people. Jesus knew this and so
he encouraged his disciples to follow his example.[26]
Jika sesama murid
saling membasuh kaki, hal itu berarti menghilangkan batas-batas antara yang
satu dengan yang lain. Yang tercipta adalah relasi yang sangat terbuka diantara
sesama murid. Makna kedua adalah, sebuah contoh kehambaan seorang Guru. Guru
macam apakah Yesus? Maka jawabannya adalah pada tindakanNya. Guru yang terbuka,
rendah hati dan mengasihi. Membasuh kaki adalah tindakan kasih yang melayani
yang selanjutnya akan dilakukan para murid di kemudian hari. Menjadi murid
berarti bersedia menjadi hamba. Jika Guru mereka saja melakukan tindakan
tersebut, terlebih mereka sebagai murid. Mereka harus menjadi murid yang
mengasihi dengan melayani orang lain. Hal ini senada dengan pendapat Chennattu
:
We
must interpret Jesus washing the feet of his deciples against the background of
verses 1-3. The literary setting suggest that the footwashing in itself should
be viewed as both Jesus’ perfect love and his love to the end. In Johannine
Christology, it is important to understand the footwashing as an act of
intimate love and communion. The footwashing of Jesus could be symbolic act of
love that promotes and fosters communion and thus has significant
ecclesiological implications.[27]
Dari kutipan di atas
jelas bahwa, pembasuhan kaki adalah tanda kedalaman dan kesempurnaan kasih
Yesus. Dengan demikian Ia mendorong murid melakukan kasih sempurna dalam
persekutuan mereka. Makna ketiga,
tindakan ini juga menjadi simbol yang kuat akan kematian dan kebangkitan Yesus
seperti pendapat Chennattu mengatakan :
…then
the footwashing foreshadows and symbolizes the redemptive death of Jesus and it
is not merely an “example” or a “representative” a humble service. The Fourth
Evangelist will not portray Jesus ‘death as a moment of suffering and
humiliation but as the hour of his passing over to the father and the moment of
consummate act of loving self-gift.[28]
Penulis sependapat
dengan Chennattu, benar bahwa penderitaan Yesus di kayu salib bukanlah
penderitaan yang memalukan, tetapi itu adalah saat dimana Yesus kembali kepada
Bapa dan memberikan diriNya mati sebagai tanda Kasih.
Bersamaan
dengan kisah ini, diceritakan juga bahwa Yudas Iskariot berkhianat kepada
Gurunya (Pasal 13:21-30). Yesus mengatakan dalam acara makan malam tersebut
bahwa salah satu muridNya akan menyerahkanNya. Namun tidak satu orang pun yang
tahu siapa murid tersebut (Pasal13: 22). Yesus mengatakan bahwa murid yang
menerima roti yang dicelupkan, maka dialah orangnya (Pasal 13:26). Yesus
mencelupkan roti dan memberikannya kepada Yudas, namun sampai pada saat itupun,
murid-murid belum juga paham, bahwa Yudaslah yang dimaksud Yesus sebagai orang
yang berkhianat (Pasal 13:28). Sampai akhirnya Yudas pergi, tidak satu orang
pun yang tahu tentang hal itu. Ini adalah gaya penuturan yang sangat umum kita
temui dalam Injil Yohanes, narator menunjukkan kesalahpahaman antara Yesus dan
murid-murid. Dimana Yesus sudah mengatakannya namun murid-murid tidak mengerti
sama sekali.
Dalam
bagian ini, kita melihat dengan jelas bahwa narator selalu menggambarkan Yesus
sebagai pribadi yang maha Tahu. Yesus tahu saatNya sudah dekat (Pasal 13:1), Ia
tahu tentang rencana penghianatan dalam hati Yudas (Pasal 13:3), Ia tahu siapa
yang akan menyerahkanNya (Pasal 13:11). Dalam bagian ini, hanya Yesus yang digambarkan
aktif, sementara murid-murid hanya diam dan pasif, kecuali Petrus. Ini
menunjukkan usaha narator menggambarkan pribadi Yesus yang sangat mengasihi dan
karena kasihNya, Dia rela melakukan kehambaan. Narator mengajak kita, pembaca
untuk mengambil posisi sebagai murid, bahwa kita juga harus melakukan kehambaan
itu, supaya kita berbahagia (Pasal 13:17), karena itulah pesan dari bagian ini.
Adegan
2 : Kata-kata Perpisahan
Setelah
adegan pembasuhan kaki berakhir dan Yudas pergi (Pasal 13:31), adegan
berikutnya adalah penyampaikan wejangan, pesan, nasehat dan kata-kata
perpisahan. Ada begitu banyak tema yang disampaikan Yesus dalam wejangan
perpisahanNya. Jika dicermati, dari kepergian Yudas (Pasal 13:30) sampai dengan
pasal 16, Yesus menyampaikan begitu banyak hal dan beberapa diantaranya sering
diulang-ulang. Yesus memulai wejanganNya dengan perintah baru yaitu supaya
murid saling mengasihi, sama seperti Yesus mengasihi mereka. Kasih menjadi
penanda, supaya orang lain mengenal murid Yesus (Pasal 13:34-35). Pesan serupa
diulang lagi dalam bagian berikutnya (Pasal 15:9-17). Pesan ini juga terdengar
lagi untuk yang ketiga kalinya dalam doa Yesus (Pasal 17:20-23). Bagian lain yang
diulang adalah pernyataan tentang tema doa “apapun juga yang kamu minta dalam
namaKu…” (Pasal 14:13). Tema yang sama muncul kedua kalinya (Pasal 15:7).
Kemudian untuk yang ketiga kalinya tema ini muncul lagi (Pasal16:23).
Setelah
perintah baru disampaikan, perkataan Yesus memperingatkan Petrus disisipkan
diantara wejangan-wejangan tersebut (Pasal 13:36-38). Narator ingin mengatakan
bahwa Yesus adalah pribadi yang Maha Tahu. Sebelum Petrus melakukan
penyangkalan tersebut, Yesus sudah tahu lebih dahulu tahu. Namun kali ini,
tidak ada jawaban dari Petrus. Narator mengajak kita hanya berfokus kepada
Yesus yang Maha Tahu dalam bagian ini, bukan Petrus. Wejangan berikutnya, Yesus
berkata, bahwa Ia pergi ke rumah Bapa untuk menyediakan tempat bagi murid-murid
(Pasal14:1-14). Dalam bagian awal Yesus mengatakan “ janganlah gelisah
hatimu…”. Bisa dibayangkan, bahwa murid-murid masih bingung ketika Yesus
mengatakan bahwa Ia akan pergi ke tempat dimana murid-murid tidak bisa lagi
mencariNya. (Pasal 13:33).
Pernyataan Yesus untuk
pergi jauh dan tak kembali, pasti menimbulkan ketakutan dan kegelisahan bagi
para murid (Pasal 13:33). Witherington membenarkan hal ini dan mengatakan :
…The
desciples are troubled by Jesus‘ talk of leaving them, and Jesus in this
discourse wishes to allay their fears and show that his leaving will in fact
work to their advantage. The meaning of the departure and its consequences for
the disciples can be designated a the overarching theme of the unit. [29]
Sependapat dengan
Witherington, pasti sulit bagi murid-murid kehilangan pemimpin karismatik
seperti Yesus. Maka, wejangan tentang rumah Bapa pasti akan sangat menghiburkan
para murid. Sepaham dengan Witherington,
Chennattu menambahkan :
The
major concern of the evangelist in chapter 14 is to encourage and console the
disciples who are troubled by his departure to the Father. Jesus reassures the
disciples who are bewildered and struggling to comprehend the departure and
destiny of Jesus by making many promises of his ongoing presence with them and
commanding them to believe in him, to love him and the Father and to keep his
commandments. The promises and commandments of Jesus to the disciples before
departure provide important insights into Johannine disciples.[30]
Kepergian Yesus
menimbulkan tanda tanya besar bagi murid, terlihat dari dialog antara Thomas,
Filippus dengan Yesus, tentang kepergian Yesus dan tempat yang dituju (Pasal
14:4-14). Thomas dan Filipus kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang
berisi ketidakpahaman mereka akan perkataan Yesus. Namun dalam penjelasanNya, Yesus
memunculkan formula relasiNya dengan Bapa yaitu, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di
dalam Aku” (Pasal 14:10) dan formula ini ditekankan berulang-ulang oleh
narator.
Untuk
semakin meneguhkan hati para murid, Yesus menjanjikan penghibur sebagai
penggantiNya kelak (Pasal 14:15-31), agar murid-murid tidak merasa seperti
yatim piatu. Roh penghibur yaitu Roh Kudus, adalah Roh yang diutus Bapa dalam
nama Yesus, untuk mengajarkan dan mengingatkan segala sesuatu yang telah diajarkan
Yesus kepada murid-murid (Pasal 14:26).
Dengan berfokus pada pasal 14:15-24, kita melihat bahwa wejangan ini,
kembali disajikan dalam formula kesatuan Bapa didalam Yesus dan Yesus dalam
Bapa. Menurut Beutler, ternyata ide formula ini sudah ada ada pada kitab
Ulangan :
In
the central section of John 14, verses 15-24, one notes the influences of
covenant and Trinitarian theologies. The notions of loving God and keeping his
commandments are the key elements of the Deutronomy theology of covenant union
with God. In Johannine thought, the love of God shows itself in the love of
Christ, which in turn becomes concrete in love among fellow Christians. It is
clear that John 14, has been heavily influenced by a variety of motifs from the
Hebrew Bible.[31]
Dari kutipan Beutler di
atas, adapun kunci dari mengasihi Allah dalam tradisi Ibrani adalah “melakukan
perintahNya” dan itulah yang disampaikan Yesus dalam bagian ini. Narator ingin
menunjukkan bahwa Yesus menyampaikan hal yang sudah dikenal oleh tradisi Yahudi.
Dalam
paparan berikutnya, Yesus memakai analogi pokok anggur, dimana kembali kita
melihat formula relasi Bapa-Anak dan Anak-Murid dalam analogi ini (Pasal
15:1-8), namun lebih berfokus pada Anak-Murid. Eratnya relasi antara Yesus dan
murid adalah seperti pokok anggur dengan rantingnya (Pasal 15:5). Pada bagian
ini, narator mengajak kita berfokus pada Yesus dengan pengucapan “Akulah..”
yang diucapkan berkali-kali dalam menunjukkan relasiNya dengan murid.[32]
Pemilihan analogi pokok Anggur akan membawa kita pada bayangan batang pokok
Anggur dan ranting-rantingnya. Witheringtong berpendapat demikian :
The
vine was one of the most prized of all ancient plants in Israel because it
provided something to drink for a relatively low cost in manual labor in a land
where water came and went because of the rainy seasons alternating with the
long, hot summers when there would not be any rain. Thus here the vine stands
as a symbol for an especially prized and fruitful source of nourishment and
strength. Incorpoation into, and then abiding in, the Christ as the vine
provides the believer with the means not only to love one’s fellow believers
but also to bear fruit in one’s witness to the world. Abiding in Christ is not
simply an end in itself, nor just a means of maintaining unity in community, it
is also the necessary prerequisite to effective evangelism in a hostile world.[33]
Setuju dengan pendapat
Witherington di atas, pokok anggur yang berdiri kokoh adalah simbol kesuburan
dan kekuatan. Keberadaan murid-murid yang bergantung pada Yesus sebagai pokok
anggur (Pasal 15:5-6), menggambarkan bahwa dengan tinggal dalam pokok anggur
tersebut, murid tidak hanya mampu mengasihi murid yang lain tetapi
bersama-sama, mampu menghasilkan buah sebagai kesaksian bagi dunia. Senada
dengan Witherington, Chennattu menguraikan :
…The
organic oneness of the branches with the vine and with one another communicates
so powerfully the mutual indwelling of Jesus and his disciples. Jesus together
with his disciples now stands for the new Israel, the faithful and fruitful
vine of God. The image of vine and the branches is essentially a symbol of the
community of the disciples in covenant relationship with Jesus. One can not
ignore the binding intimate relationship implied here and separated the fruitful
branches from the true vine. Just as there can be no branches without vine. One
can not talk about the vine and its fruitfulness without its branches. The
mutual and binding covenant relationship between Jesus and disciples is
underlined. The community of disciples designated in the metaphor as the
fruitful branches abiding in Jesus, the true vine, becomes the new vineyard of
Yahweh.[34]
Dari dua uraian ahli di
atas, jelas terlihat bahwa ada relasi yang saling membutuhkan antara pokok
anggur dan ranting. Ranting tidak dapat
berdiri sendiri tanpa batang atau pokok. Dan buah anggur pasti berada pada
ranting dan cabang, bukan pada batangnya. Jadi relasi antara Yesus dan murid
sangat dekat dan saling membutuhkan. Ini berarti Persekutuan murid yang tinggal
di dalam Yesus akan menjadi kebun anggur yang berbuah lebat bagi Allah. Tinggal
dalam Yesus berarti melakukan firmanNya (Pasal 15:7). Dengan demikian, Yesus
membutuhkan kesaksian murid-murid, agar dunia percaya kepada Yesus.
Bagian
berikutnya adalah pengulangan perintah supaya saling mengasihi (Pasal 15:9-17).
Narator sering mengulang-ulang pesan ini, karena sangat penting. Chennattu
berpendapat :
..
The final disciples discourses of Jesus focus on the heart of the covenant
commandments: to abide in Jesus and his love and to love one another as Jesus
has loved. Jesus permanent intimacy with God transforms his disciples and
empowers them with the gift of a parallel relationship with God, with one
another and with cosmos. The commandments of love here implies and includes the
great concerns and obligations of a covenant relationship that demand fidelity
and integrity.
Dari uraian Chennattu,
jelas bahwa dalam bagian ini, relasi Bapa dan Anak yang begitu dekat dan
membaharui relasi murid dengan Allah bahkan dengan alam. Perintah untuk saling
mengasihi (hubungan timbal-balik) di sini mencakup kewajiban dari murid untuk tetap
setia dalam kebenaran dan integritas.
Perintah
untuk saling mengasihi kemudian dikontraskan dengan sikap dunia yang membenci
Yesus dan juga membenci murid-murid (pasal 15:18-27). Yesus berpesan supaya
murid-murid ketika murid-murid dianiaya oleh dunia, mereka tetap berpegang pada
firmanNya (Pasal 15:20). Narator kembali menggambarkan Yesus sebagai pribadi
yang sudah tahu, bahwa diriNya akan dianiaya. Yesus juga tahu bahwa murid-murid
kelak juga akan dianiaya oleh dunia.
Oleh
karena itulah, Yesus mengingatkan murid-murid agar jangan kecewa tetapi tetap
bertekun (Pasal 16:1-14). Dalam bagian ini Yesus menjelaskan peran Roh Kudus
dalam memimpin murid-murid ke dalam setiap kebenaran (Pasal 16:13). Roh Kudus
juga akan memuliakan Yesus karena Roh Kudus akan memberitakan apa yang
diterimaNya dari Yesus (Pasal 15:14). Petunjuk dalam bagian ini membawa kita
pada gambaran bahwa relasi antara Bapa, Yesus dan Roh Kudus, memiliki relasi
yang sangat dekat. Yesus mengatakan, “Bapa didalam Aku dan Aku didalam Bapa”
(Pasal 14:10). Namun, Yesus mengatakan Bapa lebih besar dari pada diriNya
(Pasal 15:28). Oleh karena itu, Yesus
meminta kepada Bapa supaya Roh Kudus diberikan sebagai pengganti Yesus (Pasal
15:15). Roh Kudus datang dari Bapa setelah Yesus pergi dan Roh Kudus akan
memuliakan Yesus dan akan memberitakan apa yang telah Yesus ajarkan (Pasal
15:14).
Setelah
menjelaskan bagian ini, murid-murid paham apa yang Yesus katakan. Ini jarang
sekali terjadi. Biasanya murid-murid selalu digambarkan salah paham atau tidak
paham sama sekali. Namun setelah penjelasan yang panjang dari pasal 13,
akhirnya narator mencatat murid-murid tahu apa yang Yesus bicarakan (Pasal 16:
29-30). Narator tidak menjelaskan siapa yang berbicara diantara murid.
Hal
yang ingin disampaikan narator adalah, akhirnya murid-murid tahu dan percaya
akan semua wejangan-wejangan yang panjang dari Yesus. Tentu saja narator
menginginkan kita, pembaca, juga berada pada posisi murid-murid. Pemahaman
tersebut penting bagi para murid agar mereka bertahan terhadap penderitaan yang
akan mereka alami kelak. Sepertinya tulisan ini sengaja ditekankan karena
murid-murid mengalami tekanan penderitaan (Pasal 16:31-33). Pemahaman ini
menjadi penutup dari semua rangkaian wejangan panjang tersebut karena Yesus
akan menutup wejangan tersebut dengan doa.
Adegan
3: Doa Penutup
Setelah
wejangan panjang berakhir, maka Yesus pun mengakhiri pertemuan malam itu dengan
doa penutup. Witherington mengatakan:
Jesus
closing or “high-priestly” prayer was an appropriate closing act at such a
meal, although sometimes this act would happen at the transition between the
meal and the symposium. The character of this prayer may suggest that the
situation of te Johannine community is or has recently been the one described
in the Johannine epistles, where some factionalism has happened.[35]
Menurut Witherington,
dalam sebuah acara makan malam, doa bisa ditempatkan sebagai penutup pertemuan,
tetapi bisa diletakkan diantara acara makan dan wejangan. Namun dalam Injil
Yohanes, jelas bahwa narator menuturkan, doa ditempatkan di akhir seluruh
rangkaian acara, setelah semua wejangan disampaikan oleh Yesus. Doa tersebut
sekaligus doa terakhir semasa hidupNya.
Doa
ini sangat panjang dan berisi ringkasan dari semua hal yang telah disampaikan
dari wejangan malam itu.[36]
Sikap Yesus dalam berdoa adalah menengadah ke langit (Pasal 17:1). Cara Yesus berdoa seperti ini memperlihatkan kedekatan Yesus dengan Bapa. Ia tidak memposisikan diri seperti budak, namun seperti
anak yang minta sesuatu kepada orang tuanya.
Witherington mengatakan cara berdoa seperti ini juga mengindikasikan
kemanusiaan Yesus dan perrbedaanNya dengan Bapa. [37]Bagian
awal dari doa ini berisi ungkapan-ungkapan tentang relasi Yesus dengan Bapa
(Pasal 17:1-5). Tiba saatnya Bapa mempermuliakan Yesus, supaya Yesus pun
mempermuliakan Bapa (Pasal 17:2). Bapa telah memberikan kuasa kepada Yesus,
dengan kuasa itulah Yesus memberi hidup yang kekal (Pasal 17:2).
Sebelumnya,
Yesus sudah mempermuliakan Bapa dengan cara menyelesaikan pekerjaanNya (Pasal
17:4-5). Dari ungkapan-ungkapan ini, narator mengajak kita untuk memahami
relasi atara Yesus dan Bapa. Yesus meminta kemuliaan kepada Bapa karena Yesus
sudah terlebih dahulu mempermuliakan Bapa dengan melakukan tugasnya. Artinya,
Yesus meminta hakNya setelah Ia melakukan kewajibanNya. Semua kewajiban itu
akan berakhir pada kematianNya yang hanya tinggal sebentar lagi. Dalam bagian
ini, narrator hanya berfokus kepada Yesus dan relasiNya dengan Bapa, tidak ada
tokoh lain yang muncul dalam bagian ini.
Dalam
bagian berikutnya, fokus bergeser pada relasi Yesus dan murid (Pasal 17:6-19).
Yesus berulangkali mengunakan kata “mereka” untuk menunjuk pada murid-murid.[38]
Narator ingin, kita juga berfokus kepada murid-murid. Yesus berdoa kepada Bapa
bahwa murid-muridNya adalah milik Bapa (Pasal 17:6).[39]Dalam
beberapa kalimat awal, Yesus seperti memberikan laporan kepada Bapa tentang
keadaan murid-murid. Bahwa murid-murid telah telah menuruti firman, murid-murid
telah menerima firman dan murid-murid telah percaya bahwa Yesus diutus oleh
Bapa (Pasal 17:6-8).
Setelah
kondisi murid-murid dilaporkan, maka saatNya Yesus berdoa kepada Bapa agar
memelihara murid-murid di dunia (Pasal 17:9-11). Chennattu mengatakan :
The portrayal of the disciples as the locus of Jesus’ gloricifation
implies that the indentity of Jesus as the manifestation of God is made visible
in them. Jesus is thus praying that disciples will kept in God’s name. In other
words, the mutual abiding of the disciples in God, will protect them at the
time of suffering and persecution and in turm they become the visible presence
of God in the world. The community of the disciples is characterized as the
locus of God’s active presence in the world after Jesus departure from the
world.[40]
Permohonan Yesus dapat
dalam doanya, agar Bapa memelihara murid adalah untuk menguatkan murid dalam
masa penderitaan dan tetap menjadi kesaksian bagi dunia sekalipun pada masa
penganiayaan. Yesus memohon Bapa melakukan ini atas dasar kepemilikan bersama.
Bapa juga adalah pemilik dari murid-murid, oleh karena itu, ketika Yesus tidak
ada lagi di dunia dan tidak bisa lagi memelihara murid-murid, maka Bapa kiranya
memelihara murid-murid (Pasal 17:11). Yesus memohon Bapa memelihara murid-murid
dalam nama Bapa, nama yang sama yang diberikan Bapa kepada Yesus (Pasal 17:12).
Jika
dicermati, uraian-uraian dalam bagian ini adalah pengulangan dari pasal14-16.
Keberadaaan murid di dunia akan menderita, karena dunia akan menganiaya mereka.
Oleh karena itulah, Yesus memohon kepada Bapa, agar tetap melindungi mereka
dari yang jahat (Pasal 17:15) karena Yesus tidak menginginkan murid seperti
yatim piatu. Uraian-uraian ini sangat kompleks, selain karena banyak hal yang
diulang-ulang, uraian ini juga lebih cocok disebut hasil pemikiran teologis
daripada sebuah doa. Narator menggiring kita pada penekanan pemahaman, tentang
relasi Bapa-Anak-Murid melalui doa ini.
Yesus
berdoa untuk orang-orang yang percaya kepadaNya karena pemberitaan murid-murid
(pasal 17:20). Yesus berdoa untuk masa depan, Dia tahu bahwa murid-murid akan
pergi memberitakan Injil dan akan banyak orang yang percaya pada pemberitaan
mereka. Yesus berdoa agar semua orang yang percaya menjadi satu (Pasal 17:21).
Adapun tujuan orang percaya bersatu adalah supaya dunia percaya bahwa Bapa yang
mengutus Yesus (Pasal 17:21). Tujuan kesatuan ini kembali ditegaskan pada
pernyataan berikutnya (Pasal 17:23).[41]
Yesus mengatakan bahwa Ia telah memberikan kemuliaan kepada orang-orang percaya
yaitu kemuliaan yang berasal dari Bapa, supaya mereka bersatu sama seperti
Bapa-Anak.
Pada
bagian bakhir doa, Yesus bicara tentang Kasih Allah kepada Yesus sebelum dunia
dijadikan (Pasal 17:24). Yesus memohon kepada Bapa, agar kasih dari Bapa kepada
Yesus, tinggal dalam kehidupan orang percaya dan Yesus ada didalam mereka
(Pasal 17:26). Dengan perkataan lain, kasih dari Allah itu adalah Yesus
sendiri. Dari rangkaian wejangan dan doa yang serba panjang ini, narator sedang
menggambarkan pribadi Yesus sebagai pribadi yang baik, penuh kasih, perduli dan
bertanggungjawab.
C.Yohanes 17:20-26
Sebagai bagian dari Doa Yesus (dalam Narasi Perjamuan Malam Terakhir)
Terjemahan Menurut TB
LAI
Dan bukan untuk mereka ini saja Aku
berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepadaku oleh pemberitaan
mereka (20). Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di
dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia
percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku(21). Dan Aku telah memberikan
kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi
satu, sama seperti Kita adalah satu(22): Aku di dalam mereka dan Engkau di
dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau
yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau
mengasihi Aku(23). Ya Bapa, Aku mau supaya, dimana pun Aku berada, mereka juga
berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepadaku, agar
mereka memandang kemuliaanku yang telah Engkau berikan kepadaKu, sebab Engkau
telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan (24). Ya Bapa yang adil, memang
dunia tidak mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah
mengutus Aku (25). Dan Aku telah memberitahukan namaMu kepada mereka dan Aku
akan memberitahukannya, suapaya kasih yang Engkau berikan kepadaku ada di dalam
mereka dan Aku di dalam mereka (26).
Yohanes
17:20-26, adalah teks yang dipilih penulis sebafai fokus penafsiran dalam tesis
ini. Namun dalam penafsiran narasi, tentu saja penulis tidak bisa melepaskan
bagian ini dari narasi yang menyatu dengannya. Pasal 13-17 adalah satu kesatuan
cerita dimana teks ini termasuk didalamnya. Kisah ini adalah perjamuan makan
malam bersama yang dilakukan Yesus hanya bersama murid-murid. Dalam pasal 13,
pembasuhan kaki adalah bagian awal dari acara tersebut, dimana Yesus
menunjukkan teladan kehambaan bagi murid-murid. Ia berpesan agar murid-murid juga
melakuan hal yang sama, yaitu pemaknaan relasi yang dalam diantara murid.
Kemudian
Yesus menyampaikan wejangan terakhir bagi murid-muridNya. Yesus tahu bahwa
murid-muridNya akan dianiaya dan Yesus tidak akan bersama mereka lagi. Dalam
kegelisahan dan ketakutan mereka, Yesus menghibur mereka dengan wejangan Rumah
Bapa (Pasal 14) dan janji akan datangnya Roh Kudus (Pasal 14+16) untuk
menggantikan Yesus. Selain itu Yesus juga berpesan agar murid tetap tinggal
dalam Yesus melalui hidup menurut FirmanNya dan saling mengasihi (Pasal 15). Kata
kunci dalam bagian ini adalah adanya hubungan timbal balik dalam “Saling
Mengasihi”.
Setelah
semua wejangan berakhir, dan murid-murid mengerti (Pasal 16:29-30) Yesus
kembali menguatkan murid-murid dengan doa (Pasal 17). Narator menunjukkan alur
yang bisa dipahami dalam cerita ini. Kita melihat dalam alur Injil Yohanes,
murid atau orang-orang, biasanya salah paham dengan maksud pengajaran Yesus.
Namun ketika murid sudah mengerti, itu berarti saatNya bagi Yesus untuk pergi.
Hal-hal yang sudah disampaikan kepada murid-murid (Pasal 14-16) dibawa dalam
Doa. Pertama Yesus berdoa untuk diriNya sendiri (Pasal 17:1-5), Bapa
mempermuliakan diriNya, karena Yesus sudah terlebih dahulu memuliakan Bapa
dengan melakuan pelayananNya bahkan sebentar lagi akan berakhir dalam kematian.
Bagian
berikutnya, Yesus berdoa untuk murid-murid (Pasal 17:6-24). Dari panjangnya doa
ini, kita bisa memahami bahwa bagi Yesus, murid-murid sangat penting. Terbukti
dengan banyaknya wejangan penguatan bagi mereka dan panjangnya doa Yesus bagi
mereka. Kita perlu melihat, bahwa Yesus berdoa untuk dua jenis murid dalam
doanya. Pertama, Yesus berdoa untuk murid yang hadir pada saat itu (murid
pertama), agar Bapa memelihara mereka dan menjauhkan mereka dari yang jahat.
Yesus tahu, murid-muridnya akan dianiaya, sehingga Ia berdoa agar Bapa
melindungi dan menjaga mereka (Pasal 17:6-19).
Kedua,
Yesus berdoa untuk orang-orang yang percaya dan akan percaya terhadap
pemberitaan murid-murid yang pertama itu (Pasal 17:20-24). Witherington
berkomentar tentang ayat 20-21 :
It indicates a need to pray for the unity of original disciples and
those who come to believe through their word. This would be especially apt
prayer in light of the divisions and disunity evident in the Johannine
epistles. But unity among believers must also be grounded in unity with or
dwelling in the Father and Son. One porpose of such unity is real and manifest
is so “the world may know that you have sent me and have loved them”. [42]
Penulis sependapat dengan
Witherington, adapun acuan kesatuan orang percaya adalah seperti kesatuan Bapa
dan Yesus. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pernyataan “sama seperti Engkau
ya Bapa di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam
kita..” (Pasal 17:21). Chennattu berkomentar senada :
The oneness among the disciple is modeleled on the intimate
relationship of the Father and Jesus revealed in the redemptive works of God in
Jesus.The purpose of Jesus’ prayer for unity among the disciples is that the
world may recognize Jesus as the sent One and the disciples as God’s beloved,
reflecting the union of love that exists between God and Jesus. The disciples
are to make God’s presence visible by loving one another as Jesus has loved
them.[43]
Dari komentar ini, jelas
bahwa jika murid ingin mewujudkan kehadiran Allah di dunia, caranya adalah
dengan mengasihi orang lain seperti Yesus yang sudah terlebih dahulu mengasihi
mereka. Dengan demikianlah dunia akan mengenal dan mengakui Yesus sebagai
pribadi yang diutus Bapa. Tentu saja, doa seperti ini akan memberikan semangat
bagi murid-murid yang pertama untuk pergi memberitakan Injil, sehingga dunia
mengenal dan percaya kepada Yesus. Yesus berdoa bahkan untuk semua generasi
yang akan datang agar bersatu. Pemberitaan Injil terus berlangsung sampai hari
ini, artinya Yesus berdoa untuk semua orang percaya bahkan untuk generasi
sekarang ini
Dari
Yohanes 17:20-24 ini, kita tidak bisa melihat, motif mengapa Yesus menekankan
isu tentang kesatuan ini kepada murid-murid. Kita hanya bisa melihat bahwa
Yesus sangat menekankan kesatuan murid dengan memberikan teladan kesatuan Bapa
dan Anak. Craigh Koester mengatakan
bahwa kesatuan Bapa dan Anak adalah pengajaran yang sangat sentral dalam
Injil Yohanes. Dan kesatuan orang-orang percaya juga menjadi isu penting karena
hanya dengan kesatuan orang percayalah dunia menjadi percaya kepada Yesus.[44]
Koester menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi isu
kesatuan dalanm Injil Yohanes yaitu:
First, Jesus’
farewell prayer treats the issue of unity against backdrop of conflict with the
nonbelieving world. After Jesus departure the disciples remained in a world
that hated them and the threat of being expelled from synagogue or killed
placed pressure on Christians to leave the community unity and one that
embroiled Johannine Chirstian. Second, Jesus’ farewell prayer relates the
concern for unity to the expansion of the Christian community through the
evangelistic work of the disciples. Third factor affecting unity was geopraphical
dispersion. Fourth factor affecting unity was the organizational pattern of
Johannine congregation.[45]
Informasi dari
Koester ini, menolong kita melihat bagaimana situasi yang mungkin terjadi saat
isu kesatuan ini dicetuskan. Isu kesatuan dalam Injil Yohanes mungkin muncul
pertama, karena murid-murid sedang berjuang dalam konflik melawan mayoritas
agama Yahudi pada saat itu. Dunia yang disebutkan Yesus dalam bagian ini dapat
diidentikkan dengan agamaYahudi yang membenci keberadaan murid-murid. Dan
murid-murid akan menerima tekanan dari sinagoge akan keberadaaan mereka. Faktor
kedua, adalah kepedulian Yesus akan perluasan kekristenan atau penginjilan yang
akan dilakukan murid-murid termasuk kepada suku-suku lain seperti Samaria,
Yunani dan suku lain. Kesatuan yang Yesus doakan ini, akan mempersatukan semua
suku dalam namaNya.
Isu kesatuan ini juga muncul karena faktor geografi.
Orang-orang percaya tinggal di tempat yang berbeda-beda seperti Betania,
Kapernaum, Kana dan kota-kota lain. Dengan demikian Yesus menginginkan kesatuan
semua orang percaya dimanapun berada. Isu ini juga muncul agar ada kesatuan
dalam organisasi dalam komunitas murid. Hal ini menyangkut urusan internal
murid-murid. Komunitas akan semakin besar dan dibutuhkan pengelolaan yang baik
termasuk pembagian tugas untuk pelayanan yang lebih efektif. Dari doa Yesus
ini, setiap komponen pelayanan diharapkan dapat bersatu dalam menjalankan
pelayanan sebagai kesaksian bagi dunia.
Pendapat Koester ini sangat masuk akal mengingat
komunitas Yohanes hidup sekitar tahun 100 M.[46]
Pada masa itu, tentu saja jumlah orang percaya sudah meningkat jauh dan
kemungkinan mereka mulai masuk pada generasi kedua setelah murid yang pertama.[47]Dalam
teks ini, narator memasukkan sudut pandangnya akan kondisi yang ada, yaitu
kesatuan menjadi sesuatu yang sangat penting.
Kesatuan itu meliputi internal dan eksternal. Internal mencakup kesatuan
setiap komponen dalam organisasi, sedangkan eksternal mencakup kesatuan
geografi, kesatuan antar etnis dan kesatuan menghadapai tantangan dari luar
dalam usaha penginjilan.
Kesatuan yang harus diwujudkan para murid adalah meniru
Kesatuan antara Bapa dan Anak (Pasal 17:21-23). Relasi antara Bapa dan Anak
berulang ditegaskan narator daalam narasi ini. Jika ditelisik, kesatuan Bapa
dan Anak memiliki relasi yang sangat intim. Anak berasal dari Bapa, namun Bapa
lebih besar dari Anak (Pasal14:28). Mereka saling mempermuliakan satu dengan
yang lain (Pasal 17:1). Milik Anak adalah milik Bapa juga (Pasal 17:6). Bapa
dan Anak sudah ada sejak dunia dijadikan. Anak mengasihi Bapa seperti Bapa juga
mengasihi Anak. Kesatuan seperti inilah yang harus diperjuangkan oleh
murid-murid dalam perjalanan pelayanan mereka di dunia ini.
Dengan bersatu, maka dunia menjadi percaya kepada Yesus.
Itulah akhir dari kesatuan murid Kristus, “dunia menjadi percaya”
(Pasal17:21-23). Apakah murid-murid akan mampu mewujudkan kesatuan itu? Tentu
saja, karena Roh Kudus akan mengajarkan segala kebenaran kepada mereka (Pasal
16:14-15). Kesatuan bukanlah sesuatu yang diciptakan sendiri oleh murid-murid,
tetapi itu adalah pekerjaan Roh Kudus. Murid-murid akan memahami pekerjaan Roh
Kudus jika mereka tinggal dalam pokok anggur yaitu Yesus, dengan tinggal dalam
firmanNya (Pasal 15:7-8).
D.Kesimpulan
Penafsiran
Dari
serangkaian penafsiran dengan pendekatan narasi, dapat disimpulkan bahwa seluruh
rangkaian penafsiran dalam narasi pasal 13-17, bermuara pada tema discipleship yang
terdiri dari relasi, hubungan timbal-balik dalam kasih dan kesatuan.
Dari adegan pembasuhan kaki, kita belajar teladan kehambaan Kristus membuka
diri untuk membangun relasi yang kuat
bagi murid-murid di kemudian hari. Dari adegan wejangan Yesus kita belajar
hubungan timbal-balik dalam saling mengasihi. Yohanes 17:20-26 berfokus pada
kesatuan murid dengan meneladani kesatuan Bapa dan Anak, yang juga dibangun
dalam relasi yang intim dan saling mengasihi. Dari doa Yesus, kita melihat
bahwa kesatuan terjadi jika murid-murid terlebih dahulu membuka diri dan
membangun relasi dengan orang, dan pada saat yang sama dia mengasihi orang
tersebut. Urutan adegan dari narasi ini seakan urutan dalam tahapan kesatuan.
Tahap pertama adalah membuka diri dan bereleasi, kemudian saling mengasihi,
disitulah tercipta kesatuan.
E.Makna Kesatuan dalam
Yohanes 17: 20-26
Dari
proses penafsiran dalam bab tiga, narasi pasal 13-17, bermuara pada tema discipleship yang
terdiri dari relasi, hubungan timbal-balik dan kesatuan. Yohanes
17:20-26 berfokus pada kesatuan murid dengan meneladani kesatuan Bapa dan Anak,
yang juga dibangun dalam relasi yang intim dan saling mengasihi. Kata kunci
dalam kesatuan ini ada dua yaitu, pertama “relasi”. Kata kunci yang kedua
adalah “saling mengasihi”.
Kesatuan murid yang dimaksud
bukanlah kesatuan organisasi dan institusi tetapi kesatuan iman atau kesatuan
spiritual antara orang-orang percaya. Kesatuan itu adalah karya Roh Kudus.
Murid-murid pasti mampu mewujudkan kesatuan tersebut karena Roh Kudus akan
mengajari mereka. Hal penting yang harus dilakukan adalah, membangun relasi dan
saling mengasihi. Antara murid yang satu dengan murid yang lainnya harus ada
relasi yang kuat dan saling mengasihi.
Relasi dan mengasihi terjadi dalam
waktu yang bersamaan. Mengasihi berarti membuka diri kepada orang lain dan
membangun relasi dan dialog. Ketika kita memandang orang lain lebih rendah, itu
artinya kita tidak mengasihi orang tersebut. Pada saat yang sama, kita tidak
akan bisa membuka diri dan berelasi dengan orang itu. Ketika kita menganggap
kita lebih tinggi dari yang lain, hal itu menyebabkan kita kesulitan membangun
relasi. Hal itu berarti dalam saat yang sama kita tidak mengasihi dia. Relasi
hanya akan tercipta dengan baik, apabila kedua belah pihak sejajar. Relasi
tidak akan berjalan dengan baik jika salah satu pihak merasa lebih tinggi dan
sebaliknya.
Apa maknanya bagi gereja masa kini?
Gereja-gereja di Indonesia terdiri dari banyak denominasi. Masing-masing
denominasi gereja yang mengaku sebagai murid Kristus, harus saling mengasihi.
Bentuk paling sederhana dari saling mengasihi adalah memandang denominasi lain
sejajar, tidak lebih rendah atau sebaliknya. Hanya dengan sikap seperti inilah
denominasi yang satu dengan yang lain mampu berelasi. Relasi yang dibangun
harus mampu melampau batas-batas perbedaan yang ada.
Denominasi-denominasi
gereja yang ada di Indonesia memiliki keunikan masing-masing, baik yang
bersifat teologis maupun nonteologis yang menyebabkan denominasi yang satu
berbeda dengan denominasi yang lain. Namun relasi yang dibangun harus mampu
melampaui perbedaan-perbedaan itu. Karena kasih juga mampu melampaui banyak
perbedaan.
Bersatu
bukan berarti seragam. Kesatuan Bapa dan Anak, bukan berarti Bapa sama dan
seragam dengan Anak atau sebaliknya. Demikian juga kesatuan atau relasi yang
dibangun oleh gereja-gereja di Indonesia. Adanya kesatuan antar denominasi,
bukan berarti semua denominasi menjadi seragam, tetapi membiarkan setiap
keunikan yang ada pada masing-masing denominasi tetap hidup. Setiap keunikan
pada masing-masing bahkan diharapkan dapat memperkaya yang lain.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak
denominasi gereja yang sangat eksklusif. Banyak denominasi gereja yang
mengalami konflik internal, karena perbedaan pendapat dan akhirnya pecah.
Perpecahan ini berpeluang menghasilkan gereja baru bahkan denominasi baru.
Masing-masing gereja juga saling bersaing pada masa ini. Di mana ada perpecahan,
di mana ada eksklusivisme, di mana ada persaingan di antara gereja-gereja, maka
di sanalah
doa Yesus ini dibuyarkan.
Dunia tidak bisa diinjili oleh
gereja-gereja yang berkonflik, sombong dan sibuk dengan persaingan. Yesus
berdoa agar murid-murid-Nya sepenuhnya bisa menjadi satu seperti Dia dan Bapa
satu adanya. Doa Yesus ini seharusnya menjadi refleksi gereja-gereja di
Indonesia untuk membangun relasi dengan yang lain dalam Kasih Kristus. Karena tujuan dari kesatuan yang diwujudkan adalah untuk membuka mata dunia, sehingga dunia percaya.
Kesatuan yang diwujudkan dalam relasi harus benar-benar
nyata, bukan konsep dan teori semata. Tetapi harus dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Gereja perlu bergerak dan mengambil inisiatif untuk melihat sekitarnya
dan menjalin relasi dengan sesama yang ada di sekitar. Relasi bisa dimulai
dengan percakapan atau dialog. Berikut akan diuraikan beberapa bentuk dialog
yang dapat diwujudkan gereja.
F.Relevansi
Penafsiran Yohanes 17 : 20-26 terhadap
konteks gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei
Tongah
Secara umum, dari hasil penelitian yang dilakukan di
HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, jelas menunjukkan bahwa
baik pemimpin gereja maupun jemaat, sudah memiliki pemahaman yang baik tentang
gerakan kesatuan gereja. Namun pemahaman tersebut tidak didukung oleh
perwujudan yang konkret dalam kerjasama antar gereja. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa belum ada kerjasama diantara ketiga gereja ini sebagai
perwujudan gerakan kesatuan gereja. Nihilnya relasi dan kerjasama dapat
dianggap sebagi indikator
tidak adanya kesatuan.
Adapun
penyebab nihilnya kerjasama adalah faktor internal gereja yaitu faktor kesukuan
dan sikap introvert. Di masa lalu,
ketiga gereja ini memang berpisah, [48]namun
dalam perkembangan pelayanan, seharusnya ketiga gereja ini mampu membangun
relasi dan bekerjasama di masa sekarang. Dari hasil kuesioner, faktor lain
penghalang gerakan kesatuan adalah kurangnya sosialisasi tentang isu kesatuan
dalam ketiga gereja. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa tema tentang kesatuan
jarang dikotbahkan dan didiskusikan. Ini artinya peran serta jemaat dalam isu
gerakan kesatuan sangat kurang. Mungkin hanya pendeta dan para pemimpin saja
yang terlibat dalam gerakan ini. Selain itu, kegiatan oikumene tidak
diprogramkan dan dievaluasi secara rutin di tiga gereja ini.
Jika
memang kerjasama belum ditemukan dalam ketiga gereja ini, mungkin kita bisa
menemukan dialog paling mendasar yang terjadi diantara ketiga gereja ini.
Karena basis pelayanan ketiga gereja adalah petani dan jemaat berasal dari
perkampungan yang sama, maka tentu saja dialog kehidupan sudah terjadi setiap
hari dalam level jemaat. Pergumulan tentang kehidupan petani, musim tanam dan
percakapan seputar mata pencaharian terjadi setiap hari. Pergumulan tentang
kesusahan, kemiskinan, kegagalan, bukan tidak mungkin terjadi diantara jemaat.
Namun, gereja tidak cukup jeli melihat bahwa dari hasil dialog kehidupan ini,
ketiga gereja bisa menyadari musuh bersama untuk diperangi bersama. Misalnya
jika kemiskinan dipandang sebagai musuh bersama, maka ketiga gereja akan
melakukan upaya-upaya bersama untuk memeranginya, seperti pelatihan peternakan,
pelatihan perikanan, pelatihan usaha lain.[49]
Dengan
gambaran konteks gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah seperti ini, maka hasil
tafsir Yohanes 17:20-26 sangat relevan terhadap konteks ketiga gereja ini. Ketiga
gereja ini seharusnya menangkap pesan discipleship
dari teks ini, dimana kata kunci dari kesatuan adalah “relasi” dan “saling
mengasihi”. Model kesatuan yang relevan bagi gereja HKBP, HKI dan GKPS Panei tongah adalah Model
Kesatuan Bapa danAnak, yaitu relasi dan saling mengasihi terjadi sekaligus
dalam waktu yang sama. Model kesatuan ini dapat juga disebut sebagai model
kesatuan unity in diversity atau
sebaliknya diversity in unity. Artinya
dalam kesatuan terjalin relasi yang dinamis dan menghargai keunikan
masing-masing sebagai kekayaan kesatuan.
Secara umum, teks ini menyarankan agar gereja HKBP, HKI
dan GKPS Panei Tongah memulai kerjasama sebagai perwujudan relasi sebagai murid
Kristus. Dialog kehidupan yang sudah terjadi selama ini dapat ditingkatkan
dengan dialog karya berupa kerjasama antar ketiga gereja ini. Hal itu bisa
dimulai dengan memasukkan kegiatan oikumene sebagai program rutin tahunan dan
dievaluasi secara rutin juga. Kegiatan itu dapat berupa pertukaran pelayan,
gotong royong, ibadah bersama, sampai pada pelatihan-pelatihan bagi petani. Untuk lebih jelasnya, kita akan
melihat konteks khusus masing-masing gereja dan melihat sumbangan pemikiran
dari Yohanes 17:20-26 kepada masing-masing konteks.
1. Relevansi
bagi HKBP Panei Tongah
Hasil penelitian di lapangan, menunjukkan bahwa gereja
ini adalah yang paling besar, baik gedungnya maupun jumlah jemaatnya, yang
berbanding lurus dengan kemampuan finansial juga. Dari segi sejarah, gereja ini
juga yang pertama lahir baik di Indonesia maupun di daerah kecamatan Panei. Namun,
dalam percakapan dengan pemimpin jemaat, didapati bahwa gereja ini terlalu institusionalisme. Artinya, terlalu
menjadikan aspek kelembagaan yang utama, sehinga aspek lain yang lebih esensial
terabaikan. Kesan ini didapat ketika pemimpin gereja mengharapkan adanya
lembaga oikumene dahulu, baru kegiatan oikumene dapat berjalan. Gereja ini
masuk dalam kategori model gereja institusional
yang mengabaikan fungsi gereja sebagai persekutuan. Pemahaman pemimpin gereja
yang demikian, tentu saja akan melahirkan miskinnya relasi antar gereja karena
sikap pemimpin gereja akan diteladani oleh jemaatnya.
Dari hasil analisa kuisioner terhadap jemaat, ditemukan
bahwa jemaat tidak mempersoalkan sejarah masa lalu perpisahan HKBP dengan HKI
dan GKPS. Jemaat juga mengatakan bahwa adalah hal yang baik jika pendeta HKBP
berkotbah di gereja lain, dan sebaliknya pendeta gereja lain juga baik, jika
berkotbah di HKBP dalam program pertukaran peayan. Hal ini kontradiksi dengan
pendapat guru jemaat yang mengatakan, jemaat HKBP Panei Tongah, tidak siap jika
ada pendeta dari luar HKBP berkotbah di HKBP Panei Tongah. Tidak berjalannya
program persekutuan keluarga selama setahun juga menunjukkan kurangnya
kerjasama para pelayan di gereja ini.
Guru jemaat mengatakan, tidak pernah berelasi bahkan
berdialog dengan guru jemaat dan pendeta gereja tetangga secara sengaja. Hal
ini pasti berpengaruh terhadap jemaat. Bagaimanapun, nihilnya teladan dari
pemimpin gereja dalam berelasi dengan gereja tetangga, akan mempengaruhi sikap
jemaat terhadap gereja tetangga juga. Gereja HKI maupun GKPS, sebagai gereja
yang berdekatan, menganggap HKBP arogan dengan keberadaannya yang serba “lebih”
dari yang lain. Menjadi gereja Batak terbesar, terkaya dan termaju teologinya
dianggap sebagai modal HKBP untuk tidak memerlukan kerjasama dengan gereja yang
lebih kecil.
Dalam kenyataan ini, Yohanes 17:20-26 dapat direfleksikan
lagi sebagai semangat oikumene. Dengan bercermin pada teks ini, HKBP hendaknya
membangun jembatan terhadap HKI dan GKPS yang dapat disebut sebagai adik, jika
diumpakan sebagai sebuah keluarga, untuk menjalin relasi kuat. Jika mungkin ada
kemarahan di masa lalu, ketika HKI dan GKPS memilih berpisah, perlu dipahami
lagi bahwa HKBP bersama dua adiknya itu harus kembali kepada pemahaman rumah
bersama mereka sama-sama rumah Kristus. Kembali menikmati relasi dalam kasih,
kebersamaan seperti relasi Bapa dengan Anak.
Selain itu, kasih yang mendasari relasi, seyogianya mampu
merekonsiliasi perpisahan di masa lalu. Kasih mampu mengabaikan keengganan
untuk datang dan berelasi kembali. Gereja ini juga harus membangun relasi
internal diantara sesama pelayan di gereja agar tercipta efektifitas pelayanan.
Jikalau mungkin ada konflik-konflik dalam struktur kepengurusan, hendaknya
terjadi rekonsiliasi dalam kasih. Relasi HKBP dengan gereja tetangganya secara
khusus HKI dan GKPS, dengan sendirinya menunjukkan sejauh mana gereja ini
bersaksi. Gereja yang menyadari panggilannya untuk menjadikan dunia percaya,
adalah gereja yang mau bersatu dan berelasi dengan yang lain.
2. Relevansi
bagi HKI Panei Tongah
Dalam percakapan dengan pemimpin jemaat, ditemukan kesan
bahwa gereja ini enggan berelasi dengan HKBP karena menganggap HKBP arogan dan
sombong. Tetapi relasi dengan GKPS berbeda, keduanya malah bisa sependapat
tentang gerakan kesatuan gereja. Dilihat dari sisi sejarah perpisahan di masa
lalu, bisa dimaklumi, bahwa baik HKI maupun GKPS adalah sama-sama berpisah dari
HKBP. Tentu masuk akal, jika kedua pribadi ini akan cocok, karena mereka
memiliki pengalaman yang sama. Sedangkan dengan HKBP, mungkin akan ada rasa
sungkan. Selain itu, didapati kesan, bahwa HKI menginginkan adanya eksistensi
sendiri bahkan dari sejarah lahirnya di Indonesia, tanpa dihubung-hubungkan
sebagai gereja pecahan HKBP.
Dari literatur HKI ditemukan, bahwa tidak pernah ada
catatan yang mengatakan bahwa HKI dulunya berpisah dari HKBP.[50]Sesungguhnya
sikap seperti ini juga sangat berbahaya. Fanatisme gereja yang berlebihan akan
menyulitkan terciptanya gerakan kesatuan. Perbedaan pandangan tentu biasa,
apalagi itu terjadi di masa lalu. Kehidupan sekarang lebih penting untuk ditata
sedemikian untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Gereja ini sudah menuangkan isu kesatuan gereja secara
konkret dalam program pelayanan tahunan berupa pertukaran pelayan (tukar
mimbar). Namun sangat disayangkan, jika program ini tidak terealisasi. Mungkin gereja
ini perlu menemukan program lain yang tepat dengan konteks HKI Panei Tongah
sebagai kegiatan oikumene dalam perwujudan gerakan kesatuan. Jadi dapat
disimpulkan, bahwa dalam gereja ini pun, belum ada realisasi dari program
kesatuan gereja.
Dengan bercermin pada Yohanes 17:20-26, gereja ini
kembali diingatkan untuk merenungkan makna kesatuan Bapa dan Anak, di dalam
Kasih. Pemaknaan akan kata Kasih akan meruntuhkan keenganan diganti dengan
kerendahan hati. Narasi doa Yesus tentang kesatuan ini, dibungkus dalam adegan
kehambaan Yesus yang sangat luar bisa yang melambangkan kerendahan hati dan
keterbukaan. Jika HKI merefleksikan hal ini, maka dengan rendah hati HKI akan
datang membangun jembatan dengan kisah masa lalu yang harus diselesaikan.
Motivasi Kasih, pasti dapat menyelesaikan kisah yang
tidak menyenangkan di masa lalu. Gereja HKI Panei Tongah harus mau membuka diri
dan berdialog dan berelasi lebih dahulu dengan HKBP Panei Tongah, Sehingga
tercipta persekutuan dan kesatuan Secara internal, pemahaman pemimpin jemaat dan
jemaat sangat baik tentang kesatuan gereja. Dan semangat pemimpin jemaat perlu
diapresiasi dengan ide-ide yang muncul tentang gerakan kesatuan yang ingin
diwujudkan. Kesadaran dan semangat seperti inilah yang disuarakan oleh Injil
Yohanes, namun segera harus direalisasikan. Program pertukaran mimbar dengan
GKPS Panei Tongah, harus segera dilaksanakan. Setelah itu memprogramkan
kegiatan lain sebagai bentuk kerjasama dengan HKBP dan GKPS Panei Tongah.
3. Relevansi
bagi GKPS Panei Tongah
Dalam
pengamatan langsung yang dilakukan pada gereja ini, walaupun menjadi gereja
yang paling kecil dari ketiga gereja yang diteliti, namun gereja ini memiliki
semangat yang tinggi untuk mewujudkan panggilannya sebagai gereja. Pemahaman
panggilan akan gerakan kesatuan juga dipahami dengan baik oleh pimpinan jemaat
dan jemaat. Hal itu terlihat dalam program yang disusun secara eksplisit
menyebutkan adanya kegiatan-kegiatan oikumene yang harus diwujudkan gereja.[51]Program
semacam ini tidak ditemukan di HKBP maupun HKI.
Model
gereja yang dianut oleh gereja ini cenderung adalah model persekutuan yang
cukup kuat dengan tetap mengintegrasikannya dengan model lembaga yang tidak terlalu
kaku. Namun demikian, apresiasi terhadap gereja ini masih harus dilanjutkan
dengan perwujudan nyata dari semangat dan cita-cita kesatuan itu sendiri. Program
kegiatan oikumene belum terlaksana selain perayaan Natal dan Paskah oikumene
yang digagas oleh pemerintah kecamatan Panei. Sekalipun gereja ini
memprogramkan kegiatan oukumene secara eksplisit, namun realisasi dari program
ini belum pernah terlaksana.
Pemaknaan
akan Yohanes 17:20-26, kiranya mendorong gereja ini untuk mewujudnyatakan
gerakan kesatuan yang sudah dicita-citakan, tidak hanya sebatas program yang
tidak terlaksana. Walaupun berbeda suku dan bahasa dengan HKBP dan HKI, gereja
ini mampu melihat urgensi kesatuan yang kuat dalam konteks gereja masa kini
tanpa melihat perbedaan sebagai penghalang. Keinginan yang kuat tidak hanya
ingin menciptakan kerjasama dengan 3 gereja yang saling berdekatan saja, namun
semua gereja yang ada di kecamatan Panei. Ini perlu diapresiasi.
Semangat
kesatuan dalam Injil Yohanes, akan memberikan keberanian bagi gereja ini untuk
memulai gerakan kesatuan. Menjadi gereja yang paling kecil bukan penghalang
menjadi inspirator dan inisiator gerakan kebersamaan bagi ketiga gereja. Doa
Yesus menjadi landasan untuk berani, ini sesuatu yang sangat penting untuk
segera diwujudkan. Membuka diri berelasi dengan kasih.
4. Relevansi
bagi gereja-gereja di Indonesia
Gambaran ketiga gereja yang menjadi objek penelitian
penulis, yakni HKBP, HKI dan GKPS Panei Tongah, bukanlah satu-satunya gambaran
yang menunjukkan miskinnya relasi antar gereja yang saling berdekatan. Dalam konteks gereja-gereja di Sumatera Utara
secara khusus, bukan pemandangan aneh bahwa dalam jarak ratusan meter berdiri
bangunan gereja yang saling bertetangga. Gambaran miskinnya relasi HKBP, HKI
dan GKPS Panei Tongah, bisa jadi adalah gambaran gereja-gereja di Sumatera
Utara, bahkan gereja-gereja di Indonesia.
Dalam penelitian yang dilakukan Van Koij terhadap
gereja-gereja mainstream di
Indonesia, ternyata ditemukan fakta bahwa gereja-gereja tersebut sangat
eksklusif.[52] Hal
itu terbukti dengan jarangnya jemaat gereja tertentu mengikuti kegiatan gereja
lain, bahkan tidak pernah sama sekali. Ini menunjukkan rata-rata gereja mainstream masih kurang dalam menghayati
makna persekutuan sebagai sesama umat Tuhan. Dalam penelitian tersebut,
ditemukan juga bahwa kecenderungan sikap gereja mainstream adalah
berkonsentrasi pada kegiatan introver-internal.[53]
Artinya, gereja-gereja hanya berfokus pada dirinya sendiri dan tidak perduli
dengan lingkungan sekitar dan persoalan-persoalan dalam masyarakat. Ada kesan
bahwa gereja terlalu berfokus pada aras vertikal yaitu hubungan dengan Tuhan
yang transenden, sementara aras horisontal yaitu hubungan dengan sesama yang
nyata, malah terabaikan. Ini menjadi penghalang besar akan gerakan kesatuan
gereja.
Sikap seperti ini tidak sesuai dengan semangat Injil
Yohanes yang menjadikan tema kesatuan sebagai tema sentral. Gereja-gereja di
Indonesia, dalam segala keberagamannya, perlu berefleksi lagi dari teks
ini. Perbedaan bukan halangan untuk
berjalan bersama-sama. Relasi Bapa dan Anak, menjadi panutan yang harus
dihidupi gereja-gereja di Indonesia. Sikap saling menerima dan menghargai
diantara sesama gereja yang berbeda, perlu dipupuk demi terciptanya gerakan
bersama dalam hidup bergereja. Seyogianya, gereja-gereja di Indonesia bersatu
dalam panggilan kebersamaan senada dengan visi dan misi PGI 2009-2014.
Visi :
“Menjadi Gereja yang Merefleksikan Kebaikan Allah di Tengah-tengah Masyarakat Majemuk Indonesia.”
Misi : Gereja-gereja
di Indonesia,
a.
Makin menguatkan
persekutuan di antara gereja-gereja di Indonesia sebagai basis bagi pelayanan
dan kesaksian
b.
Makin lebih terbuka
kepada lingkungan yang di dalamnya mereka hidup
c.
Menggiatkan
pelayanan yang komprehensip di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai wujud
pemberitaan Kabar Baik;
d.
Ikut mewujudkan
masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban dengan mempelopori berbagai upaya
terciptanya hubungan-hubungan yang baik dengan komponen-komponen masyarakat;
e.
Memberikan
sumbangan berharga bagi terjadinya proses demokratisasi yang substansial di
dalam Negara Indonesia.[54]
Dengan
demikian, semangat kesatuan Injil Yohanes dan cita-cita kesatuan yang
disuarakan PGI dapat dihidup dalam kehidupan bergereja sampai pada level
jemaat.
[1] Pembagian ini
diadopsi oleh Kysar dalam bukunya Robert Kysar, Injil Yohanes Sebagai Cerita : Berkenalan dengan Narasi Salah Satu
Injil, hal vii-viii.
[2] Lembaga Biblika
Indonesia, 2002, Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru, hal 163.
[3] Episode Pertama
dinamakan Permulaan Baru (Pasal 2:1-4:42). Episode Kedua disebut sebagai Sabda
Yesus yang Memberi Hidup (Pasal 4:43-5:47). Episode Ketiga adalah Yesus sebagai
Roti Hidup (Pasal 6:1-71). Episode Keempat yaitu Krisis Identitas (Pasal 7:1 –
8:59). Episode Kelima dinamakan Terang Dunia, Bisa Melihat dan Kebutaan (Pasal
9:1 – 10:42). Episode Keenam, Hidup atas Kematian (Pasal 11:1-54). Episode
Ketujuh, Hidup Melalui Kematian (Pasal 11:55 – 12:50).
[4]Narator ingin
menyatakan bahwa keberadaan Sang Kristus-Firman ada di luar jangkauan pikiran
manusia. Hal ini bukan soal masa sebelum masa, tetapi lebih menunjukkan
kenyataan adikodrati yang menakjubkan yang membentang menembus waktu baik
sebelum, sesudah maupun di luar
waktu.Robert Kysar, Injil Yohanes Sebagai Cerita, hal 5.
[5] Ini menunjukkan
penulis tidak benar-benar tertarik pada pesta perkawinan itu sendiri, tetapi
tertarik pada tindakan Yesus yang mengubah air menjadi anggur (Pasal 2: 1-11).
[6] Tindakan ini berwujud
percakapan dan kejadian pengusiran di Bait Allah, mempertegas pokok pikiran
yang hendak diungkap oleh penulis Yohanes tentang sosok Yesus. Yesus mengajak
orang-orang kepada perubahan pandangan terhadap agama yang dilakukan oleh
kebanyakan orang pada masa itu.
[7] Peristiwa ini
menunjukkan keberadaan Yesus yang menjadi sumber kehidupan, yang dikenal dengan
istilah “Roti Hidup”.
[8] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 67.
[9] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 67.
[10] Lihat penjelasan
konteks Injil Yohanes yang memuat elemen sejarah dan budaya pada bagian
sebelumnya.
[11] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 69-71.
[12] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 70.
[14] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 72.
[15] Ibid, hal 73.
[16] Ibid hal, 67.
[17] Theo Witkamp, Mengenal Narasi Yohanes, hal 68.
[18] Ibid hal, 69.
[19] Lembaga Biblika
Indonesia, 2002, Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru, hal 163.
[20] Episode Pertama
dinamakan Permulaan Baru (Pasal 2:1-4:42). Episode Kedua disebut sebagai Sabda
Yesus yang Memberi Hidup (Pasal 4:43-5:47). Episode Ketiga adalah Yesus sebagai
Roti Hidup (Pasal 6:1-71). Episode Keempat yaitu Krisis Identitas (Pasal 7:1 –
8:59). Episode Kelima dinamakan Terang Dunia, Bisa Melihat dan Kebutaan (Pasal
9:1 – 10:42). Episode Keenam, Hidup atas Kematian (Pasal 11:1-54). Episode
Ketujuh, Hidup Melalui Kematian (Pasal 11:55 – 12:50).
[21] Lihat Bab 3 halaman
9.
[22]
Robert Kysar, Injil Yohanes Sebagai, hal
63.
[23] Ben
Witherington, 1995, John’s Wisdom : A
Commentary on The Fourth Gospel, Westminter John Knox Press, hal 232-233.
[24] Ben
Witherington, John’s Wisdom : A
Commentary on The Fourth Gospel, hal
233.
[25]Rekha
Chennatu, 2006, Johannine Discipleship as
a Covenant Relationship, Hendrickson Publishers, hal 91.
[27]
Rekha Chennatu, Johannine Discipleship as a Covenant Relationship, hal 92-93.
[28] Ibid, hal 94.
[29] Ben
Witherington, John’s Wisdom : A
Commentary on The Fourth Gospel, hal
248.
[30] Rekha Chennatu, Johannine
Discipleship as a Covenant Relationship,
hal 102.
[31]Johannes
Beutler, 2001, Synoptic Jesus Tradition in The Johannine Farewell Discourse, in
Robert Fortna (ed), Jesus in Johannine
Tradition, Westminster John Knox Press, hal 170.
[32] Setidaknya ada
sepuluh kali pengucapan kata “Aku” dalam bahasa Indonesia dalam Alkitab terbitan
Lembaga Alkitab Indonesia.
[33] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth
Gospel, hal 257.
[34] Rekha Chennattu, Johannine
Discipleship as a Covenant Relationship,
hal 114.
[35] Ben
Witherington, John’s Wisdom : A
Commentary on The Fourth Gospel, hal
233.
[36] Lembaga Biblika
Indonesia mengatakan bahwa doa ini bisa disebut sebagai perluasan dari doa Bapa
Kami karena sapaan Bapa sebanyak 6 kali dalam bagian ini serupa dengan
penyebutan nama Allah Bapa dalam Doa
Bapa kami (Mat 6:9). Permohonan yang disampaikan juga gemanya mirip yaitu
supaya dijaga dari kejahatan (Mat 6:13).
[37] Ben
Witherington, John’s Wisdom : A
Commentary on The Fourth Gospel, hal
269.
[38] Lebih dari 20 kali,
Yesus menggunakan kata mereka dalam ayat 6-19, untuk menunjuk kepada
murid-murid.
[39] Berulang-ulang kita
menemukan dalam pasal 13-17, bahwa relasi Bapa dan Anak, salah satunya adalah
relasi dalam kepemilikan. Bahwa Milik Bapa adalah milik Anak dan sebaliknya.
[40] Rekha Chennattu, Johannine
Discipleship as a Covenant Relationship,
hal 132.
[41] Bagian ini akan
dijelaskan lebih jauh dalam bagian berikutnya, sebagai fokus penafsiran dalam
tesis ini.
[42] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth
Gospel, hal 271.
[43] Rekha Chennattu, Johannine
Discipleship as a Covenant Relationship,
hal 136.
[44]
Craig Koester, 2003, Symbolism in the
Fourth Gospel : Meaning, Mystery, Community, Fortress Press, hal 251.
[46] Ben Witherington, John’s Wisdom : A Commentary on The Fourth
Gospel, hal 232.
[47]
Craig Koester, Symbolism in the Fourth
Gospel : Meaning, Mystery, Community,
hal 256.
[48]
Dalam sejarah perpisahan HKBP dengan GKPS di masa lalu, sangat jelas,
penyebabnya adalah kesukuan. Perpisahan HKBP dengan GKPS di masa lalu adalah
karena perbedaan budaya, tabiat dan bahasa. Sementara faktor penyebab
perpisahan HKBP dan HKI di masa lalu adalah faktor ideologi nasionalisme.
Penyebabnya pasti bukanlah faktor suku, karena keduanya sama-sama Batak Toba.
[49] Dengan pelatihan
tersebut, petani memiliki alternative lain sebagai mata pencaharian tambahan.
Dengan demikian, para petani semakin kreatif dan ilmu yang mereka dapatkan dari
pelatihan-pelatihan yang disengerakan ketiga gereja secara bersama-sama dan
dapat menambah pendapatan mereka, sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup
mereka.
[50]Bahkan ketika penulis
mengikuti katekisasi saat duduk di kelas III SMU, guru jemaat menanaman
doktrin, bahwa HKI tidak pernah berpisah dari HKBP dari dulunya.Dalam
literature HKI, hal itu sangat ditekankan. Menjadi berbeda ketika literature
tersebut netral, seperti buku van den End.
[51]Laporan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan Pelayanan dan Pembangunan serta Pengembangan
Jemaat HKI Panei Tongah, Periode Januari-Desember 2010, hal 4.
[52]
Dalam penelitian ini, HKBP dan GKPS masuk dalam objek peniltian tetapi HKI
tidak termasuk didalamnya. Rijnardus van Kooij (dkk),
2007, Menguak Fakta, Menata Karya Nyata,
BPK Gunung Mulia, hal 59.
[53]
Ibid, hal 100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar